Home Forums Forum Masalah Fiqih MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN

Viewing 6 posts - 1 through 6 (of 6 total)
  • Author
    Posts
  • #75381509
    AbuNajiyah
    Participant

    Assalammu\’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

    [b]Apakah sudah benar apa yang di paparkan di bawah ini, mohon masukannya atau koreksinya buat menambah khazanah Ilmu ?[/b]

    MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN

    Tanya : Di daerah saya – sudah menjadi tradisi – jika ada seseorang yang meninggal dunia, maka keluarga jenazah “diharuskan” membuat/menyajikan makanan bagi orang-orang yang ta’ziyah. Kadang-kadang hal ini memberatkan bagi keluarga jenazah karena kondisi keuangan yang tidak memadai. Menurut Anda, bagaimana syari’at Islam memandang tradisi/kebiasaan ini ?

    Jawab : Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (As-Sunnah Ash-Shahiihah), dan sebaik-baik pemahaman atas dua hal tersebut adalah pemahaman para shahabat Rasulullah radliyallaahu ‘anhum ajm’ain (atsar as-salafush-shalih). Dan untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan mengembalikannya kepada 3 (tiga) hal tersebut.

    Allah ta’ala telah berfirman :

    يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

    “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua…..” (QS. Al-Baqarah : 185).

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

    إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا……..

    “Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang bersikap berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan kalah. Beramallah yang benar ! Beramallah yang paling dekat dengan pengamalan syari’at…” (HR. Bukhari nomor 39 – penomoran dari maktabah sahab : 39 dan 6098; dan Muslim nomor 2816).

    Ayat dan hadits di atas memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa agama Islam ini adalah agama yang mudah. Mudah untuk dipahami dan mudah untuk diamalkan. Seorang muslim hanya dibebani untuk mengerjakan apa-apa yang dicontohkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang atau tidak ada contohnya (dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Itulah salah satu sisi kemudahan yang sangat besar bagi umat Islam. Mereka sekali-kali tidak dibebani untuk membuat-buat syari’at yang akhirnya justru memberatkan mereka.

    Mengkerucut kepada inti pertanyaan saudara, maka ada beberapa riwayat shahih mengenai hal ini.

    Dari Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

    “Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).

    Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.

    Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

    Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم

    “Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.

    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت

    “Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)

    Para ulama mu’tabar telah sepakat membenci perbuatan ini (yaitu berkumpul-kumpul di tempat mayit dan makan makanan di dalamnya). Kami akan menyebutkan beberapa di antara banyak perkataan ulama mengenai hal ini.

    1. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata :

    وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.

    “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

    2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :

    وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله

    “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi dibenci, berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577, Daarul-Fikr, tanpa tahun).

    3. Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy berkata :

    ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.

    “Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240, Daarul-Fikr, 1386).

    4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :

    وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة

    “Adapun berkumpul di dalam keluarga mayit yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah makruhah (dibenci)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419, Darul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).

    5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani (tokoh Indonesia yang hidup dan meninggal di Makkah dimana kitab-kitabnya banyak ditelaah di banyak ponpes NU di Indonesia) berkata :

    أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت – المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.

    “Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci, bahkan diharamkan (dengan sangat) apabila biayanya diambil dari harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman 281, Daarul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).

    6. Dan lain-lain.

    Bahkan para ulama NU Tasikmalaya pernah mengeluarkan pernyataan serupa pada Majalah Al-Mawaa’idz edisi bahasa Sunda :

    “Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
    1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta teu mah, orokaja da ari geus djadi adap mah sok era oepama heunteu teh. Geura oepama heunteu sarerea mah ?
    2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajah ditambahan.
    3. Njoelajaan hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe dibere joe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit”. [Al-Mawa’idz – majalah yang dikelola organisasi NU Tasikmalaya – Pangrodjong Nahdlatoel-Oelama Tasikmalaja, 1933 nomor 13 halaman 200].

    Dari hadits, atsar, dan penjelasan ulama di atas telah jelas bagi kita bahwa berkumpul dan makan makanan di tempat ahli mayit bukanlah perkara yang disunnah. Bahkan itu bid’ah yang sangat dibenci. Semua ulama mu’tabar yang dalam keilmuannya telah menyapakati hal ini, kecuali sedikit di antara orang-orang awam yang pendapat mereka diabaikan. Bahkan yang menjadi sunnah (sebagaimana yang dijelaskan oleh ikatan ulama NU Tasikmalaya di atas) adalah kita – para tetangga ahli mayit – yang membuatkan makanan serta mengirimkannya kepada hli mayit yang sedang ditimpa kesusahan. Dasarnya adalah perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya ketika Ja’far bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu gugur di medan jihad :

    اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم

    “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far. Sesungguhnya mereka tengah ditimpa musibah yang merepotkan mereka” (HR. Abu Dawud nomor 3132, At-Tirmidzi nomor 998, Ibnu Majah nomor 1610, dan lain-lain; shahih lighairihi).

    Inilah yang diamalkan oleh orang-orang shalih dari kaum salaf sebagaimana yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/278) : “Tetangga mayit atau kaum kerabatnya wajib membuatkan makanan yang mengeyangkan untuk keluarga mayit pada hari si mayit wafat dan pada malamnya. Hal itu merupakan sunnah dan perbuatan yang mulia. Dan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang shalih sebelum dan sesudah kami”. [selesai]

    Kesimpulan : Berkumpul dan makan makanan di keluarga mayit adalah perbuatan yang tidak disyari’atkan. Dan bagi keluarga mayit, maka ia tidak perlu menyediakan makanan atau minuman yang sengaja diperuntukkan kepada para tamu yang sedang ta’ziyah atau membantu pengurusan jenazah. Jika ia melakukannya, maka ia sama saja mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Allah ta’ala berfirman :

    وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرّ وَالتّقْوَىَ وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

    “Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan maksiat” (QS. Al-Maidah : 2). Allaahu a’lam.

    #75381539
    Aditya Hartono
    Participant

    Assalaamu\’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh

    Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang mati, itu diperbolehkan. Banyak dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa semacam itu termasuk ibadah yang terpuji dan , memang, dianjurkan dengan berbagai alasan. Karena hal itu, kalau ditilik dari segi jamuannya adalah termasuk sadaqah yang memang, dianjurkan oleh agama menurut kesepakatan ulama\’. — yang pahalanya dihadiyahkan pada orang telah mati. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu
    (1) ikramud dlaif (memulyakan tamu)
    (2) bersabar menghadapi musibah.
    (3) tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Ketiga masalah tersebut, semuanya, termasuk ibadah dan perbuatan taat yang diridlai oleh Allah Subhanahu Wata\’ala serta pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar.

    Dengan catatan biaya jamuan tersebut tidak diambilkan dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih. Apabila biaya jamuan tersebut diambil dari harta ahli waris yang berstatus mahjuralaih.(seperti anak yatim), maka hukumnya tidak bolehkan.

    Namun demikian shadakah itu sama sekali tidak mengurangi nilai pahala sedekah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit seperti penjelasan diatas. ada beberapa ulama seperti Syaikh nawawi,syaikh ismail dan lain lain menyatakan, bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sunnah(matlub) Cuma hal itu tidak boleh disengaja dikaitkan dengan hari hari yang telah mentradisi di suatu komunitas masyarakat. Malah jika acara tersebut dimaksudkan untuk meratapi mayit, maka haram.

    Dan dalam qoidah Ushul fiqh
    \"al adatu muhakkamatun\" artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum.Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syari\’at tetapi Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.

    Wa\’llohu a\’lam

    Wassalam
    Hartono – Mangga Besar XIII

    #75381545
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,

    عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

    Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

    وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء

    Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)

    Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.

    Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

    حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

    “riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
    (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

    Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?

    Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
    1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.

    2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

    من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
    “mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
    semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

    Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.

    3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.

    4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.

    5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).

    dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

    Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.

    Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,

    lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
    kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.

    Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

    Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka itulah yg makruh,

    dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.

    Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu haram.

    Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit.

    Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu menyakiti hati orang yg ditimpa duka.

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka, dan mohon maaf saya menjawab pertanyaan anda dari Manokwari Irian jaya, mohon doa.

    Wassalam.

    #75381612

    semoga habib selalu diberikan keluasan ilmu oleh Allah SWT..Amiinnn….

    #75381614
    MuhammadSulton
    Participant

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

    Pa kabar Bib ? semoga antum sekeluarga dan kru MR selalu dalam curahan dan lindungan kasih sayang Allah SWT dan di beri kesehetan tuk terus berdakwah di jalan Allah SWT.

    Trima kasih atas pencerahan tuk perihal di atas yg sangat bermanfaat dan memberikan \"garis\" keterangan yg sangat jelas dalam bersedaqoh bagi sang mayit.

    Saya pernah pula membaca riwayat di bawah ini, namun harap pula pendapat habib akan riwayat berikut;

    Hadis Thawus
    Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari kalangan ahli Yaman. Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70 orang sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Thawus menyatakan bahawa orang-orang mati difitnah atau diuji atau disoal dalam kubur-kubur mereka selama 7 hari, maka adalah mereka menyukai untuk diberikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mati sepanjang tempoh tersebut.

    Hadis Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu\’ yang sahih. Ianya mursal marfu\’ kerana hanya terhenti kepada Thawus tanpa diberitahu siapa rawinya daripada kalangan sahabi dan seterusnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Tetapi oleh kerana ianya melibatkan perkara barzakhiyyah yang tidak diketahui selain melalui wahyu maka dirafa\’kanlah sanadnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Para ulama menyatakan bahawa hadis mursal marfu\’ ini boleh dijadikan hujjah secara mutlak dalam 3 mazhab sunni (Hanafi, Maliki dan Hanbali, manakala dalam mazhab kita asy-Syafi`i ianya dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain daripada mursal Ibnu Mutsayyib). Dalam konteks hadis Thawus ini, ia mempunyai sekurang-kurangnya 2 penyokong, iaitu hadis \’Ubaid dan hadis Mujahid. Oleh itu, para ulama kita menjadikannya hujjah untuk amalan yang biasa diamalkan oleh orang kita di rantau sini, iaitu apabila ada kematian maka dibuatlah kenduri selama 7 hari di mana makanan dihidangkan dengan tujuan bersedekah bagi pihak si mati.

    Hadis Thawus ini dibahas oleh Imam Ibnu Hajar dalam \"al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah\" jilid 2 mukasurat 30. Imam besar kita ini, Syaikh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami as-Sa\’di al-Anshari ditanya dengan satu pertanyaan berhubung sama ada pendapat ulama yang mengatakan bahawa orang mati itu difitnah/diuji atau disoal 7 hari dalam kubur mereka mempunyai asal pada syarak.

    Imam Ibnu Hajar menjawab bahawa pendapat tersebut mempunyai asal yang kukuh (ashlun ashilun) dalam syarak di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan (1) daripada Thawus dengan sanad yang shahih dan (2) daripada \’Ubaid bin \’Umair, dengan sanad yang berhujjah dengannya Ibnu \’Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih besar daripada Thawus maqamnya dari kalangan tabi`in, bahkan ada qil yang menyatakan bahawa \’Ubaid bin \’Umair ini adalah seorang sahabat kerana beliau dilahirkan dalam zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebahagian zaman Sayyidina \’Umar di Makkah; dan (3) daripada Mujahid.

    Dan hukum 3 riwayat ini adalah hukum hadis mursal marfu\’ kerana persoalan yang diperkatakan itu (yakni berhubung orang mati difitnah 7 hari) adalah perkara ghaib yang tiada boleh diketahui melalui pendapat akal. Apabila perkara sebegini datangnya daripada tabi`i ianya dihukumkan mursal marfu\’ kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para imam hadits. Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah di sisi imam yang tiga (yakni Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ianya disokong oleh riwayat lain. Dan telah disokong Mursal Thawus dengan 2 lagi mursal yang lain (iaitu Mursal \’Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahawa sabit \’Ubaid itu seorang sahabat nescaya bersambunglah riwayatnya dengan Junjungan Nabi s.a.w.

    Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa telah sah riwayat daripada Thawus bahawasanya \"mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama tempoh 7 hari tersebut.\" Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa \"mereka\" di sini mempunyai 2 pengertian di sisi ahli hadis dan usul. Pengertian pertama ialah \"mereka\" adalah \"umat pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. di mana mereka melakukannya dengan diketahui dan dipersetujui oleh Junjungan Nabi s.a.w.\"; manakala pengertian kedua pula ialah \"mereka\" bermaksud \"para sahabat sahaja tanpa dilanjutkan kepada Junjungan Nabi s.a.w.\" (yakni hanya dilakukan oleh para sahabat sahaja).

    Ikhwah jadi kita dimaklumkan bahawa setidak-tidaknya amalan \"ith\’aam\" ini dilakukan oleh para sahabat, jika tidak semuanya maka sebahagian daripada mereka. Bahkan Imam ar-Rafi`i menyatakan bahawa amalan ini masyhur di kalangan para sahabat tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama 7 hari mempunyai nas yang kukuh dan merupakan amalan yang dianjurkan oleh generasi awal Islam lagi, jika tidak semua sekurang-kurangnya sebahagian generasi awal daripada kalangan sahabi dan tabi`in. Oleh itu, bagaimana dikatakan ianya tidak mempunyai sandaran.

    Imam as-Sayuthi juga telah membahaskan perkara ini dengan lebih panjang lebar lagi dalam kitabnya \"al-Hawi lil Fatawi\" juzuk 2 di bawah bab yang dinamakannya \"Thulu\’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa\" di mana antara kesimpulan yang dirumusnya pada mukasurat 194:-

    · Sesungguhnya sunnat memberi makan 7 hari. Telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahawasanya amalan ini berkekalan diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. Maka zahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya daripada generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi para imam banyak menyebut: \" dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya selama 7 hari di mana mereka membacakan al-Quran\".

    · Dan telah dikeluarkan oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu \’Asaakir dalam kitabnya yang berjodol \"Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-\’Asy\’ariy\" bahawa dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin \’Abdul Qawi al-Mashishi berkata: \"Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram 490H di Damsyik. Kami telah berdiri/berhenti/berada di kuburnya selama 7 malam, membaca kami al-Quran pada setiap malam 20 kali khatam.\"

    Ikhwah, \"ith`aam\" ini boleh mengambil apa jua bentuk. Tidak semestinya dengan berkenduri seperti yang lazim diamalkan orang kita. Jika dibuat kenduri seperti itu, tidaklah menjadi kesalahan atau bid`ah, asalkan pekerjaannya betul dengan kehendak syarak.

    tuk selengkap nya bisa di liat di http://www.geocities.com/pondok_tampin/permasalahan/hadis_thawus_dan_kenduri.html

    Atas perhatian dan pendapat habib saya ucapkan trima kasih.

    Wassalam
    Muhammad Sulton

    #75381623
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Limpahan kebahagiaan semoga selalu tercurah pada hari hari anda,

    saudaraku yg kumuliakan,
    ringkasnya bahwa :
    1. Tak ada larangan sedekah atas nama mayyit atau atas nama keluarga duka, 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 1000 hari atau setiap hari, sadakah boleh boleh saja tanpa ada nash yg melarangnya.

    mengenai kenapa ada batasan 40 hari?, 3 hari?, 1000 hari? ini mengikuti adat orang hindu!,
    ucapan ini hanya dari mereka yg dangkal pemahaman syariahnya, lalu kenapa kita mengikuti adat orang kafir dengan memakai komputer, podium mimbar di masjid, karpet di masjid, madrasah yg dipakai Bangku dan kursi, yg itu semua adalah adat orang kafir?,

    boleh boleh saja ikut adat orang kafir kalau itu membawa manfaat dan kebaikan sebagaimana Rasul saw yg mengikuti adat orang kafir yahudi dalam puasa di hari 10 muharram, yg mana orang yahudi berpuasa dihari itu karena hari 10 muharram adalah hari selamatnya musa as dari kejarasn fir;aun, dan Rasul saw malah berkata : Kami lebih berhak atas musa dari kalian, lalu seraya memerintahkan sahabat berpuasa .

    juga dalam Bab Jinayat bahwa nyawa dihargai 100 ekor onta hamil, ini Qiyas dari zaman jahiliyah ketika Abdulmuttalib bersedekah untuk putranya Abdullah ketika dimasa itu ia nadzar bila lahir anak lelaki lagi maka ia akan membunuhnya sebagai tumbal, namun ketika lahir lelaki (abdullah) maka ia sayang tuk membunuhnya, maka diadakanlah undian dadu, satu kearah abdullah, satu kearah 10 ekor onta, maka saat diundi tetap jatuh pada Abdullah, maka Abdulmuttalib menambah lagi 10 ekor onta, dan tetap undian jatuh pada Abdullah hingga 100 ekor onta, barulah undian jatuh pada Onta.

    maka Abdulmuttalib menyembelih 100 ekor unta demi nyawa Abdullah, maka kejadian ini dijadikan Qiyas pada pembunuhan dalam hukum Syariah Islam, mereka yg membunuh maka harus dibunuh atau membayar 100 ekor onta hamil bila membunuh dengan sengaja.

    hukum ini diambil dari adat jahiliyah, dan banyak lagi.

    2. yg dilarang adalah mengadakan pesta jamuan makanan untuk maksud mengumpulkan orang banyak disaat ada kematian, hal ini makruh, sebaiknya kita membantunya, bukan memberatkan / berduyun duyun numpang makan dirumah duka. namun tak ada larangan makan di rumah duka bila disuguhi karena Rasul saw melakukannya.

    3. mengingkari hal hal furu\’iyah semacam ini menunjukkan buruknya i\’tikad yg menyebabkan perpecahan dan permusuhan pada muslimin.

    wallahu a\’lam

Viewing 6 posts - 1 through 6 (of 6 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Fiqih’ is closed to new topics and replies.