Home Forums Forum Masalah Tauhid Keras Kepala Kaum Wahhabi : Allah Di Arsy

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • Author
    Posts
  • #182665830

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Cahaya Rahmat Nya swt semoga selalu menerangi hari hari Habib dan seluruh Jamaah Majelis rasulullah saw dengan kebahagiaan,

    Ya habib yang sangat kudambakan ilmu dan petuahnya,

    Tiada yang pantas dari hamba yang hina ini mengucapkan beribu terimakasih atas pencerahannya.

    Ya Habib yang sangat kumuliakan dan kurindukan,

    Lagi lagi mengenai kaum wahhabi ini sungguh sangat menjengkelkan dan sangat keras kepala.

    A.Sebenarnya makna istiwa itu apa ya habib ?
    Berikut ya habib artikel dari wahhabi :

    Firman Allah Ta\’ala:

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    \"Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas \’Arsy.\" (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas \’Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A\’raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra\’d:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
    Para tabi\’in menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-\’Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma\’aarif)

    2. \"Apakah kalian merasa aman terhadap \"Yang di langit\" bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?\" (Al-Mulk:16)
    Menurut Ibnu \’Abbas yang dimaksud dengan \"Yang di langit\" adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.

    3. \"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka.\" (An-Nahl:50)

    4. Firman Allah tentang Nabi \’Isa: \"Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya.\" (An-Nisaa:158)
    Maksudnya Allah menaikkan Nabi \’Isa ke langit.

    5. \"Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.\" (Al-An\’aam:3)
    Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: \"Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut.\"
    Adapun firman Allah: \"Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.\" (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.

    6. Rasulullah mi\’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun \’alaih)

    7. Rasulullah bersabda: \"Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?\" (Muttafaqun \’alaih)

    8. Rasulullah bersabda: \"Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian.\" (HR. At-Tirmidziy)

    9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: \"Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati.\" (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd \’alal Jahmiyyah)

    10. \’Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: \"Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?\" Maka beliau menjawab: \"Tuhan kita di atas langit, di atas \’Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya.\" Maksudnya Dzat Allah berada di atas \’Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas \’Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.

    11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul \"Sesungguhnya Allah itu di atas \’Arsy.\" Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya \"Al-\’Ilm wal Muta\’allim.\"

    12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: \"Subhaana Rabbiyal A\’laa\" (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).

    13. Seseorang ketika berdo\’a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.

    14. Anak kecil ketika ditanya: \"Di mana Allah?\", niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.

    15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.

    16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

    B. Mengenai hadits jariyah seorang budak bagaimana menurut habib? Ketika budak jariyah tersebut bertanya kepada Rasulullah saw : Dimanakah Allah? Dan Rasul sawmenjawab Di langit..

    Maaf ya habib riwayatnya kurang lebih seperti itu, statusnya hadits ini bagaimana ya habib? Ini yang selalu di bela mati matian oleh Wahhabi/ Salafi Palsu untuk memperkuat argumen mereka dalam mengatakan Allah di Arsy
    Ya habib yang sangat kudambakan imu dan petuahnya ,sungguh alfaqir yang banyak merepotkan habib sudilah kiranya kalau habib merasa kerepotan ,alfaqir mohon dibukakan pintu maaf yang tak terhingga

    Demikianlah ya habib yang sangat kudambakan ilmu dan petuahnya, semoga dalam limpahan kasih sayang Nya dan semoga jamaah majelis rasulullah akan terus semakin membesar sehingga banyak dari orang orang yang telah tersesat ke faham wahhabi tobat.

    Wassalam

    #182665838
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    bumi ini bulat, lalu diatas yg mana..?, berikut saya cuplikkan penjelasan saya di buku saya yg baru beredar yaitu kenalilah akidahmu edisi 2.

    II.1. AYAT TASYBIH
    Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin yang melenceng dari kebenaran dan makin banyak muncul masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada di langit, mempunyai tangan, wajah dll, yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid Illahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat – ayat dan hadits tersebut.
    Sebagaimana makna Istiwa, yang sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT”. Entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istiwa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat – ayat dan nash hadits lain. Bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?

    Dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah Swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits No.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir dan waktu sepertiga malam terakhir terus bergeser ke belahan bumi lainnya.

    Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka. Jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits qudsiy mengatakan Allah di langit yang terendah.

    Berkata Hujjatul Islam Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tidak diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”. Demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang – orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.

    Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS. Al Fath : 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.

    Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi wali-Ku sungguh Ku-umumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan hal – hal yang fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan hal – hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka Aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada-Ku niscaya Ku-beri permintaannya….” (Shahih Bukhari hadits No.6137)

    Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas – jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

    Masalah ayat atau hadist tasybih (bermakna saru) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
    1. Pendapat Tafwidh Ma’a tanzih
    2. Pendapat Ta’wil

    III.1.1 Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih
    Madzhab Tafwidh Ma’a Tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt, dengan I’tiqad Tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan), sebagaimana ucapan Imam Malik diatas, ia tak mau menfsirkannya.

    Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

    Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para Imam yang memegang madzhab tafwidh ma\’attanzih

    II.1.2 Madzhab Takwil
    Madzhab Takwil yaitu menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan ke-Esaan dan Keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)

    Pendapat ini juga terdapat dalam Alqur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam – imam ahlussunnah waljamaah.

    Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka, (QS. At-taubah : 67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum” sungguh kami telah lupa pada kalian, (QS. Assajdah : 14). Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah Tuhanmu itu lupa” (QS. Maryam : 64)

    Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits No.2569)
    Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?

    Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Nawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba-Nya, dan kemuliaan serta kedekatan-Nya pada hamba-Nya itu. \"dan makna : wajadtaniy indahu ya’niy (kau akan temui Aku disisinya) wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” (akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan-Ku) dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 16 hal 125)

    Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
    Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan-Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa – apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas Tuhan sekalian alam” . (QS. Asshaffat : 180-182). Walillahittaufiq

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

    Wallahu a\’lam

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Tauhid’ is closed to new topics and replies.