Home Forums Forum Masalah Umum ingin tanya

Viewing 3 posts - 1 through 3 (of 3 total)
  • Author
    Posts
  • #184885727
    rangga putra
    Participant

    Assalamu\’alaikum guruku habib munzir al musawa……semoga selalu dalam keadaan sehat wa alfiat……..dan semoga Allah selalu memberi kekuatan selalu bwt habib munzir utk tetap berdakwah….Amin.

    habib sy ada pertanyaan dari buku yg sy dapat dari teman saya karangan muhammad bin sholeh Al Utsamaini….

    1. Dibuku tsb mengatakan bahwa hadis yg berbunyi \"man sanna fil islaami sunnatan khasanata…..dst itu menyatakan menghidupkan kembali sunnah2 yg baik yg pernah ada bukan membuat hal baru…..mohon penjelasannya bib….dan bunyi hadisnya yg benar memakai fil islaam atau tdk bib..?

    2. Dibuku tsb mengatakan bahwa solat sunnah tarawih berjamaah bukanlah bid\’ah melainkan sunnah Rasulullah namun Umar mengatakan bid\’ah hasanah karena solat tarawih itu sudah lama tidak dilaksanakn dengan cara satu jama\’ah melainkan ada yg sendiri-sendiri dan yang berjamaah dalam kelompok kecil2, mohon penjelasannnya Bib?

    3.Saya pernah melihat di masjid para habaib setelah mengucapkan salam dalm solat berjamaah selalu memegang dada sebelah kiri dan mengucapkan doa,apa doa yang dibaca dan hukumnya seperti apa Bib dan mohon penjelasannya.

    4.Bib, mohon penjelasan riwayat anak2 dari Fatimah Az Zahra selain Imam Hasan dan Imam Husein, seperti Muhsin, Zaenab dan Ummu Kultsum.

    #184885747
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    1. mengenai Utsaimin, ia bukan ulama hadits, ia tak mempunyai sanad dalam ilmu hadits, tidak mempunyai sanad kepada para muhadditsin, maka pendapatnya batil dan tak bisa dijadikan pegangan, mengenai hadits tsb, jika saya jelaskan hadits itu saja, mereka akan menjawab dg hadits lainnya, berikut saya kutipkan saja artikel saya tentang Bid;ah hasanah didalam buku saya kenalilah akidahmu edisi 2.

    DEFINISI BID’AH
    I.1.1 Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
    Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :

    مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

    “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim Bab Zakat dan Bab Al ‘Ilm). Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah.

    Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam, maka perbuatlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal – hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Dan inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM.. (dst)” “hari ini KU-sempurnakan untuk kalian agama kalian, KU-sempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan KU-ridhai Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al-Maidah : 3). Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul-Nya, alangkah sempurnanya Islam.
    Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat – ayat lain turun, masalah hutang dll. Berkata Para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini, maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh – boleh saja.

    Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa – apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat – buat hal baru yang berupa keburukan…(dst)”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
    Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah Dhalalah).
    Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas – jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

    I.1.2 Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?

    أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
    أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ …

    “Bahwa Sungguh Zeyd bin Tsabit ra berkata : Abubakar ra mengutusku Ketika terjadi pembunuhan besar – besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah), dan bersamanya Umar bin Khattab ra, berkata Abubakar : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : \"Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung – gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits No.4402 dan 6768).

    Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar Asshiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah – pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll. Ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

    Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah Hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan.., maka beri wasiatlah kami..” maka Rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat), maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat – kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati – hatilah dengan hal – hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits No.329).

    Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah Khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar Asshiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.

    Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Asshiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik – baik Bid’ah!” (Shahih Bukhari hadits No.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama “Mushaf Utsmaniy”, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.

    Demikian pula hal yang dibuat – buat tanpa perintah Rasul saw adalah 2X adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bukhari hadits No.873). Seluruh madzhab mengikutinya.

    Lalu siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

    TAMBAHAN DALAM HAL BID’AH HASANAH

    Mengenai ucapan Al Hafidh Al Imam Assyaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru, namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqli-nya, maka bila orang yang bicara hal baru itu punya sandaran logika atau sandaran naqli-nya, maka terimalah, sebagaimana ucapan beliau :

    وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة

    “Hadits – hadits ini merupakan kaidah – kaidah dasar agama karena mencakup hukum – hukum yang tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap Bid’ah yang baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an / hadits),
    Maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau pada posisi ingin melarangnya, dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid’ah adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta alasan pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal Bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid’ah (hal baru), maka bila ia membawa dalilnya (tentang Bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara logika atau ayat dan hadits) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).

    Jelaslah bahwa ucapan Imam Assyaukaniy menerima Bid’ah hasanah yang disertai dalil Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits). Bila orang yang mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia TIDAK bisa mengemukakan alasan secara logika (bahwa itu baik dan tidak melanggar syariah), atau tak ada sandaran naqli-nya (sandaran dalil hadits atau ayat yang bisa jadi penguat) maka pernyataan tertolak. Bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli-nya maka terimalah. Jelas – jelas beliau mengakui Bid’ah hasanah.

    Berkata Imam Ibn Rajab :

    جوامع الكلم التي خص بها النبي صلى الله عليه وسلم نوعان، أحدهما ما هو في القران قوله تعالى إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي.قال الحسن لم تترك هذه الاية خيرا إلا أمرت به ولا شرا إلا نهت عنه والثاني ما هو في كلامه صلى الله عليه وسلم وهو منتشر موجود في السنن المأثورة عنه صلى الله عليه وسلم انتهى

    “Seluruh kalimat yang dikhususkan pada Nabi saw ada 2 macam, yang pertama adalah Alqur’an sebagaimana firman-Nya swt : “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua adalah hadits beliau saw yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau saw. (Jaamiul uluum walhikam Imam Ibn Rajab juz 2 hal 4), dan kalimat ini dijelaskan dan dicantumkan pula pada Tuhfatul ahwadziy).

    Jelas sudah segala hal yang baik apakah sudah ada dimasa Rasul saw ataupun belum, sudah diperintahkan dan dibolehkan oleh Allah swt, apakah itu berupa penjilidan Alqur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mustalahul hadits, maulid, Alqur’an digital, dlsb. Dan semua hal buruk walau belum ada dimasa Nabi saw sudah dilarang Allah swt, seperti narkotika, ganja, dlsb.

    I.1.3 Bid’ah Dhalalah
    Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah Dhalalah, dan Bid’ah Dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin. Nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas – jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin. Bagaimana sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah, bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah, maka penolakkan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.

    Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok agama Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing – masing, melainkan hal itu merupakan ijma\’ atau kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

    Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para Tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw dan memberikan klasifikasi hukum hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.

    Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Alqur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah, namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh Madzhab mengikutinya.

    Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Alqur’an yang di kasetkan, di CD kan, program Alqur’an di handphone, Alqur’an yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.

    Bid’ah yang baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Alqur’an, untuk selalu membaca Alqur’an, bahkan untuk menghafal Alqur’an dan tidak ada yang memungkirinya.

    Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Alqur’an tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
    Alqur’an masih bertebaran di tembok – tembok, di kulit onta, di hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu – ribu versi Alqur’an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing – masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Alqur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal – hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal – hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah Dhalalah).

    Saudara – saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan – ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Asshiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra : ”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

    Maka kuhimbau saudara – saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal – hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt.
    Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka).

    Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

    I.2.1 Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
    1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
    Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

    2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk – buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

    3. Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
    Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan – kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

    Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
    Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku – buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik – sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

    4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
    Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang umum anyg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah KU-pastikan ketentuan-KU untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

    Kemudian bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati – hati darimanakah ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa – fatwa para Imam? (Walillahittaufiq)

    2. mengenai Tarawih, jika ia mengatakan itu adalah sunnah, namun itu adalah sunnah mansukhah (sunnah yg sudah dihapus), karena Rasul saw melakukannya lalu kemudian melarangnya setelah semakin banyak yg melakukannya, Rasul saw kemudian merubahnya, dan membubarkannya agar shalat sendiri sendiri, beliau saw ketika 3 malam beturut turut jamaah semakin banyak maka beliau saw memerintahkan mereka shalat sendiri sendiri bersabda : Shalatlah dirumah kalian, demikian riwayat shahih Bukhari.

    jika hal itu sunnah, maka sungguh Khalifah Abubakar shiddiq ra akan melakukannya, mustahil khalifah mulia ini meninggalkan sunnah Rasul saw, dan kemana para sahabat lain saat itu?

    ia tak melakukannya, dan para sahabat pun tak ada yg melakukannya, setelah dimasa Khalifah Umar ra beliau ra mengadakannya kembali.

    utsaimin tanpa menyadari, telah menuduh khalifah Abubakar shiddiq ra itu tak faham sunnah, dan para sahabat dimasa khalifah Abubakar shiddiq ra tak tahu sunnah, dan utsaimin lah yg lebih tahu sunnah… tentunya pendapat batil dan sesat.

    3. hal itu tak saya temukan dalam riwayat shahih, namun belasan riwayat shahih Bukhari, shahih muslim dan riwayat shahih lainnya bahwa Rasul saw memegang dada orang utk mendoakannya, dari riwayat2 tsb bisa diambil kesimpulan memegang dada sambil berdoa adalah hal yg tidak terlarang bahkan mulia, para salafusshalih melakukannya, maka boleh saja melakukannya karena hal itu baik dan ada banyak sandaran dalil shahih penguatnya, mengenai yg dibaca, banyak riwayat berbeda, sebagian membaca kalimat Laa ilaha illallah, sebagian emmbaca doa Allahumma a;inniy ala syukrika wa dzikrika wa husni \’ibaadatik, dan banyak lagi riwayat lainnya.

    4. Muhsin wafat dimasa kecil, demikian pula ummu kultsum, sedangkan zainab sempat dewasa dan menikah dengan Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib ra, dan mempunyai 4 anak, yaitu Ali, Aun, Abbas, ruqayyah. demikian dari Sayyidah Fatimah ra, namun anak anak Sayyidina Ali kw secara keseluruhan adalah 15 putera dan 18 putri.

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

    Wallahu a\’lam

    #184885748
    Munzir Almusawa
    Participant

    sedikit tambahan, bahwa para pakar hadits mempunyai derajat keilmuan untuk didengar dan dijadikan rujukan fatwanya, yaitu
    Al Hafidh : mereka yg sudah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum sanad dan matannya.

    Al hujjah/hujjatul islam : mereka yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad, dan hukum sanad dan matannya.

    Al hakiim : mereka yg sudah hafal lebih dari itu dan lebih mendalam dalam ilmu hadits dan lainnya,

    Al imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya, demikian Imam Abu Dawud.

    didalam ilmu musthalah hadits, dikenal Imamussab\’ah, yaitu 7 Imam Muhaddits besar yg riwayatnya lebih kuat dari muhaddits lainnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Abu dawud, Imam Ibn Majah, Imam Muslim dan Imam Bukhari.

    jika ada hadits yg bertentangan dari riwayat muhaddits lainnya dg para Muhaddits diatas, maka hadits mereka kalah kuat.

    dan dari 7 Imam Besar itu ada gelar yg lebih kuat, disebut kutubussittah, yaitu ketujuh Imam diatas namun Imam Ahmad bin Hanbal tidak termasuk, maka jika riwayat Imam Ahmad berbenturan dg riwayat 6 imam lainnya, maka riwayatnya kalah kuat.

    dari 6 Imam besar itu terpilih dua golongan, yaitu kutubul arba\’ah, yaitu Imam Abu Dawud, Imam Nasa\’;i, Imam Tirmidzi dan Imam Ibn Majah,

    dan yg diatas mereka adalah Syaikhain, yaitu Imam Bukhari dan imam Muslim, jika riwayat shahih Muslim atau Shahih Bukhari berbenturan dg riwayat imam lainnnya maka riwayat imam lainnya itu kalah kuat.

    dan diantara dua Imam terbesar dan terkuat dalam ilmu hadits ini adalah Imam Bukhari, ia jauh lebih kuat dari Imam Muslim, bahkan Imam Muslim berguru padanya,. diriwayatkan pada siyar A\’lamunnubala dan Tadzkiratul Huffadh bahwa Imam Muslim mempunyai kendala dalam suatu masalah dalam ilmu hadits, ia tak menemukan jawabannya dari semua para imam dizamannya, lalu ia dirujukkan kepada Imam Bukhari, dan Imam Bukhari menjawabnya dg mudah, maka berkata Imam Muslim : izinkan aku mencium kakimu wahai Raja Ahli Hadits…, demikian riwayat yg masyhur.

    jika Imam Ahmad bin hanbal sudah hafal 1 juta hadits saja, masih berada pada peringkat terakhir dari 7 Imam besar ini, maka bagaimana dg Imam Bukhari yg berada pada peringkat tertinggi?

    lalu bagaimana dg utsaimin ini, yg tak mempunyai sanad hadits kepada muhadditsin, tidak pula mencapai derajat Alhafidh apalagi yg lebih dari itu, bagaimana fatwanya akan diterima jika berbenturan dg fatwa para Imam Imam, para Hujjatul islam?

Viewing 3 posts - 1 through 3 (of 3 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Umum’ is closed to new topics and replies.