Home Forums Forum Masalah Umum Tanggapan Artikel "BID’AH" dr Abu Ifan Re:Tanggapan Artikel "BID’AH" dr Abu Ifa

#76380594
Munzir Almusawa
Participant

saudaraku yg kumuliakan,

maaf saya sangat sibuk untuk mempreteli semua kitab kitab yg anda sebutkan, namun sepanjang yg saya baca dari tanggapan anda, jelas sudah kedangkalan pemahaman anda terhadap bahasa arab dan ilmu hadits,

yg anda riwayatkan sudah di takhrij dan disyarah oleh para Muhaddits dan fatwa fatwa mereka jelas dan tak perlu lagi penjelasan, hal itu telah saya jelaskan dalam penjelasan mengenai masalah Bid’ah, dan bila anda membacanya dg seksama maka anda akan memahami,

Anda menyebutkan bahwa : “Bid’ah adalah setiap hal yang tidak mempunyai dasar dalam agama yang dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah”, lalu anda menyebut pula bahwa ada lagi yg disebut Bid’ah duniawi, padahal anda telah menjelaskan bahwa Bid;ah adalah ibadah yg dibuat buat, lalu anda berkata ada bid;ah duniawi pula, negatif dan positif pula, demikian rancunya penjelasan anda mengenai bid’ah duniawi dan bid’ah ukhrawi, bid;ah duniawi yg positif dan bid’ah duniawi yg negatif, bukankah menurut anda semua bid;ah adalah sesat?, lalu darimana muncul positif dan negatif ini?, kedua penjelasan inipun Bid’ah, darimana anda mendapat pemahaman ini?, ada haditsnya kah?, atau fatwa baru anda yg juga merupakan bid’ah?
**
ayat ini (HARI INI SUDAH KUSEMPURNAKAN BAGI KALIAN AGAMA KALIAN..dst) bukan berarti menutup perkembangan islam, karena buktinya setelah ayat ini masih ada ayat lain lagi yg turun, sebagaimana dijelaskan didalam Tafsir Imam Attabari Juz 6 hal 79, bahwa setelah ayat ini masih ada ayat yg turun, dan makna ayat itu adalah sempurnanya semua kewajiban, bukan menafikan fatwa yg disebabkan perkembangan zaman,

Dan ayat itu turun di arafah saat Hujjatulwada’, dan bentuk permasalahannya bahwa dhohir ayat ini adalah mengenai sempurnanya hal hal yg fardhu dan hukum hukum sebelum ayat ini turun, namun teriwayatkan bahwa ayat Riba, hutang, dll bahwa itu semua turun setelah ayat tersebut, oleh sebab itu maka para ulama berpendapat bahwa ayat ini bermaksud sempurnanya agama di Balad haram (Makkah) dan pengusiran kekuatan musyrikin darinya hingga muslimin berhaji tanpa percampuran dg orang musyrik, dan pendapat ini didukung oleh ucapan Ibn Abbas bahwa dahulu musyrik dan muslim berhaji bersama sama, namun ketika turun surat Baraa’ah maka disingkirkan orang musyrik dari masjidilharam dan berhaji lah orang muslim tanpa dibarengi seorangpun dari orang musyrik, dan hal itu adalah sempurnanya Kenikmatan sebagaimana akhir ayat tersebut (wa atmamtu alaikum ni’matiy). (Zubdatul Itqan fii ulumil Qur’an hal 18)
**
tentunya yg dimaksud Imam Malik adalah membuat syariah baru, karena Imam Malik mencetuskan madzhab, dan madzhab itupun Bid’ah, Imam Malik menulis kitab hadits dg sanad dan riwayat, hal itupun Bid;ah.

tentunya pembahasan Imam Malik itu mengenai agama baru, bukan Bid’ah hasanah yg sudah diperbuat oleh sahabat sebagaimana penjilidan Alqur’an yg dilakukan oleh Abubakar Ashiddiq ra dimasa khilafahnya bersama Umar bin Khattab ra sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari, karena Mustahil Imam Malik menentang perbuatan Khulafa’urrasyidin.
**
anda memutar balikkan ucapan Imam Assyaukaniy dan mengguntingnya, ucapan beliau adalah : [size=4][b]

وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة
[/b][/size]
“hadits hadits ini merupakan kaidah kaidah dasar agama karena mencakup hukum hukum yg tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan pendapat para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (Bid;ah yg baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits),
maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah Bid’ah hasanah”, dg kau mengambil posisi mengingkarinya dg bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid;ah adalah sesat dan yg semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw : “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara logika atau dalil Alqur’an dan hadits) mengenai hal Bid’ah yg menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid;ah yg baik atau bid’ah yg sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid;ah (hal baru), maka bila ia membawa dalil tentang Bid’ah hasanah yg dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara akal logika atau nash Alqur’an dan hadits) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).

Jelaslah bahwa ucapan Imam Asyaukaniy menerima Bid;ah hasanah yg disertai dalil Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits), bila orang yg mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia tak bisa mengemukakan alasan secara logika, atau tak ada sandaran Naqli nya maka pernyataan tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli nya maka terimalah.

Inilah penyimpangan dan kelicikan atau kebodohan anda, anda menggunting kalimat Imam Syaukani dan membelokkan maknanya.

Demikianlah wahabiy, mereka menggunting ucapan2 para imam lalu menambalnya satu sama lain, licik bagaikan misionaris nasrani, entah karena kelicikannya atau karena kebodohannya, atau karena keduanya.
**
Anda salah memahami ucapan Imam Al Hafidh Ibn Rajab atau anda membelokkan maknanya, sebagaimana dijelaskan :
[size=4][b]
قال الحافظ ابن رجب في كتاب جامع العلوم والحكم فيه تحذير للأمة من اتباع الأمور المحدثة المبتدعة وأكد ذلك بقوله كل بدعة ضلالة والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة.
[/b][/size]
Berkata Al hafidh Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam yg padanya peringatan bagi ummat dari mengikuti hal hal yg baru diada adakan, dan itu dikuatkan dg hadits : “semua Bid’ah adalah sesat” maka yg dimaksud Bid;ah adalah yg tak ada asal usulnya dalam syariah yg menjadi penjelasnya, adapun apa apa yg ada asal usulnya dalam syariah maka hal itu tak bisa disebut Bid’ah dalam makna syariah, walaupun ia tetap disebut Bid’ah dalam makna bahasa. (Aunul Ma’bud Juz 12 hal 235)[size=4][b]

وقال ابن رجب في كتابه جامع العلوم والحكم ما لفظه جوامع الكلم التي خص بها النبي صلى الله عليه وسلم نوعان أحدهما ما هو في القران كقوله تعالى إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي قال الحسن لم تترك هذه الاية خيرا إلا أمرت به ولا شرا إلا نهت عنه والثاني ما هو في كلامه صلى الله عليه وسلم وهو منتشر موجود في السنن المأثورة عنه صلى الله عليه وسلم انتهى
[/b][/size]
Berkata Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam bahwa lafadhnya : kumpulan seluruh kalimat yg dikhususkan pada nabi saw ada dua macam, yg pertama adalah Alqur’an sebagaimana firman Nya swt : “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dg kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikanpun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya.
Maka yg kedua adalah hadits beliau saw yg tersebar dalam semua riwayat yg teriwayatkan dari beliau saw. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 5 hal 135)

Justru dalam kitab Jaami’ul uluum dijelaskan bahwa yg dimaksud semua Bid;ah sesat secara bahasa memang jelas bahwa semua bid’ah adalah sesat, namun makna Bid;ah secara syariah adalah semua Bid’;ah yg tak ada asal usul dari agama (Jaami’ul Uluum walhikam Juz 1 hal 266)
**
Anda kembali mendustakan atau anda tak memahami ucapan Imam Ibn Hajar :[size=4]
[b]
ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما وكذا القول في المحدثة وفي الأمر المحدث الذي ورد في حديث عائشة من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد كما تقدم شرحه ومضى بيان ذلك قريبا في كتاب الأحكام وقد وقع في حديث جابر المشار اليه وكل بدعة ضلالة وفي حديث العرباض بن سارية وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة وهو حديث أوله وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة بليغة فذكره وفيه هذا أخرجه احمد وأبو داود والترمذي وصححه بن ماجة وابن حبان والحاكم وهذا الحديث في المعنى قريب من حديث عائشة المشار اليه وهو من جوامع الكلم قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم أخرجه أبو من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشافعي
وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محمودة انتهى وقسم بعض العلماء البدعة الى الأحكام الخمسة وهو واضح. [/b]
[/size]
“semua hal baru yg tak ada asal/dalil dalam syariah dinamakan Bid’ah, namun apa apa yg ada dasar syariahnya maka bukanlah Bid’ah,
maka kalimat Bid’ah dalam makna syariah adalah hal yg buruk, namun berbeda dengan makna bahasa, karena dalam bahasa kesemua hal baru disebut Bid’ah, sama saja apakah itu yg baik atau yg buruk, demikian pula dalam hal hal baru, sebagaimana hadits yg diriwayatkan oleh Aisyah ra: “barangsiapa yg membuat hal baru dalam urusan kami (syariah) yg bukan dari syariah maka ia tertolak”, sebagaimana penjelasannya sudah kukemukakan beserta penjelasannya dalam kitab Al Ahkam, lalu pula terjadi pada hadits riwayat Jabir ra : “Semua yg bid;ah adalah sesat”, demikian pula hadits riwayat Al Irbadh bin Saariyah ra : “Hati hatilah dg hal yg baru, maka sungguh semua yg bid;ah itu sesat”, hadits itu diawali dengan wasiat Nabi saw pada kami dengan wasiat yg indah, maka disebutlah hadits itu, hasdits itu dikeluarkan oleh Ahmad, dan Abu Dawud, dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibn Majah, dan Ibn Hibban dan Hakim, maka hadits ini dg makna yg dekat dg hadits Aisyah sebagaimana disebutkan, dan terpadu padanya banyak sumber pemahaman kalimat, dan berkata Imam Syafii bahwa Bid;ah terbagi dua, Bid;ah terpuji dan Bid;ah tercela, maka hal hal baru yg sesuai dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tak sesuai dg sunnah maka tercela, demikian diriwayatkan dari Abu, dari Ibrahim bin Aljuneid, dari Assyafii.

Dan juga datang dari riwayat Assyafii sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam manakibnya, bahwa hal hal baru adalah dua macam : yaitu apa apa dari hal baru yg bertentangan dg Kitab dan Sunnah atau Atsar sahabat, atau Ijma; ulama maka itu adalah Bid;ah dhalalah, dan hal hal baru berupa kebaikan yg tak bertentangan dg hal hal diatas maka hal itu terpuji.
Dan sebagian para Ulama telah membagi Bid’ah kepada 5 hukum, dan hal ini telah jelas. (Fathul baari Almasyhur Juz 13 hal 254)
Inilah ucapan Imam Ibn hajar dalam kitabnya Fathul Baari yg anda sebutkan namun anda memebelokkan maknanya atau memang tidak memahaminya, atau keduanya.

berkata Al hafidh Imam Nawawi mengenai hadits riwayat shahih Muslim no.1017 ini :[size=4][b]

هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة[/b][/size]
pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

Lalu bagaimana dengan penjilidan Alqur’an yg jelas jelas Bid’ah sebagaimana dijelaskan ucapan Abubakar ashiddiq ra : “bagaimana aku melakukan hal yg tak pernah dilakukan oleh Rasul saw?”, namun akhirnya beliau melakukannya juga demi maslahat muslimin dg kesepakatan bersama Umar bin Khattab ra dan Zeyd bin Tsabit ra (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768)

Lalu bagaimana pula dg dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?
**
anda mengatakan :
[b]”Pemahaman mereka terhadap atsar,” Apapun yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik menurut Allah .”(Musnad Ahmad 1/39).
Bantahan:
Periwayatan atsar tersebut hanya sampai pada Abdullah Ibnu Mas’ud dan tidak sampai pada Rasulullah . Ibnul Qoyyim berkata,” Atsar ini bukan perkataan Rasulullah dan tak seorangpun menisbatkannya kepada beliau kecuali ia tidak mengerti tentang hadits. Ini hanyalah dari Ibnu Mas’ud.”(Al-Furuusiyyah, Ibnul Qoyyim hal:167). Komentar Az-Zaila’iy:” Gharib secara marfu’ dan tidak aku dapatkan kecuali terhenti pada Ibnu Mas’ud.”(Nashburrayah 4/133).
[/b]
Dengan membaca ucapan ini jelaslah sudah bahwa anda tak faham perbedaan antara “hadits” dengan “atsar”, karena yg disebut “atsar” adalah ucapan sahabat, bukan hadits Nabi saw, sampai anda bongkok pun tak akan anda temukan atsar yg merupakan hadits,
karena ayat adalah firman Allah swt, hadits adalah ucapan rasul saw, dan atsar adalah ucapan sahabat, kalau anda mengatakan atsar diatas ternyata bukan hadits, maka sama saja anda mengatakan ketika ada ucapan bahwa Tikus itu mirip kucing, lalu anda menjelaskan : Bantahan :bahwa setelah diselidiki tikus itu ternyata bukanlah kucing, dan anda perlu membuktikannya dg dalil dalil dan komentar ulama bahwa tikus itu ternyata bukanlah kucing,

lucu bukan..?,
[color=#0000FF]
[b]anda mengerti bahasa arab?, atau hanya menukil buku terjemah lalu berfatwa?, bahasa indonesia dalam membahas syariah tentunya hukumnya Bid;ah, hadits diterjemahkan pun hukumnya Bid’ah pula, namun Bid’ah hasanah tentunya.

sebaiknya anda belajar bahasa arab dulu, lalu carilah guru, dan risalah usang dari tahun 2002 itu simpan saja dilemari anda, sampaikan pada guru anda bahwa ia belajarlah dulu bahasa arab dan tinggalkan kelicikan menggunting tambal,

saya bicara dg fatwa Imam Ibn hajar dan saya mempunyai sanad guru kepada Imam Ibn Hajar,
saya bicara fatwa Imam Syafii saya mempunyai sanad guru kepada Imam Syafii,
saya bicara fatwa Imam Nawawi dan saya punya sanad guru hingga imam Nawawi,
saya berbicara shahih Bukhari dan saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,
saya berbicara fatwa para Imam dan saya mempunyai sanad pada mereka,

Berkata Imam Syafii : “Tiada ilmu tanpa sanad”

kami ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad pada imam imam kami, bukan mencuri curi ucapan mereka, menggunting sebagian lalu menambal dg fatwa sendiri dan berbuat munafik, hal seperti ini adalah kelicikan para Misionaris nasrani, bertobatlah dari kegelapan dan kesombongan wahai saudaraku.

Walillahittaufiq.[/b]
[/color]