Home Forums Forum Masalah Umum Benarkah ini Bib ?

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • Author
    Posts
  • #90337610
    Qudamah
    Participant

    Assalamu\’alaikum,,ya Habibana,,

    Sungguh senang rasanya hati ini, karena Habib mulai bisa untuk memberi kembali kehangatan disanubari yang gersang..terobati keresahan hati ini, ketika mendengar sakitnya sang pelita hati,,,

    Alhamdulillah ya Allah ,,,atas kesehatan Habibana.

    Bib, ini ada sedikit kutipan dari teman saya salafy atas hadist bid\’ah hasanah. Benarkah apa yang mereka perakatakan ini bib ? dan bagaimana pemahaman yang sebenarnya dari hadist itu menurut para ulama salafussholeh bib ?

    mohon pencerahannya bib,..

    ini tulisan mereka bib :

    Salah Faham Terhadap Hadits Sunnah Hasanah

    Terdapat sebuah hadits yang disering disalah fahami oleh orang-orang yang membolehkan amalan bid‘ah. Hadits yang dimaksudkan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
    مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
    Siapa saja yang mengadakan ( menseponsori ) dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. Siapa yang mengadakan ( mensponsori) dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun (lihat Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab anjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…).

    Hadits ini dijadikan dalil bahwa tidak mengapa melakukan bid‘ah asalkan ia baik. Ini adalah dalil yang salah yang dihasil dari pemahaman yang salah pula. pemahaman yang benar dapat diperoleh jika mau merujuk kepada Sabab al-Wurud (سبب الورود) hadits ini. Jika dalam pengajian tafsir ada bab yang dinamakan Sabab al-Nuzul, maka dalam hadits ia dinamakan Sabab al-Wurud atau Sabab Wurud al-Hadith. Saya jelaskan ( ta\’rifkan ) Sabab Wurud al-Hadith sebagai:
    ما دعا الحديثَ إلى وجوده، أيام صدوره.
    Apa yang membawa kepada ( sebab ) keluarnya hadits pada hari ( saat ) munculnya hadist tersebut
    Maksudnya, faktor yang menyebabkan sebuah hadits itu terbit ( keluar ) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kata lain, faktor-faktor yang menyebabkan belaiu mengucapkan sesuatu ucapan, melakukan sesuatu perbuatan atau mengakui sesuatu tindakan. Memahami sebab-sebab yang menyebabkan keluarnya sebuah hadits adalah sangat penting untuk menjaga kita dari meletakkan ( menajadikan dalil ) sebuah hadits tidak pada tempatnya. Ini karena kadang-kala sebab keluarnya sesuatu hadits sangat mempengaruhi maksud hadits. Kesalahan dalam memahami sebab keluarnya hadits akan membawa kepada kesalahan fahaman terhadap maksud hadits tersebut . sebagai misalnya adalah hadits yang di atas ada Sabab al-Wurudnya dan ini mari kita rujuk kepada hadits itu sendiri dalam bentuknya yang lengkap:
    عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. عَلَيْهِمُ الصُّوفُ. فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ. قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ. فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ رَجُلاً مِنَ لأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ.
    فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
    Dari Jarir bin ‘Abd Allah katanya: Datang sekumpulan Arab Baduwi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka memakai pakaian bulu. Baginda melihat buruknya keadaan mereka. Mereka ditimpa kesusahan. Baginda menganjurkan orang orang untuk bersedekah. Namun mereka lambat melakukannya sehingga kelihatan kemarahan pada wajah baginda. (Kata Jarir) Kemudian seorang lelaki dari golongan Ansar datang dengan sebuah perak (dan mensedekahkannya). Kemudian datang seorang yang lain pula, kemudian orang ramai datang (bersedekah) berturut-turut. Sehingga terlihat kegembiraan pada wajah baginda.
    (Melihat yang sedemikian) Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam bersabda: siapa yang mengadakan (menseponsori) dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. dan siapa yang mengadakan ( menseponsori ) dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun ( Rujukan yang sama sebelumnya, Shahih Muslim – hadith no: 1017 (Kitab Zakat, Bab sanjuran bersedekah sekalipun dengan setengah biji tamar…)..
    Dengan merujuk Sabab al-Wurud dalam hadist di atas, kita dapat mengetahui bahwa “Sunnah Hasanah” yang dimaksudkan merujuk kepada sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bukannya satu perbuatan yang tidak memiliki asal usul di dalam syariat. Mensponsori ( mengadakannya ) untuk bersedekah tidaklah termasuk mengadakan amalan baru, bahkan sebaliknya bermaksud untuk memulai langkah atau tindakan bagi perkara yang sudah ada asal usulnya.
    Lebih lanjut, marilah kita merujuk kepada penjelasan al-Syeikh ‘Ali Mahfuz (1) dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’ (الإبداع في مضارّ الابتداع) ketika menjawab kekeliruan orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai hujah bagi membolehkan bid‘ah:
    Jawaban terhadap kekeliruan ini ialah, bukanlah maksud mengadakan sunnah itu membuat rekaan (baru). Namun maksudnya (ialah mengadakan ) amalan yang thabit (pasti) dari sunnah Nabi shallallahu \’alaihi wasallam … Sesungguhnya sebab yang karenanya terbit hadits ini ialah sedekah yang disyariatkan … (lalu disebut hadits di atas secara lengkap) … hadits ini menunjukkan bahwa yang dikatakan sunnah di sini seperti apa yang dilakukan sahabat tersebut yang membawa sebuah perak. Dengan sebab dan karenanya terbukalah pintu sedekah dengan cara yang lebih nyata sedangkan sedekah memang disyariatkan dengan kesepakatan ulama’. Maka jelas maksudnya (“siapa yang mengadakan Sunnah Hasanah…”) di sini ialah siapa yang beramal. Ini kembali kepada hadits ( من أحيا سنة قد أميتت بعدي فإن له من الإجر…).(2) Seakan-akan sunnah itu sedang tidur maka sahabat radhiallahu \’anh berkenaan menggerakkannya dengan perbuatannya. Bukan maksudnya mengadakan sunnah yang (sebelumnya) tidak pernah ada. ( ‘Ali Mahfuz, al-Ibda’ fi Madarr al-Ibtida’, m.s. 128-129. (nukilan berpisah)

    Dalam Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin (نزهة المتقين شرح رياض الصالحين) karya Dr. Mustafa al-Bugha ( Beliau ialah seorang tokoh yang masyhur, bermazhab al-Syafi’i) . dan rakan-rakannya, dijelaskan:
    Hadits ini dianggap sebagai asal dalam menentukan bid\’ah Hasanah dan Saiyyiah. Bersegeranya sahabat, berlomba-lomba dalam bersedekah adalah sunnah Hasanah –seperti yang disebut oleh Nabi shallallahu \’alaihi wasallam. Dari sini difahami bahwa apa yang dikatakan sunnah Hasanah itu adalah sesuatu yang pada asalnya disyarakkan seperti sedekah. (Dr. Mustafa al-Bugha, Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyad al-Salihin , jld. 1, m.s. 160) .
    Berkata al-Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (1421H) (3):
    Jika kita mengetahui sebab (keluarnya) hadits ini dan meletakkan maknanya dengan betul, maka jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “mengadakan sunnah” di sini ialah melakukan ( memulaikan) amal. Bukan melakukan (memulaikan) tasyri’ (syariat baru). Ini karena tasyri’ hanya boleh dilakukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadits “siapa yang mengadakan (memulaikan)” ialah melakukan (memulaikan) amal dengannya dan orang ramai mencontohnya… atau boleh dimaksudkan juga siapa yang melakukan (memulaikan) jalan yang baik yang menyampaikan kepada ibadah lalu orang ramai mencontohinya. Ini seperti menulis buku, meletakkan bab-bab ilmu, membina sekolah dan sebagainya dimana ia adalah jalan kepada perkara yang dituntut syari\’at . Apabila seorang insan mengadakan (memulaikan) jalan yang membawa kepada perkara yang dituntut oleh syari\’at dan jalan itu pula tidak terdiri dari apa-apa yang dilarang, maka dia termasuk dalam hadits ini. Jika makna hadits adalah seperti yang disalah fahami, yaitu seorang insan boleh membuat apa saja syariat yang dia mau, bererti agama Islam belum sempurna pada (akhir) hayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Muhammad bin Salih al-‘Utsaimin, Alfaz wa Mafahim (ألفاظ ومفاهيم), m.s. 53.)

    Kesimpulan Pembahasan:
    Sebagai kesimpulan pembahasan masalah ini , sekali lagi ditegaskan bahwa maksud hadits “…mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik (Sunnah Hasanah)…” ialah mengadakan perkara yang sudah ada asal usul di dalam syari\’at seperti sedekah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu \’alaihi wasallam.

    selesai ,,,,

    jazakallah bib,

    #90337647
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Kasih sayang dan Rahmat Nya swt semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    mereka itu dangkal pemahaman, ilmunya cuma nukil nukil lalu berfatwa, berikut saya tampilkan penjelasan yg akurat tentang masalah bid\’ah.

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

    Wallahu a\’lam

    [b]1. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.[/b]
    Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid;ah dhalalah.

    Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yg tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam,

    bila yg dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yg baik boleh boleh saja.

    namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yg bertentangan dg syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan…dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah.

    Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dg hal yg ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).

    Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

    [b]2. Sahabat Melakukan Bid;ah[/b]
    Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : [b]Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??,[/b] maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

    Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.

    Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dg geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yg baru, sungguh semua yg Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

    Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dg persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

    [b]Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dg nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.[/b]
    Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

    Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

    Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

    Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.

    Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.

    Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut.
    Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
    Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

    Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
    Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dg jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

    Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal hal baru yg baik adalah hati yg sehati dg Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah swt,
    Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dg mereka, belum setuju dg pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dg geraham yg maksudnya berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
    Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dg Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

    Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

    [b]1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)[/b]
    Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

    [b]2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah[/b]
    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

    [b]3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)[/b]
    “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

    Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram.
    Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

    [b]Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah[/b]
    Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

    Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?

    Walillahittaufiq

    Telah beredar buku saya mengenai Bid’ah, tawassul, istighatsah, maulid, ziarah kubur, tabarruk dll, buku itu saya beri judul “Kenalilah Akidahmu”. Dapat dipesan di sekertariat kami.

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Umum’ is closed to new topics and replies.