Home › Forums › Forum Masalah Fiqih › aswaja,hadits dhoif dan mslh amil zakat › Re:aswaja,hadits dhoif dan mslh amil zakat
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
terimakasih atas doanya, sungguh tiada hadiah leboh agung dari doa, dan hamba hanyalah budak sang Nabi saw yg belum sempurna menjadi budak
1. tafsir ayat itu turun dimasa Nabi saw belum maju dakwahnya, sungguh disaat Nabi saw diutus sebagai Rasul, baru beliau sendiri yg muslim, selain beliau saw dimuka bumi tak ada muslim, lalu beliau saw mulai berdakwah dan turun ayat itu, karena sebagian penduduk bumi dalam kesesatan, berikut tafsir Imam Ibn Abbas ra atas ayat tsb :
{ [b]وَإِن تُطِعْ } يا محمد { أَكْثَرَ مَن فِي الأرض } وهم رؤساء أهل مكة منهم أبو الأحوص مالك بن عوف الجشمي وبديل بن ورقاء الخزاعي وجليس بن ورقاء الخزاعي { يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ الله } يخطئوك عن طريق الله في الحرم { إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظن } ما يقولون إلا بالظن { وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ } يكذبون في قولهم للمؤمنين أن ما ذبح الله خير مما تذبحون أنتم بسكاكينكم { إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِ } عن دينه وطاعته { وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } لدينه يعني محمداً عليه الصلاة و السلام وأصحابه[/b]
JIKA KAU TAATI wahai Muhammad KEBANYAKAN PENDUDUK BUMI yg dimaksud adalah tokoh tokoh di Makkah diantara mereka abul ahwash, malik bin ayyub alhashmiy, budail bin warqa alkhuzza\’iy, dan jaliis bin warqaa\’ al khuzza\’iy MEREKA AKAN MENYESATKANMU DARI JALAN ALLAH, mereka akan membuatmu menyimpang dari jalan Allah swt di tanah haram makkah, TIADALAH YG MEREKA IKUTI KECUALI HANYA PERSANGKA SANGKA mereka hanya berucap dg sangkaan DAN TIADALAH MEREKA KECUALI BERDUSTA, berdusta pada ucapan mereka pada orang orang beriman, bahwa apa apa dari sembelihan Allah (perbuatan mereka) lebih baik dari pada kalian dg sembelihan pisau kalian, SUNGGUH TUHANMU LEBIH MENGETAHUI SIAPA SIAPA YG SESAT DARI JALAN NYA SWT lebih mengetahui yg berdosa pada Nya dan yg taat pada Nya, DAN DIA LEBIH MENGETAHUI SIAPA YG DIDALAM HIDAYAH YG BENAR yaitu Muhammad saw dan para sahabat beliau saw (Tafsir Ibn Abbas ra QS al Al An\’am 116).
jelas sudah mereka salah menafsirkan, mereka menafsir tanpa tahu asbab nuzulnya, maka hadits riwayat shahih Bukhari memperjelas bahwa kalau pemimpinnya muslim maka taatlah, selama tak memerintahkan berbuat maksiat, jika memerintahkan berbuat maksiat maka jangan ditaati.
riwayat lainnya ketika orang orang berdatangan pada sayyidina Anas bin Malik ra mengadukan perbuatan khalifah hajjaj (jauh setelah wafatnya khulafa urrasyidin dan Anas bin Malik ra adalah sahabat Rasul saw yg sangat lanjut usia dan berjumpa dg mereka mereka yg tidak hidup dimasa nabi saw), maka berkata anas bin Malik, bersabarlah, dengar dan taatlah pd pemimpin selama muslim, dan tiadalah pemimpin itu kecuali semakin hari semakin buruk, dan ini kudengar dari nabi kalian Muhammad saw. (Shahih Bukhari)
dijelaskan oleh imam ibn hajar dan lainnya bahwa seorang sahabat rasul saw berkata : tidak akan ummat ini bersatu dalam kemungkaran.
nah.. manakah yg kita pilih?, kelompok imam imam madzhab yg diikuti ribuan al hafidh dan hujjatul islam dan imam imam lainnya, atau kelompok sempalan yg baru muncul abad ke 18 ini..?, kita lihat 4 imam madzhab berasal dari 1 sanad, karena Imam Ahmad bin hambal adalah murid Imam Syafii, dan Imam syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik saling bertanya dan berbagi ilmu dg Imam Abu Hanifah (imam hanafi), dan mereka berguru pada Imam Nafi, dan Imam Nafi berguru pada Abdullah bin Umar bin Khattab ra, jelas sudah sanadnya, bahkan ada pendapat bahwa Imam Malik dan Imam hanafi berguru kepada Imam Jakfar Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir, bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib kw.
tentu mereka yg memisahkan diri dari sanad keguruan termulia inilah yg sesat, mereka kelompok kecil, dan kelompok imam imam madzhab kesemuanya berasal dan berkumpul dari 1 sanad kepada sahabat.
mereka para wahabi tidak punya sanad, karena ibn abdulwahab diusir dan dibenci oleh gurunya, dan ia tak memanut gurunya, maka putuslah sanadnya, merekalah yg berfatwa dg bersangka sangka tanpa ilmu yg jelas, karena ibn abdul wahhab adalah pd abad ke 18, yaitu 12 abad sesudah masa nabi saw, dan sekitar 1000 tahun sesudah masa para Imam imam dan hujjatul islam, dimana hadits sudah hanya tersisa kurang dari 10% dari hadits yg ada, baru ia mau berfatwa ini dan itu dg hadits yg kurang dari 10% dari hadits yg ada?
inilah kesalahan mereka, mereka tak mengikuti fatwa para imam, sedangkan para imam itu sangat tinggi keluasan ilmunya dan mereka bagai rantai hingga Rasul saw.
2. mengenai hadits dhoif, sungguh imam ahmad bin hanbal pun bahkan memakai hadits dhoif dalam hal bersentuhan dg non muhrim, hadits itu didhoifkan oleh Imam Bukhari, mengenai hadits dhoif dan penjelasannya, sudah saya jelaskan pada buku saya kenalilah akidahmu edisi 2, berikut saya cuplikkan :
DEFINISI HADITS DHO’IF
Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin.
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah. (*Mengenai kedhoifan hadits ini akan dijelaskan kemudian pada Bab lainnya di buku ini)
Hadits dhoif banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : \"Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap – siap mengambil tempatnya di neraka\" (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : \"sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka\" (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid\’ah hasanah, baru ada sejak Tabi\’in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati – hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku – ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits – hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya (*rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dan lainnya dari buku – buku Rijalulhadits) dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan di zaman itu terdapat ratusan Imam – Imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa – fatwa Imam Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara – saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits – hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam – Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil – nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku – buku terjemah, memang boleh – boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara – saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku – buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa – fatwa Imam – Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam adalah buku terjemahan.
Sungguh buku – buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits – hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid – muridnya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid – muridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru – guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul – betul mengetahui bahwa ia benar – benar memanut gurunya.
Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku – buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru – guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman Ilmu Syariahnya, lalu ucapan fatwa – fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid – muridnya dan ratusan Imam dan Al Hafidh dan Hujjatul Islam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat – buat hukum semaunya, jika ia salah dalam fatwanya mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa – fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam – imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh Imam – Imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati – hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka – mereka yang segera menafikan atau menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan. Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang – orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang – orang terpercaya, cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw, dan masih banyak lagi contoh – contoh lainnya.
Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. (walillahittaufiq)
3.mengenai amil, secara aqlan wa syar\’an (logika dan hukum syariah) semua yg bekerja utk sesuatu berhak mendapat upah, demikian pula amil, tentunya ia mempunyai pekerjaan sendiri, dan harus menyisakan waktunya untuk menjadi pembagi zakat kepada yg berhak, mulai menghitung, menimbang dll, maka itu adalah jasa, dan jasa berhak mendapat upah, jika ia tak mau mengambilnya maka itu afdhal, namun jika misalnya semua orang punya kesibukan dan pekerjaan, maka tidak ada bagian untuk amil, maka siapa yg akan meluangkan waktu membagi2kan zakat?,.dirisaukan zakat akan terbagi bagi sembarangan pada yg tidak berhak, dan itu dosa besar, maka merupakan kaidah ushul : maa yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib (segala yg menjadi syarat/diperlukan untuk menjalankan hal yg wajib, maka wajib hukumnya),
misalnya membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, tapi jika kita tak punya air dan kita akan melaksanakan shalat fardhu, tidak ada air kecuali harus membeli dan kita punya uang, apa hukumnya membeli air?, hukumnya berubah menjadi wajib, karena tidak ada air kecuali beli, dan kita punya uang lebih utk membeli.
demikian pula amil, jika dg tak adanya bagian untuk amil dirisaukan pembagian akan kacau balau, maka haram hukumnya zakat disampaikan pada yg tidak berhak sedangkan yg mustahiq tidak kebagian zakat, maka memberi bagian untuk amil menjadi wajib hukumnya.
kasihan mereka itu saudaraku, pemahamannya dangkal, ilmunya sangat sedikit, tapi menyalahkan semua orang dan menganggap merekalah kebenaran, semoga Allah swt melimpahkan hidayah
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a\’lam