Home Forums Forum Masalah Tauhid Masih tentang Mutasyabihat

Viewing 6 posts - 1 through 6 (of 6 total)
  • Author
    Posts
  • #83031089
    Qudamah
    Participant

    Assalamu\’alaikum ya Habib,
    Dengan tidak mengurangi rasa memuliakan, dan dengan niat untuk menuntut ilmu yang haq (sesuai dengan faham Ahlussunnah wal jama\’ah), ana bertanya lagi kepada habib yang dimuliakan.

    Bib,
    berikut ada kutipan hadist yang diberikan seorang salafy kepada ana, dimana dalil ini dijadikan hujjah untuk menetapkan Allah boleh bertempat (naudzubillah), mohon kiranya Habib menjelaskan agar proporsi bisa didudukkan sesuai kadarnya.

    Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :
    Artinya :
    “Beliau bertanya kepadanya : “Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : “Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : “Siapakah Aku ..?”. Jawab budak itu : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”.

    Mohon dengan sangat bib,,

    Jazakallah

    #83031099
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Cahaya Keberkahan Lailatul Qadr semoga selalu menerangi hari hari anda dengan kebahagiaan,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yg hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

    Sebagaimana makna Istiwa (Innallah alal Arsyi Istawa= Sungguh Allah Istawa diatas Arsy), yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam,

    padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk,

    sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,

    maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg terendah.

    Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : [b]”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”[/b], demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini.

    Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.

    Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya….” (shahih Bukhari hadits no.6137)
    Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

    Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
    1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih
    2.Pendapat Ta’wil

    1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
    Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.

    dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.

    2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
    Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.

    seperti ayat :
    ”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
    dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).

    Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)

    Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)

    apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?

    Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)

    Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
    Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
    Walillahittaufiq

    #83031199
    Kabut
    Participant

    Assalamualaikum warahmatullah..
    Semoga cahaya kelembutan dan kasih sayang ALLAH selalu tercurah kepada Habibana dan seluruh jamaah MR.
    Yaa Habibana mengenai pertanyaan Sdr. Qudamah, ana baca di satu artikel bahrusshofa.blogspot.com seperti ini ; ( dan kami mohon \"Tashiih\" dari Habibana )
    Antara dalil yang biasa dikemukakan oleh puak hasywiyah bagi menetapkan Allah bertempat di langit ialah Hadits Jariah. Maka dijajalah hadits ini ke sana ke mari untuk menegakkan pegangan mereka bahawa Allah itu mengambil tempat di langit, subhanAllah. Maka ramai, kalangan awam terpengaruh dengan kalam fahisy mereka ini, serta beri\’tiqad bahawa Allah itu di langit, subhanAllah. Tidaklah mereka mengetahui bahasan dan penjelasan dan keterangan daripada para ulama kita berhubung dan mengenai hadits tersebut, sama ada kerana memang mereka tidak mengetahuinya atau sengaja buat-buat tak tahu. Ulama-ulama kita sebenarnya telah membahaskan dengan panjang lebar akan hadits ini dari segala aspeknya, baik sudut riwayat dan thuruqnya, sehinggalah kepada perbezaan lafaznya antara satu riwayat dengan riwayat yang lain kerana Hadits Jariah ini mempunyai riwayat yang berbilang-bilang.

    Untuk posting ini aku nukil yang diriwayatkan Imam Muslim dalam \"al-Jami` ash-Shohih\" jilid 1, juzuk 2, halaman 70 – 71, kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih. Ianya adalah sebahagian daripada hadits yang panjang yang menceritakan kisah Sayyidina Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy r.a. mentasymit seseorang yang bersin ketika bersholat di belakang Junjungan Nabi s.a.w., lalu selesai sholat dia ditegur oleh Junjungan Nabi s.a.w. dengan menyatakan bahawa dalam sholat tidak boleh berbicara selain daripada tasbih, takbir dan pembacaan al-Quran. Setelah itu Sayyidina Mu`aawiyah telah bertanya beberapa persoalan kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan di antaranya ialah mengenai permerdekaan seorang hambanya (jariahnya) yang telah ditempelengnya. Untuk ringkas aku tidak nukilkan keseluruhan hadits tersebut, cuma aku letakkan di sini bahagian akhirnya berhubung dengan kisah jariah tersebut.

    Pada halaman 71, jilid 1, juzuk 2 kitab tersebut, Imam Muslim rhm. meriwayatkan, antara lain, sebagai berikut:
    \" (Telah berkata Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy) Aku mempunyai seorang jariah yang menggembala kambingku di sebelah bukit Uhud dan al-Jawwaniyyah. Suatu hari ketika aku menjengoknya, tiba-tiba seekor serigala telah melarikan seekor kambing dari gembalaannya. Dan aku sebagai seorang manusia menjadi marah sebagaimana manusia lainnya, lalu aku menampar mukanya sekali. Kemudian aku mendatangi Junjungan Nabi s.a.w. dan baginda memandang serius perbuatanku yang sedemikian (yakni menampar muka si jariah tersebut). Aku berkata kepada Junjungan Nabi s.a.w.: \"Wahai Rasulallah, adakah kumerdekakan dia\", (yakni sebagai menebus kesilapan menampar tadi, dia hendak memerdekakan si jariah tersebut) ? Junjungan Nabi s.a.w. menyuruh agar si jariah didatangkan kepada baginda. (Apabila si jariah berada di hadapan Junjungan Nabi s.a.w.), Junjungan Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: \"Di manakah Allah ?\" Jariah tersebut menjawab: \" Di langit.\" Junjungan s.a.w. bertanya lagi: \"Siapakah aku?\", jariah tersebut menjawab: \"Engkau Rasulullah.\" Junjungan bersabda: \"Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman.\"
    Itulah matan hadits mengenai jariah tersebut, manakala di pinggir atau tepi halaman yang sama tercatat nota tepi seperti berikut:
    Perkataannya (yakni perkataan dalam matan hadits) – \"Dia (si jariah) berkata: \"Di langit,\" – yakni (sebagai membuktikan) bahawasanya dia bukan termasuk dalam golongan yang menuhankan selain Allah yang Maha Gagah yang kegagahan dan keperkasaanNya mengatasi segala hamba dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya. Dan dikatakan bahawasanya tafsir bagi firman Allah : \"Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu …\" (al-Mulk: 16 – Tafsir Pimpinan ar-Rahman), tafsir \"Dia yang di langit\" itu ialah Allah ta`ala dengan takwil kekuasaanNya (yakni ditafsirkan dengan takwil seperti dikatakan \"Allah yang (kekuasaanNya) di langit\" atau \"Allah yang (pusat kekuasaanNya atau pemerintahanNya) di langit\", bukan hanya ditafsirkan dengan semata-mata makna \"Allah yang di langit\")

    Sekarang, mari ikhwah lihat apa perkataan Imam an-Nawawi rhm. berhubung hadits ini. Komentar Imamuna an-Nawawi ini terdapat dalam syarahnya yang masyhur atas Shohih Muslim iaitu \"Shohih Muslim bi syarhi al-Imam an-Nawawi\", jilid 3, juzuk 5, halaman 24, di mana Imam an-Nawawi menyatakan, antara lain:-
    Sabda Junjungan Nabi s.a.w. (\"Di manakah Allah ?\" Jariah tersebut menjawab: \" Di langit.\" Junjungan s.a.w. bertanya lagi: \"Siapakah aku?\", jariah tersebut menjawab: \"Engkau rasulullah.\" Junjungan bersabda: \"Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman.\"). Hadits ini adalah daripada hadits-hadits sifat yang dalam memahaminya ada 2 mazhab (jalan atau cara) yang mana kedua-duanya telah dinyatakan terdahulu dalam kitab al-iman (yakni pada awal atau permulaan kitab).

    Jalan yang pertama ialah beriman dengannya (yakni dengan hadits tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan i\’tiqad bahawasanya Allah ta`ala itu tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk.

    Jalan yang kedua pula ialah mentakwilkan hadits tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hadits tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli tawhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (yakni menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersholat) menunjukkan bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada jihat (arah) kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang sholat. Atau si jariah tadi ialah seorang penyembah segala berhala yang menyembah berhala-berhala tersebut di hadapan mereka (yakni di sisi atau bersama mereka di bumi), maka tatkala dia menjawab: \"Di langit,\" diketahuilah bahawasanya dia seorang ahli tawhid dan bukannya seorang penyembah berhala (yakni jika jariah tersebut seorang penyembah berhala, nescaya dia tidak akan menjawab bahawa Allah Tuhannya di langit, tetapi dia akan menunjukkan berhala yang disembahnya yang berada bersamanya di bumi ini).

    Telah berkata al-Qaadhi \’Iyaadh: \"Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam sekaliannya (qaathibatan), ahli-ahli fiqh mereka, ahli-ahli hadits mereka, ahli-ahli kalam mereka, para pemuka dan pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: \"Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu,…..( al-Mulk: 16 – Tafsir Pimpinan ar-Rahman) dan ayat-ayat yang seumpamanya tidaklah diertikan atau dimaknakan secara zahir bahkan ditakwilkan di sisi mereka semua (yakni semua umat Islam, salaf dan khalaf semuanya mentakwilkan nash-nash ayat dan hadits tersebut, cuma kebanyakan ulama salaf mentakwilkannya secara ijmal sahaja dan mentafwidhkan makna hakikinya kepada Allah semata-mata, sekali-kali tidak mereka berpegang dengan makna zahir ayat dan hadits tersebut, bahkan mereka takwilkan maknanya dengan mengakui kelemahan fikiran mereka untuk memahami makna hakikinya lalu mereka mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya serta menyerahkan bulat-bulat makna dan pengertian ayat atau hadits tersebut kepada Allah s.w.t. sahaja, manakala kebanyakan ulama khalaf mentakwilkannya dengan tafshil).

    Diharap ikhwah yang budiman boleh memahami akan perkara ini dengan sebenar-benar faham. Jelas sudah mengikut Imam an-Nawawi yang menukilkan kalam Qadhi \’Iyaadh yang menyatakan bahawa dengan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat yang mutasyabbihat, maka ianya ditanggapi dengan 2 cara atau kaedah, iaitu ditakwilkan secara ijmal dengan mentanzihkan Allah daripada menyerupai makhlukNya yang baharu dan ditafwidhkan maknanya terus kepada Allah semata-mata, tanpa sebarang komentar. Ini yang diisyaratkan oleh Imam Ibnu Hajar al-\’Asqalaani yang menyebut dalam \"Fathul Bari\" bahawa Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shohih daripada Imam Ahmad bin Abi al-Hawaari bahawasanya Imam Sufyan bin \’Uyainah rhm berkata: \"Segala sifat yang difirmankan Allah bagi diriNya dalam al-Quran, maka tafsirannya ialah pembacaan ayat tersebut dan diam daripada membicarakannya.\" Hal ini jugalah dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam \"Fatawa Haditsiyyah\" yang menyatakan bahawa sesungguhnya khilaf ulama salaf dengan ulama khalaf hanyalah pada penggunaan takwil tafshil sahaja, di mana ulama salaf lebih mengutamakan takwil secara ijmal dan mendiamkan diri daripada berbicara lebih lanjut mengenainya kerana keelokan zaman mereka itu menyebabkan perbahasan panjang lebar mengenai hal ini tidak diperlukan. Tetapi para khalaf mengutamakan takwil secara tafshil kerana zaman mereka telah banyak manusia-manusia yang rosak, ahli-ahli bid`ah dan sebagainya.

    Untuk memperjelaskan lagi, yang dimaksudkan dengan takwil ijmal itu ialah lencongan makna kalimah dengan ringkas tanpa memberi erti alternatifnya. Contoh, kalimah al-yad yakni tangan, jika dikatakan \"Tangan Allah atas segala tangan mereka\", maka takwil ijmalnya ialah kalimah tangan di sini dilencongkan maknanya dari pengertian biasa sebagai satu anggota atau satu juzuk tubuh badan kepada makna selain pengertian biasa tersebut, iaitu ianya bukan membawa erti satu anggota atau satu juzuk daripada Dzat Allah yang Maha Mulia, tetapi ianya adalah satu sifat yang tidak kita ketahui akan hakikatnya dan Allah sahaja yang mengetahui hakikatnya. Maka tangan yang asal maknanya satu juzuk anggota dilencongkan maknanya kepada satu sifat yang lemah akal kita untuk memahami hakikatnya. Inilah takwil ijmal perlakuan kebanyakan salaf. Tidaklah mereka beri\’tiqad bahawa Allah itu bertangan dengan tangan yang layak bagi Dzatnya. Ini bukan i\’tiqad para salaf, tetapi i\’tiqad orang-orang yang mengaku salaf zaman ini. Bila salaf kata tangan Allah, ia merujuk kepada satu sifat dan bukan satu juzuk atau satu anggota daripada Dzat yang Maha Mulia, subhanAllah, Maha Suci Allah daripada berjuzuk-juzuk dan beranggota-anggota. Kaedah ini memang lebih selamat (aslam), kerana hanya Allah sahaja yang Maha Mengetahui, tetapi bagi kalangan awam yang hanya duduk mendengar – dengar sahaja mungkin dikhuathiri membawa fitnah kerana awam akan memahami kalimah tangan itu dengan makna lazim iaitu satu anggota, lalu beri\’tiqadlah si awam bahawa Allah juga beranggota kerana mempunyai tangan, cuma tanganNya tidaklah seperti tangan makhluk, iaitu tangan yang layak bagi DzatNya, subhanAllah, ini tidak lain melainkan i\’tiqad hasywiyah dan mujasimah yang mentasybih serta mentajsimkan Allah, subhanAllah. Oleh itu, apabila sampai zaman khalaf, di mana manusia-manusia terutama golongan awam sudah mengutamakan dunia daripada akhirat, di mana banyak juhala` berbanding \’ulama, maka para Khalaf yang merupakan pewaris para salaf mentakwilkan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabbihaat ini dengan takwil tafshil demi menutup jalan bagi awam untuk berfikir yang bukan-bukan terhadap Dzat Allah yang Maha Mulia. Maka ditakwilkan tangan itu kepada kekuasaan dan sebagainya, maka bila dikatakan \"Tangan Allah di atas segala tangan mereka\", ditakwilkanlah secara tafshil sebagai \"Tangan yakni kekuasaan Allah mengatasi segala kekuasaan mereka\". Maka terhindarlah orang awam daripada berfikir yang bukan-bukan, oleh itu dikatakan bahawa jalan khalaf ini lebih ahkam yakni lebih mantap kerana ianya memantap dan menetapkan pegangan awam serta mencegah mereka daripada mengkhayal-khayalkan sifat yang tidak layak bagi Allah, seperti menyerupai akan segala makhluk yang baharu.

    Harap segala ikhwan, baik lelaki maupun perempuan, khuntsa pun jika ada, faham betul-betul akan bahasan ini. Jika masih belum faham, maka diam itu keselamatan sebagaimana sabdaan Junjungan Nabi s.a.w. : man shomata najaa (yakni \"Sesiapa yang mendiamkan diri, selamat\"), dan duduklah tuan dan puan, sidi dan siti di hadapan para ulama tuan-tuan guru dengan mengaji menadah segala kitab peninggalan para ulama salaf dan khalaf. Sesungguhnya ilmu itu cahaya, bertambah ilmu nescaya bertambah cahaya, insya-Allah, tapi syaratnya hendaklah ilmu yang naafi` yang bermanfaat, bukan ilmu semata-mata ilmu untuk berjidal dan bermegah-megah.
    Berbalik kepada hadits jariah tadi, maka selain penjelasan di atas, ada lagi penjelasan dan keterangan lain daripada para ulama kita dari berbagai aspek bahasannya. Dari semua penjelasan tersebut, maka mereka menyimpulkan bahawa apa yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah menetapkan tempat bagi Allah. Oleh itu, sesiapa yang mengatakan bahawa Allah itu bertempat di sesuatu tempat seumpama langit, maka menyalahilah dia akan pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah, jadi janganlah dok perasan bahawa dirinya pembela Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Dan tidaklah tepat baginya untuk menjadikan hadits jariah ini sebagai hujjah untuk mensabitkan bahawa Allah bertempat di langit. Apatah lagi hadits ini walaupun shohih tidaklah mencapai darjat mutawatir. Maka apa caranya dia hendak menjadikan hadits ini sebagai hujjahnya untuk menyesatkan orang yang tidak sependapat dengan i\’tiqad hasywiyahnya itu. Perkara ini adalah antara kesimpulan yang telah ditekan dan diperjelaskan oleh mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar as-Salaami (hafizahUllah).

    Bahkan, jika dilihat \"Shohih Muslim\", kita dapati bahawa Imam Muslim rhm sendiri tidak meletakkan hadits ini dalam kitab al-iman atau bab-bab yang berhubung dengan keimanan dan pegangan aqidah tetapi beliau meletakkannya dalam bab fiqh berhubung hukum hakam sembahyang iaitu kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih (kitab mengenai masjid-masjid dan tempat-tempat sembahyang, bab haram berkata-kata dalam sembahyang serta menasakhkan riwayat yang mengharuskan berkata-kata dalamnya). Maka isyaratnya ialah hadits ini hanyalah untuk dijadikan hujjah dalam bab-bab fiqh semata-mata. Menjadikannya sebagai hujjah dalam mensabitkan secara qathi`e akan usul aqidah menunjukkan lemahnya si penghujjah itu daripada memahami uslub dan kaedah dalam menetapkan \’aqidah pegangan umat ini. Oleh itu, jika datang kepada ikhwah akan orang yang hendak berhujjah untuk menetapkan Allah bertempat di langit dengan hadits ini, maka katakanlah kepadanya dengan lemah-lembut dan elok perkataan \"keribang rebus, pegi belajar lagik…..\" dengan nada yang lemah lembut….hehehe….jangan marah noooo…. melawak jee.

    Allahu a\’lam

    #83031201
    Munzir Almusawa
    Participant

    terimakasih atas artikelnya, dan penjelasan saya diatas telah jelas dan tidak jauh berbeda.

    Alhamdulillah.

    #83031249
    AZIS NURYADIN
    Participant

    Oke, intinya ketika orang2 Salafi dan Wahhabi menafsirkan hadits itu demikian, maka sebagai konsekwensinya, mereka juga harus menafsirkan bahwa Allah itu ada di Ka\’bah, atau Allah itu ada di Masjid. Ingatlah bahwa Masjid itu adalah Baitullah (Rumah Allah). Jadi mereka harus tafsirkan juga bahwa Allah itu tinggalnya di Masjid sebagaimana kita tinggal di rumah kita. Jika demikian tafsiran mereka, maka jelaslah kerusakan aqidah mereka.

    #83031385
    Munzir Almusawa
    Participant

    saya senang dengan ucapan Imam Malik yg saya nukil diatas :
    Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : [b]”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”,[/b] demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini (wahabi).

    wallahu a\’lam

Viewing 6 posts - 1 through 6 (of 6 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Tauhid’ is closed to new topics and replies.