Home › Forums › Forum Masalah Fiqih › hukum menerima fatwa
- This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 15 years, 6 months ago by Munzir Almusawa.
-
AuthorPosts
-
March 27, 2009 at 2:03 am #147236743chandra abiesumanParticipant
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..
habibana, saya mau bertanya mengenai:
1. Bagaimana hukum dalam menerima fatwa? apakah wajib diikuti?
2. Bagaimana jika banyak ulama bertentangan dalam memberikan fatwa, dimana fatwa2 mereka saling bertentangan.. padahal masih didalam kaidah ushul fiqh dalam mazhab yang sama..? saya melihat dalam Al majmu, imam Nawawi banyak membedah banyak perbedaan fatwa2 ulama mazhab Syafi\’i.. Lalu beliau mentarjih pendapat terkuat.
Apakah lalu kita harus mengikutinya?3. Bagaimana dengan kaidah fiqh, \"mempermudah bukan mempersulit\"?
Dapatkah kita terapkan dalam mengambil fatwa? dalam artian kita mengikuti fatwa yang paling memudahkan syariat?4. Adakah dizaman sekarang, seorang imam yang diakui secara mutlak bahwa fatwa2nya patut diikuti? bagaimana pendapat habibana mengenai Dr. Yusuf Qaradhawi?
5. Bagaimana pendapat habibana dengan mengikuti fatwa ulama dari mazhab lain? Misalnya seorang bermazhab Syafi\’i mengikuti fatwa ulama mazhab hambali, atau hanafi?
Terima kasih..
mohon penjelasan dari Habibana..
jazzakullah.
Wass
March 27, 2009 at 2:03 am #147236748Munzir AlmusawaParticipantAlaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
1. bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh, bisa haram2. anda hendaknya berpegang pada guru, bukan pada buku, karena buku akan membingungkan anda, tanyakan pada guru mengenai fatwa fatwa tsb, dan guru anda akan memberikan kejelasan gamblang tentang makna masing masing fatwa tsb.
fatwa Imam Nawawi lebih banyak diikuti oleh para salafusshalih, sebenarnya bukan mentakhrij, tapi memperjelas, karena fatwa Imam Syafii sangat tinggi dan kalau bukan para mufti akan terbingungkan,
misalnya datang seorang miskin kepada Imam Syafii, wahai Imam, aku berjimak dg istriku disiang hari bulan puasa, apa kafaratnya?, imam syafii berkata : beri makan orang miskin 60 orang.
lalu datang orang kedua seorang kaya raya : wahai Imam aku berjimak dsg istriku disiang hari bulan ramadhan, apa kafaratnya?, Imam Syafii menjawab : puasa 60 hari berturut turut.
maka murid murid Imam syafii bertanya : wahai Imam, orang pertama kau jawab memberi makan 60 orang miskin, orang kedua kau katakan 60 hari puasa, padahal keduanya boleh, karena Rasul saw bersabda mereka yg berjimak dg istrinya di siang hari bulan ramadhan maka baginya puasa 60 hari, atau mrmberi makan 60 orang miskin, kenapa kau tak jelaskan itu dan memotongnya sebagian saja?
Imam Syafii menjawab : orang pertama adalah orang msikin, mudah baginya puasa 60 hari, mungkin setiap haripun ia hanya makan sekali, maka ia akan sering berjimak dg istrinya di siang hari ramadhan, karena mudah baginya hal tsb, maka kukatakan harus memberi makan 60 orang miskin, agar ia jera
sedangkan orang kedua adalah orang kaya raya, jika kukatakan padanya kafaratnya memberi makan 60 orang miskin maka ia akan jimak dg istrinya setiap hari, dan cukup memberi makan 6000 orang miskin pun ia mampu, maka kukatakan puasa 60 hari, agar ia jera.
demikian fatwa fatwa Imam syafii, jika orang mengambilnya sepotong sepotong ia akan terjebak, maka Imam Nawawi memperjelasnya dan mempermudahnya untuk kita.
3. betul namun jangan keluar dari batas mubah.
4. Dr Yusud Qaradhawi bukan ulama yg diakui handal, ia bukan mufti, bukan pula Almusnid, bukan pula ALhafidh, ia hanya menukil dari buku buku dan tak mempunyai sanad kepada paraa Muhadditsin, maka fatwanya batil dan pendapatnya dhoif tak bisa dijadikan rujukan hukum.
5. semua madzhab berlandaskan hadits shahih dan syariah yg kuat, namun tidak layaknya seseorang berpindah pindah madzhab,mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga rasul saw, bukan sebagaimana orang orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,
anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
karena kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarkun wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii.
Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yg mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yg akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia butuh sanad yg ia pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas..
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dg madzhab syafii nya,
demikian pula bila ia berada di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari madzhab lain.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a\’lam
-
AuthorPosts
- The forum ‘Forum Masalah Fiqih’ is closed to new topics and replies.