Home › Forums › Forum Masalah Fiqih › mohon izin mengutip pendapat
- This topic has 0 replies, 1 voice, and was last updated 17 years ago by abu naqi usamah.
-
AuthorPosts
-
February 8, 2008 at 7:02 pm #92071715abu naqi usamahParticipant
al habib sebagaimana permohonan izin saya dahulu untuk mengutip pendapat habib, berikut makalah yang kemudian saya muat di web pesantren kami ppssnh.tripod.com. terima kasih
JAMAAH TABLIGH
Nama Jama’ah Tabligh telah menggema ke mana-mana. Mereka telah dikenal oleh mayoritas kaum muslimin terutama mereka yang bergelut dalam bidang dakwah. Mereka memiliki karakteristik dakwah yang khas, yaitu dengan mempromosikan fadloil-fadloil (keutamaan ibadah), menghindari diskusi fiqih dan akidah yang menurut mereka sebagai momok; biang pemecah umat, serta memiliki penampilan yang kontroversial.
Walau bagaimana pun popularitas golongan ini melejit dengan sangat pesat. Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan mereka, biasanya akan ditanya; \"Mas! Jama\’ah Tabligh ya?\". Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski bukan dari kalangan Jama\’ah Tabligh, image kita langsung menudingnya sebagai Jama\’ah Tabligh. Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu bagaimanakah hakikat jama\’ah yang berkiblat ke India ini? Semoga kajian di bawah ini mampu menjawab kemasgulan kita bersama.
Jama\’ah Tabligh merupakan nama yang lebih populer di Malaysia. Sedangkan di Pakistan mereka terkenal dengan sebutan al-Jama\’ah at-¬Tablighiyah atau al-Jama\’ah al-Ilyasiyyah. Sementara di Indonesia mereka lebih terkenal dengan Jaulah. Karena mereka mempunyai lebih dari satu nama, sebagian pihak menuduh mereka sebagai bunglon, sering berganti-ganti atribut namun pelaku di dalamnya tetaplah sama. Namun menurut anggota Jama\’ah Tabligh nama tersebut tidak berasal dari mereka, tetapi orang lainlah yang menyebut mereka demikian. Karena memproklamirkan sebuah nama sama artinya dengan memunculkan potensi perpecahan.
Da1am sebuah interview, salah seorang anggota jama\’ah Tabligh ditanya, \"Kenapa disebut Jama\’ah Tabligh?\", orang tersebut menjawab, \"Nama JT (Jama\’ah Tabligh) itu nggak ada, orang lain yang menamakan. Dari asal muasalnya pun tidak ada. Jaman Nabi pun kan tidak ada namanya, kita ingin seperti itu, sebab kalau kita kasih nama dan bendera, orang lain punya bendera, wah itu bukan bendera saya. Tapi kalau bilang kami ini Muslim, pasti semua saudara kita. Kita tidak merasa ini suatu kelompok atau golongan. Kita bekerja, dalam hal ini hanya mengendalikan tertib-tertib dakwahnya\".
A. PROFIL PENDIRI JAMA’AH TABLIGH
Pendiri jama\’ah ini adalah Muhammad Ilyas al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya Syeikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut madzhab Hanafi dan teman dari seorang ulama, sekaligus penulis Islam terkenal, Syeikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang menjabat sebagai seorang direktur pada lembaga Dar AI-`Ulum di Lucknow, India. Sedangkan ayahnya, yaitu Syaikh Muhammad Ismail ada1ah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzlah, berkhalwat dan beribadah, membaca al-Quran dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan a1-Quran dan ilmu-ilmu agama.
Syaikh Muhammad Ismail selalu mengamalkan doa ma\’tsur dari Hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorang pun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum Muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka.
Adapun ibunda Muhammad Ilyas, yaitu Shafiyah al-Hafidzah adalah seoarang hafidzah a1-Quran. Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu mengkhatamkan al-Quran, bahkan sambil bekerja pun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayar-ayat al-Quran yang sedang ia hafal.
Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah ia mulai menghafal al-Quran, hal ini disebabkan pula oleh tradisi yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama\’ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, dia memiliki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga \’Allamah asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu Hadits pada madrasah Darul Ulum (Deoband) mengatakan, “Sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”.
Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakaknya.
Akhirnya Maulana I1yas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana, Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan kepadanya.
Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnya menurun, akan tetapi dia tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar ia berhenti belajar untuk sementara waktu, ia menjawab, “Apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”. Dengan ijin Allah swt., Maulana pun menyelesaikan pelajaran Hadits Syarif, Jami\’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari. Kemudian dalam tempo waktu empat bulan dia sudah menyelesaikan Kutubus Sittah. Tubuhnya yang kurus dan sering terjangkit penyakit semakin membuatnya bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari syariat Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, Muhammad Ilyas baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Dia menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi.
Maulana Muhammad Zakaria menuliskan:
\"Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada Muhammad Ilyas, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka dia akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal ini ia maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya\".
Maulana Muhammad Ilyas akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad ash-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya Muhammad Ilyas berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki, membuat Muhammad Ilyas semakin tawadlu\’. Ketawadlu\’annya pada usia muda menyebabkan Muhammad Ilyas dihormati di kalangan para ulama dan masyaikh. Syaikh Yahya, kakak kandung Muhammad Ilyas sendiri tidak pernah mernperlakukannya sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menaruh hormat kepadanya.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman ar-¬Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad ash-Sharanpuri dan Syaikh Asyraf Ali at-Tanwi. Waktu itu tiba wakru shalat Ashar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami shalat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “Alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang di antara hadirin menjawab, “tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena ringannya”.
Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, Muhammad Ilyas mengalami goncangan batin yang cukup besar. Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Maulana Muhammad meninggal di Masjid Nawab Wa1i, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekirarnya. Seribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah itu, masyarakat meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu dia sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhohirul \’Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya.
Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Dia pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madrasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi dia pun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.
Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, Maulana Ilyas kemudian mendirikan maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah dari pada ke madrasah atau maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka lebih senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun.
Maulana melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Namun tetap saja masyarakat masih belum memiliki spirit keagamaan. Interest mereka tidak terlalu besar untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di madrasah. Faktor utama dari semua ini adalah ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya ilmu agama, mereka pun kurang menghargai para alumnus madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat tidak bersedia mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat.
Kondisi Mewat yang sangat miskin pengetahuan itu semakin menambah kerisauan Maulana Ilyas akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah¬madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi problem yang dihadapi masyarakat Mewat. Kondisi buruk yang terus berlarut ini akhirnya menjadi inspirasi bagi Muhammad Ilyas untuk mengirimkan delegasi Jama\’ah Dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H /1931 M, Maulana menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut ia pergunakan untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mempromosikan usaha dakwah, dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab.
Keinginannya yang besar menyebabkan ia berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa\’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mempromosikan usaha dakwah yang dibawanya. Selama berada di Makkah, Jama\’ah ini melakukan banyak aktifitas pergerakan secara intensif, setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak masyarakat mentaati perintah Allah dan menegakkan dakwah.
Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai jama\’ah dengan jumlah yang cukup besar, minimal berjumlah seratus orang. Bahkan di beberapa tempat, jumlah itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan kedua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut dia selalu membentuk jama\’ah-jama\’ah yang dikirim ke kampung-¬kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama.
Dalam hati Muhammad memiliki konfidensi penuh bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa ke-Islaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan untuk memberantas virus tersebut adalah dengan membujuk masyarakat Mewat agar keluar dari kampung halamannya guna memperbaiki diri dan memperdalam agama, serta melatih disiplin dalam hal positif sehingga tumbuh kesadaran untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).
Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah Iainnya. Begitu juga di bandar¬bandar pelabuhan banyak jama\’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan seperti halnya daerah Asia Barat. Setelah jama\’ah ini terbentuk, mereka tak lelah memperluas sayap dakwah dengan membentuk beberapa jaringan di sejumlah negara. Jama\’ah ini memiliki misi ganda yaittl ishlah diri (peningkatan kualitas individu) dan mendakwahkan kebesaran Allah swt. kepada seluruh umat manusia.
Perkembangan Jama\’ah cukup fantastis. Setiap hari banyak jama\’ah yang dikirim ke daerah-daerah yang menjadi target operasi dakwah. Selain itu, masing-masing anggota jama\’ah ada yang kemudian membentuk rombongan baru. Dengan usaha tersebut, Jama\’ah Tabligh ingin mempererat tali silaturrahim antara kaum Muslimin dengan Muslim yang lain. Gerakan Jama\’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke berhagai negara.
Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi motivasi dan arahan untuk menggerakkan mesin dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Ketika usianya sudah menjelang senja, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika ia menderita sakit.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya, Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa ia akan mengamanahkan kepercayaan sebagai Amir Jama\’ah kepada sahahat-sahabatnya seperri Hafidz Maqhul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi In\’amul Hasan dan Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh.
Pada sekitar bulan Ju1i 1944 Maulana menderita penyakit yang cukup akut. Dia hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Akhirnya, pada tanggal 13 Ju1i 1944, Maulana telah siap nntuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Ia bertanya kepada salah seorang yang hadir, \"Apakah besok hari Kamis?\", yang di sekelilingnya menjawab, \"Benar!\". Kemudian ia berkata 1agi, \"Periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak!\". Orang-orang yang berada di sekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Lantas Muhammad Ilyas turun dari dipan untuk berwudlu dan mengerjakan shalat Isya\’ dengan berjama\’ah. Maulana berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir dan doa pada malam itu. Dia berkata, \"Yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah\".
Pada pukul 24.00 Maulana pingsan dan sangat gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus terdengar dari mulutnya. Ketika malam telah menjelang pagi, dia mencari putranya yang bernama Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan. Ketika dipertemukan dia berkata, \"Kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi\". Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, dia pulang ke rahmatullah sebelum adzan Subuh.
Dia tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikirannya dituangkan dalam lembar¬lembar kertas surat yang dihimpun oleh Maulana Manzoor Nu\’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah dalam Jama\’ah Tabligh. Karyanya yang paling nyata adalah bahwa dia telah meninggalkan kerisauan dan ide-ide bagi umat Islam hari ini serta metode kerja dakwah yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.B. MOTIF BERDIRINYA JAMAAH TABLIGH
Kisah di atas, merupakan sebuah aksioma bahwa motif berdirinya Jama\’ah Tabligh adalah sebuah keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi umat, terutama Mewat yang hidup jauh dari ilmu dan lekat dengan kebodohan serta keterbelakangan.
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan, “Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Mewat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Is1am, berbaur dengan kaum Zoroaster dan paganis Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi ke-lslaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, diperparah dengan kebodohan yang kian merata, maka tergeraklah hati Muhammad Ilyas untuk memerangi semua itu. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad al-Kanhuhi dan Asyraf Ali at-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut”.
Sedangkan menurut Jamal Muhammad, berdirinya Jama\’ah Tabligh berawal dari ketidakpuasan Muhammad Ilyas terhadap teori pendidikan dengan metodologi kaum sufi yang sebelumnya ia geluti. Kekecewaan ini pernah disampaikan oleh Muhammad Ilyas, \"Metodologi dakwah seperti ini terlalu melelahkan dan tidak menampakkan manfaat apa pun dan bisa menjerumuskan orang-orang awam untuk hanya tertarik pada kegiatan berdoa, azimat-azimat kesaktian dan haekal-haekal yang digunakan untuk memenuhi kepentingan duniawi belaka”.
Menurut informasi yang telah populer, tugas mendirikan Jama\’ah Tabligh ini langsung diterima oleh Muhammad Ilyas dalam sebuah mimpi sebagai kabar gembira. Abul Hasan Ali an-Nadawi pernah mengutip perkataan pendiri Jama\’ah Tabligh ini sebagai berikut, “Ketika aku bermukim di Madinah pada Tahun 1345 H, Allah mengabulkan maksudku dan memberikan kabar gembira (melalui mimpi) bahwa aku akan membentuk gerakan ini bersama kalian”.
Mimpi menurut pendiri Jama\’ah Tabligh mempunyai arti yang sangat urgen. Banyak tingkat keruhanian yang hanya bisa diperoleh melalui mimpi dan tidak bisa diperoleh melalui cara lain, dan ilmu yang diperoleh melalui mimpi merupakan bagian dari kenabian. Salah satu hasil yang diperoleh Muhammad Ilyas dalam mimpinya ialah metode dakwah sekaligus justifikasi pergerakannya.
Dalam sebuah tulisan Muhammad Mandzur Nu\’mani, salah seorang karib Muhammad Ilyas disebutkan, \"Metode dakwah Jama\’ah Tablighiyah ini pun aku dapatkan lewat mimpi, begitu juga mengenai penafsiran ayat \"kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi ta\’muruna bil ma\’ruufi wa tanhauna \’anil munkar wa tu\’minuna billah\" juga ku dapatkan melalui mimpi. Setelah itu aku menampakkan diri untuk dakwah kepada masyarakat luas seperti halnya pada Nabi. Sedangkan pada firman Allah \"ukhrijat\" memberikan isyarat bahwa dakwah ini tidak akan sempurna apabila dilakukan dengan cara menetap atau bermukim saja di suatu tempat atau daerah, akan tetapi seorang mubaligh harus keluar masuk dari daerah satu ke daerah lainnya, atau bahkan dari pintu ¬ke pintu”.
Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan kembali dalam permasalahan ini, yaitu tentang mimpi yang mengilhami pembentukan Jama\’ah Tabligh, dan mimpi yang dijadikan fundamen penafsiran ayat sebagai justifikasi gerakan mereka.
Mungkin masih bisa dimaklumi jika mimpi yang dialami oleh Mahammad Ilyas hanya ia jadikan inspirator untuk membentuk Jama\’ah Tabligh, sebab pembentukan sebuah jama\’ah tidak berhubungan langsung dengan hukum syariat. Dia menyebut mimpi tersebut dengan mubassyirot (kabar gembira) dari Allah. Seandainya pengakuan ini benar, maka Muhammad Ilyas tidak holeh disalahkan sebab banyak Hadits yang membenarkan mimpi-mimpi yang dialami oleh seorang Muslim, salah satunya ialah Hadits:
أن أبا هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لم يبق من النبوة إلا المبشرات. قيل : وما المبشرات قال : الرؤيا الصالحة
\"Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada yang tersisa dari sifat kenabian (setelah wafat Nabi) kecuali al-mubsyirot. Para sahabat bertanya, \"apakah al-mubsyirot itu wahai Nabi?\" Nabi menjawab, \"al-mubsyirot adalah mimpi baik\".
Bahkan sebelum Nabi hijrah, beliau mendapatkan kabar baik dari Allah. Dalam mimpi beliau melihat bahwa tempat hijrah beliau adalah sebuah daerah yang kaya dengan buah kurma. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Musa diceritakan:
رأيت في المنام أني أهاجر من مكة إلى أرض بها نخل فذهب وهلى إلى أنها اليمامة أو هجر فإذا هي المدينة يثرب
\"Dalam mimpi aku melihat bahma aku sedang melakukan hijrah dari Makkah menuju sebuah daerah yang banyak ditumbuhi buah korma. Aku menyangka daerah tersebut ialah Yamamah atau Hajar, ternyata daerah itu adalah kota Yatsrib\".
Namun sayang, Muhammad Ilyas telah berani menggunakan mimpi sebagai landasan dalam menafsiri sebuah ayat. Hal inilah yang tidak boleh ditolerir. Belum pernah ada seorang ulama pun yang melakukan penafsiran ayat dengan metodologi mimpi. Jika Muhammad Ilyas sebagai mufassir sejati tentu metode yang akan ia gunakan ialah metode yang telah disebutkan oleh para ulama, bukan menggunakan metode semau gue. Teori tafsir ini telah disampaikan oleh imam as-Suyuthi sebagai berikut, \"Para ulama telah mengatakan: Siapa pun yang ingin menafsiri al-Quran hendaknya yang pertama kali dilakukan ialah mencari tafsir tersebut di dalam a1-Quran. Dalam sebuah tempat, terkadang ayat al-Qur’an diterangkan secara general, namun di tempat lain dijelaskan dengan cukup detail. Apabila tidak ditemukan maka beralih pada Hadits, sebab salah satu fungsi dari Hadits ialah sebagai penjelas al-Quran. Imam Syafi\’i telah menjelaskan : Seluruh hukum yang disampaikan oleh Nabi berasal dari pemahaman al-Quran, sebab Allah telah berfirman, “Inna anzalna ilaikal kitaba bil haqqi litahkuma bainannasi bima arokalloh” (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu). (QS. an-Nisa : 105).
Selanjutnya para ulama mengatakan : Jika maksud sebuah ayat tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadits, hendaknya kita merujuk kepada tafsir yang disampaikan oleh para sahabat. Mereka adalah orang yang paling tahu mengenai penjelasan sebuah ayat, sebab mereka adalah saksi asbabun nuzul, sekaligus orang-orang yang memiliki pemahaman akurat dan didukung dengan kesalehan (devosional) amal mereka. Sedangkan tafsir yang disampaikan oleh generasi tabi\’in ulama masih belum sepakat, apakah kita harus merujuk pada tafsir yang mereka sampaikan atau tidak? Sebagian berpendapat mengatakan, kita tidak harus merujuk pada tafsir mereka sebab tafsir mereka tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan menurut imam Ahmad ra. kita harus merujuk kepada generasi tabi\’in baik dalam permasalahan tafsir atau pun yang lain.
Kritik serupa juga pernah disampaikan oleh Maulawi Abu Ahmad. Dengan mengutip komentar Ibnu Hajar al-Atsqolani dalam Mirqotul Mafatih \’ala Misykatil Mashobih ia mengatakan, “Mimpi yang dialami selain para Nabi tidak bisa dijadikan keretapan hukum syar’i”. Hukum syar\’i hanya bisa diperoleh melalui ijtihad dan wahyu. Selanjutnya Maulawi Abu Ahmad mengatakan, “Bagaimana mungkin Muhammad Ilyas menafsiri ayat al-Quran melalui mimpi, kemudian menyebarluaskannya ke segenap penjuru dan ia memproklamirkan diri sebagai pemimpin. Bukankah ini semua merupakan pemalsuan hukum¬-hukum syar\’i.
Sekarang mari kita bandingkan tafsir yang disampaikan oleh Muhammad Ilyas dengan tafsir para ulama ahli tafsir.
Muhammad Ilyas telah menafsiri kata \’ukhrijat\’ dengan dakwah yang dilakukan dengan cara keluar dari satu daerah ke daerah lain atau dari pintu ke pintu lain. Metode dakwah semacam ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan khuruj.
Interpretasi semacam ini sama sekali belum pernah disampaikan oleh seorang ulama pun. Jadi Muhammad Ilyas adalah satu-satunya. Dalam tafsir Alusi disebutkan: Tafsir dari kata \’ukhrijat\’ ialah \"udzhirot (umat yang ditampakkan)\". Sedangkan dalam tafsir ar-Rozi disebutkan, \"Ada dua pendapat ,yang ditampilkan oleh para ulama mengenai makna \"ukhrijat linnas\". Pertama, kuntum khoirol umam al-mukhorrojah linnas fi jami\’il a\’shor (kalian adalah sebaik-¬baik umat yang dilahirkan bagi manusia sepanjang masa). Sedangkan kelompok kedua berpendapat, makna dari \"ukhrijat linnas\" adalah udzhirot linnas hatta tumuyyizat wa \’urifat wa fushila bainaha wa baina ghoiriha (umat yang ditampakkan bagi manusia sehingga mereka bisa dibedakan, bisa dikenali, dan dipisahkan dengan umat yang lain).
Jadi, interpretasi para mufassir itulah yang benar, dan tidak ada satu pun dari mereka yang menafsiri kata \’ukhrijat\’ dengan berdakwah dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung.
Sekarang mari kita perhatikan kritik Maulawi Abu Ahmad mengenai tafsir yang disampaikan Muhammad Ilyas ini, \"Lihat saja penafsirannya yang sembarangan ini. Ia menafsiri \’ukhrijat\’ dengan melalui mimpi, lagi pula penafsiran tersebut mengesankan betapa dangkal akal pikirannya. Seolah-olah ia tidak tahu mana arah kanan kiri. Dan tidak pula tahu mana perkara wajib dan mana perkara sunah. Perhatikan penafsirannya itu dengan seksama : Bahwa amar ma\’ruf tidak akan bisa sempurna kecuali dilakukan dari pintu ke pintu. Padahal Islam sudah sedemikian menggema baik di penjuru barat maupun timur. Alangkah melelahkan metode dakwah seperti ini\".
Dalam halaman lain Maulawi Abu Ahmad melanjutkan kritiknya, \"Pemimpin gerakan ini telah menyampaikan sebuah manifesto bahwa penafsirannya dan ilmu-ilmunya yang lain diberikan Allah lewat mimpi. Manifesto ini tak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan oleh Abu al-A\’la al-Maududi dalam kitab at-Tankihat, \"Bahwa di dalam memahami al¬Qur’an tidak butuh pada tafsir-tafsir yang kita kenal. Namun cukup dengan menguasai bahasa Arab pada tingkatan pertama saja\". Pemikiran kedua orang ini sama persis dengan pemikiran yang berkembang di kalangan ahli bid\’ah. Mereka sering kali menafsiri al-Quran dengan pendapatnya sendiri.
Kemudian jika umat terbaik yang telah disanjung oleh ayat ini bukanlah para mubaligh dalam Jama\’ah Tabligh. Lalu siapakah mereka? Banyak versi yang disampaikan oleh para ulama mengenai ha1 ini. Menurut Ikrimah dan Muqotil sanjungan ini disampaikan Allah untuk Ibnu Mas\’ud ra, Ubai bin Ka\’ab ra, Muadz bin Jabal ra dan Salim ra mantan budak Abi Khudzaifah. Sanjungan mulia ini mereka terima setelah mereka mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Dikisahkan, suatu hari mereka dihina oleh dua orang Yahudi yang bernama Malik bin Shoif dan Wahb bin Yahuda, mereka berdua mengatakan, \"Kami lebih mulia dari pada kalian, dan agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian dakwahkan kepada kami!\". Sebagai respon dari hinaan tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat di atas.
Menurut Ibnu Abbas ra, seperti yang telah diriwayatkan oleh Sa\’id bin Jabir, \"Orang terbaik tersebut ialah orang-orang yang pernah melakukan hijrah bersama Nabi saw menuju Madinah\". Pendapat senada disampaikan oleh Juwaibir dari ad-Dlohak, \"Sanjungan ini khusus diperuntukkan bagi para sahabat Nabi, mereka para perawi dan juru dakwah yang harus kita taati\". Umar bin Khattab ra juga telah mengatakan, \"Umat terbaik itu ada pada generasi awal-awal kita dan tidak berada pada generasi akhir\".
Kemudian menurut pendapat terakhir, sanjungan itu diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin umat Muhammad saw. Qotadah mengatakan, \"Mereka adalah umat Muhammad saw. Sebab para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw tidak diperintahkan untuk berperang, sedangkan umat Muhammad saw melakukan peperangan melawan orang kafir, lalu mengajak orang-orang kafir untuk memeluk agama mereka (Islam). Mereka adalah umat terbaik bagi manusia\".C. AKIDAH JAMA’AH TABLIGH
Komentar para pengamat tentang akidah Jama\’ah Tabligh sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan Jama\’ah Tabligh tidak mempunyai akidah yang jelas, apakah mereka menganut paham Ahlus Sunnah, Mu\’tazilah atau yang lain. Mereka bahkan merangkul setiap orang yang telah berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa mempedulikan dari golongan apakah mereka. Mari kita simak bagaimana komentar yang disampaikan oleh kelompok yang gemar mengkafirkan ahli ziarah kubur dan mengkafirkan orang-orang yang melakukan tawassul (baca: Wahabi).
\"Jama\’ah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal akidah. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadlail A\’mal karya Muhammad Zakariya al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid\’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah akidah adalah:
1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (panteisme). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2. Sikap fanatis yang berlebihan terhadap orang-orang shaleh dan berkeyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu gaib. (Lihat Fadhail A\’mal, bab Fadhail Dzikir, h1m. 468-469, dan h1m. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta sikap ekstrim mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A\’mal, bab Shalat, hlm. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, h1m. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore)
4. Keyakinan bahwa para Syaikh Sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A\’mal, bab Fadhail Qur\’an, hlm. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara gaib atau batin. (LihatWhat Fadhail A\’mal, bab Dzikir, hlm. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, h1m. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jama\’ah Tabligh telah berbaiat kepadanya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam sekedar untuk melihat wajah Syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hlm. 143, dikutip dari Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 2).
7. Saling berbaiat terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah dan Sahrawardiyyah. (Ad¬ Da’wah fi Jaziratil \’Arab, karya asy-Syaikh Sa\’ad al-Hushain, hlm. 9-10, dikutip dari Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, hlm. 12).
8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa\’i. (Fadhail A\’mal, bab Fadhail ash-Shalati ‘ala Nabi, hlm. 19, cet. Idarah Isya\’at Diyanat Anarkli, Lahore).
9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan pemusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar-¬ maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jama\’ah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa\’rifuha, hlm. 10).
10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir wa I\’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hlm. 94, dikutip dari Jama\’atut Tabligh `Aqaiduha wa Ta\’rifuha, hlm. 70).
11. Banyak sekali cerita-cerita kurafat dan Hadits-hadits lemah/palsu di dalam kitab Fadhail A\’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu an Tushahhah, h1m. 46-47 dan hlm. 50-52. Bahkan cerita-cerita kurafat dan Hadits-Hadits palsu inilah yang cnereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah.Konfutasi Wahabiyah di atas apabila kita bandingkan dengan tulisan¬tulisan mereka yang lain, sekilas tampak ada state men-statemen yang paradoksal. Sebagian dari mereka ada yang mengkafir-kafirkan Jama\’ah Tabligh, namun sebagian lagi ada yang memberi dukungan. Namun pada hakikatnya adalah sama, mereka semua menolak akidah Jama\’ah Tabligh. Berikut akan kami sampaikan fatwa Abdul Aziz ketika menanggapi pertanyaan mengenai Jama\’ah Tabligh. Fatwa tersebut merupakan dukungan nyata pemerintah dan sebagian ulama Wahabi terhadap Jama\’ah Tabligh:
Surat Untuk Abdul Aziz :
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan kepada-Nyalah kita memohon pertolongan dalam urusan-urusan dunia dan agama.
Yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Ketua Umum Lembaga Penyelidikan Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pertimbangan, semoga Allah meneguhkannya dalam kehidupan dunia dan akhirat dan menjadikannya sebagai penolong kebenaran.
Assalamu\’alaikum wr. wb.
Amma ba\’du. Sungguh, kami telah membaca surat dari pendahulu tuan, yakni Syaikh Ibrahim bin Ibrahim, keluarga Syaikh Mufti ad-Diyar as-Su\’udi, semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya dan melapangkan surga untuknya, yang ditujukan kepada para ulama di belahan Timur dan di Barat serta oleh pimpinan Jama\’ah Tabligh di Madinah serta sejumlah orang yang dipesan agar mendampingi dan membantunya dengan baik. Dalam surat tersebut Syaikh Mufti ad-Diyar as-Su\’udi menyebutkan bahwa tujuan Jama\’ah Tabligh adalah memberikan nasihat dan keterangan-keterangan di masjid-masjid, mendorong untuk mengamalkan al-Qur’an dan Hadits, memberikan peringatan keras agar menjauhi bid\’ah dan kurafat seperti menyembah kubur, meminta kepada orang-orang yang telah mati, maupun bid\’ah dan kemungkaran lainnya. Kemudian beliau berkata, \"Saya menulis hal yang demikian mengenai mereka, tidak lain supaya mereka mendapatkan bantuan dari saudara-saudara mereka dengan mempersilahkan mereka untuk menjalankan kerja-kerja tersebut seraya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada mereka agar meluruskan niat dan berkata benar, selamat dari kebengkokan, serta memberikan manfaat kepada bayan (penjelasan) dan ceramah mereka. Sesungguhnya Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Di samping itu kami juga banyak membaca surat-surat tuan sendiri, semoga Allah memberikan pahala kepada tuan yang dalam surat tersebut tuan sangat mendukung kegiatan jama\’ah tersebut, memuji keutamaan, pengorbanan dan kesabaran mereka dalam usaha dakwah ilallah, semata-mata mengharapkan keridloan Allah swt. Karena pengorbanan merekalah maka banyak orang yang tersesat kembali mendapatkan petunjuk dan banyak orang kafir yang masuk Islam, yang selanjutnya timbul pula semangat untuk keluar bersama mereka dalam rangka dakwah ilallah dengan hikmah dan nasihat yang baik. Apalagi di kalangan mahasiswa, mereka sangat banyak yang ambil bagian karena mendapatkan kebaikan yang hanya dapat diketahui oleh Allah swt.
Selanjutnya, kami juga membaca beberapa surat dari pihak pemerintah yang isinya mendukung mereka, semoga Allah membalas kebaikan mereka yang telah berusaha memberikan bantuan. Pertama adalah surat dari yang mulia Raja Abdul Aziz, semoga Allah memberikan kenikamatan di tempat peristirahatannya. Kemudian, surat yang ditujukan kepada tuan yang mulia Raja Fahd, semoga Allah senantiasa melindunginya. Dalam surat tersebut beliau berkata tentang Jama\’ah Tabligh sebagai berikut, \"Sesungguhnya Jama\’ah Tabligh tidak mempunyai tujuan politik maupun materialistik. Tujuannya hanya semata-mata memperbaiki diri di jalan Allah, mengajak manusia kepada Allah dengan penuh bijaksana dan nasihat yang baik. Banyak di antara mereka yang telah pergi ke seluruh dunia untuk mengajak manusia kepada Allah. Kemudiau mereka meminta kepada setiap orang agar menyiapkan dirinya sebagai da\’inya Allah swt.\"
Dalam suratnya tersebut, yang mulia Raja Fahd menginstruksikan agar mereka memberikan pertolongan kepada mereka sebagaimana yang kami dapati dalam surat-surat dari banyak ulama besar maupun dari kalangan dosen universitas, baik di Madinah, bahkan di dalam maupun di luar kerajaan Saudi. Da1am surat tersebut mereka memuji Jama\’ah Tabligh, terutama terhadap berbagai pengaruh positif yang muncul di mana-mana karena dengan kerja Tabligh tersebut, bahkan banyak orang yang kemudian mengikutinya, baik ketika mereka menjalankan kerja di tempat tinggalnya maupun ketika mereka bepergian (keluar di jalan Allah).
Sebagian kalangan yang saling berbeda paham, bahkan juga mengakui kelebihan Jama\’ah Tahligh dan pengaruhnya terhadap ahli kurafat sehingga berkat usaha mereka, Allah swt. menunjuki mereka jalan yang lurus. Sehingga Muhammad Aslam, semoga Allah mengampuni kita dan dia, dalam suratnya yang terkenal mengakui kebaikan Jama\’ah Tabligh. Dia berkata bahwa dia tidak mengetahui Islam melainkan dengan cara yang digunakan oleh Jama\’ah Tabligh.
Namun pada akhir-akhir ini, setan dan hawa nafsu telah mempermainkan sebagian orang di Madinah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka yang sangat membenci Jama\’ah Tahligh. Bahkan mereka mengerahkan tenaga dan waktunya untuk menyerang, mencaci-maki, menimbulkan kecurigaan, bahkan dengan enaknya mereka mendatangi pemuda-pemuda yang berkat usaha Jama\’ah Tabligh telah berubah rajin menjaga shalat lima waktu dan mengamalkan sunnah, lalu berkata kepada mereka, “Apabila kamu tetap seperti keadaanmu dahulu, yakni hidup dalam kelalaian dan kemaksiatan, itu lebih baik dari pada kamu terpengaruh oleh Jama\’ah Tabligh.” Tentu saja sebagian mereka ada yang menjadi nakal kembali. Na\’udzubiLlah.
Bahkan, mereka juga menyebarkan desas-desus bahwa tuan yang mulia telah menarik kembali pendapat tuan mengenai Jama\’ah Tabligh manakala mereka telah menyampaikan keburukan Jama\’ah tersebut kepada tuan. Namun kami tidak percaya mengenai hal tersebut kepada tuan. Kami telah banyak membaca atau mendengar dari tulisan tuan sebelum ini, yang tentunya berdasarkan pada pengamatan yang mendalam serta keinginan untuk mencapai kebaikan dan menghindarkan bahaya. Oleh karena itu, kami tidak menerima apa yang mereka sandarkan kepada tuan. Maka dalam kesempatan ini kami mohon penjelasan kepada Tuan yang mulia mengenai sikap mereka agar umat tidak menjadi bingung. Semoga Allah swt. meneguhkan tuan untuk menghentikan fitnah ini. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Wassalamu\’alaikum ur. wb.
Atas nama murid-murid tuan di Madinah
Ibrahim bin Abdur-Rahman Al-HussainSurat Balasan
Wa\’alaikumus-salam wr. wb.
Amma ba\’d. Saya beritahukan kepadamu bahwa pada saat ini saya tetap berada pada pendapat saya semula mengenai Jama\’ah Tabligh sebagaimana yang telah saya tulis dalam buku-buku maupun surat-surat, baik dahulu maupun sekarang. Demikian pula apa yang telah ditulis oleh pendahulu saya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, keluarga asy-Syaikh, semoga Allah mensucikan ruhnya dan menerangi kuburnya, atau pun yang telah di tulis oleh para ulama lain yang telah dikuatkan oleh yang mulia Paduka Raja Abdul Aziz, semoga Allah merahmatinya, dan Paduka Raja Fahd, semoga Allah melimpahkan taufiq kepadanya. Karena melalui Jama\’ah Tabligh, Allah telah memberikan manfaat yang amat banyak dan menurunkan hidayah kepada manusia. Yang seharusnya kita perbuat adalah berterimakasih kepada mereka atas usaha dan perjuangannya. Hal yang demikian termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta saling menasihati sesama kaum Muslimin. Hanya saja, saya nasihatkan kepada mereka dan seluruh umat Islam (terutama kaum muda) agar tidak bepergian ke negeri kafir, kecuali bagi orang yang mempunyai ilmu dan bashirah. Karena hal itu akan sangat berbahaya bagi orang yang tidak mengetahui syariat Islam dan dasar akidah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan diikuti oleh para sahabatnya.
Adapun mengenai pertanyaan mereka bahwa saya mencabut pendapat saya mengenai Jama\’ah Tabligh, itu pernyataan dusta. Bahkan, saya menasihati mereka agar menghentikan ulah tersebut dan saya menganjurkan mereka agar menghadiri pertemuan Jama\’ah Tabligh dan ikut keluar bersama mereka supaya memperoleh banyak manfaat. Kemudian, saya meminta kepada mereka agar berhati-hati dalam memberikan pendapat dan agar berpandangan jauh ke depan. Saya juga mengingatkan kepada mereka bahwa sikap penolakan mereka itu akan berakibat buruk di dunia dan akhirat, karena itu hanyalah tipu daya setan. Semoga Allah menyelamatkan kita dari orang-orang yang hendak memalingkan manusia dari seruan agama serta menyibukkan manusia dengan hal-hal yang merusak hati dan banyak bicara.
Ini adalah agama Allah. Kita memohon kepada Allah agar memperlihatkan kebenaran kepada kita dan menetapkan kita di atas kebenaran tersebut, kemudian menampakkan kebatilan kepada kita, dan menjauhkan kita darinya. Sesungguhnya Dia Maha Penolong dan Maha Kuasa atas semua itu.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya ke atas hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat. Amin.
Wassalamu\’alaikum um. wb.
Ketua Umum
Lembaga Penyelidikan Ilmiah, Fatwa,
Dakwah, dan Pertimbangan
Abdul-Aziz bin Abdullah bin BazNamun menurut Syaikh Rabi\’ bin Hadi a1-Madkhali, dukungan yang diberikan oleh Syaikh Ibnu Baz kepada Jama\’ah Tabligh adalah karena kesalahan informasi yang ia terima. Ia mendapatkan informasi mengenai Jama\’ah ini tidak faktual. Seandainya ia mengetahui faktanya, tentu ia akan tnenyampaikan hujatan dan celaan pada Jama\’ah tersebut. Karena menurut Syaikh Rabi\’ terdapat polarisasi fundamental antara Wahabiyah dan Jama\’ah Tabligh baik dalam bidang akidah atau pun manhaji. Jama\’ah Tabligh tidak akan pernah diterima oleh Wahabiyah, karena mereka menganut akidah Maturidiyah, mengikuti jalan sufistik dalam hal ibadah dan adab, melaksanakan baiat berdasarkan empat ajaran tarekat sufi yang sesat, mengakui ajaran hululiyyah (inkarnasi), mengakui wihdatul wujud (panteisme), dan melakukan banyak kesyirikan dengan menyembah kubur dan yang lain.
Kemudian Syaikh Rabi\’ menyampaikan fatwa terakhir dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai berikut:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz telah ditanya:
Saya telah keluar bersama Jama\’ah Tabligh ke India dan Pakistan, kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, dan saya mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, maka shalatnya batal (tidak sah). Apakah pendapat Syaikh tentang shalat saya? Apakah saya mengulanginya? Dan apa hukum khuruj bersama mereka kepada tempat-tempat seperti ini?
Jawab:
Bismillah walhamdulillah, amma ba\’du :
Sesungguhnya Jama\’ah Tabligh tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang teguh oleh Ahlus Sunnah wal Jama\’ah (baca : Wahabiyah), sehingga ia membimbing dan menasihati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan, karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh penambahan ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan ulama-ulama tauhid dan sunah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua akan pemahaman dalam agama dan konsekuen di atasnya.
Adapun shalat di dalam masjid-masjid yang di dalamnya ada kuburan, maka shalatnya tidak sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang kamu kerjakan di masjid-masjid itu, karena Nabi bersabda, “Allah telah melaknat Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid” (muttafaq alaih). Dan sabda Nabi, \"Ingatlah sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur Nabi-nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai masjid, ingatlah, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya saya melarang kalian akan hal itu\". (HR. Muslim).
Dan Hadits-hadits yang menjelaskan tentang hal ini sangatlah banyak, wa billahi taufiq, semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta sahabatnya.
[fatwa tanggal 2/12/1414 H.]
Fatwa di atas hanyalah salah satu contoh sikap antipati Wahabiyah atas Jama\’ah Tabligh. Selain itu masih banyak fatwa serupa yang menyudutkan posisi Jama\’ah Tabligh seperti fatwa Abdu1 Aziz bin Abdullah Ali Syeikh, Sholeh bin Fauzan al-Fauzan, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdur Razzak Afifi, dan fatwa-fatwa lain. Beberapa fatwa di atas menunjukkan bahwa pluralitas akidah yang berusaha diwadahi oleh Jama\’ah Tabligh ternyata tidak bisa diterima oleh siapa pun. Bayangkan saja seandainya fatwa di atas dibaca oleh anggota Jama\’ah Tabligh Indonesia yang notabenenya sebagai Islam tradisional yang sering mengadakan ritual ziarah ke kubur dan masih menganut akidah asy-‘¬Ariyah dan Maturidiyah, tentu mereka akan emosi karena mereka dituduh sebagai orang kafir. Namun sebaliknya, jika fatwa di atas dibaca oleh anggota Jama\’ah Tabligh yang menganut paham Wahabiyah tentu mereka akan no comment saja, sebagai tanda setuju.
Sekarang mari kita tengok kritik yang disampaikan oleh salah seorang ulama Sunni yaitu Maulawi Abu Ahmad. Maulawi telah mengutip tulisan Muhammad Idris yang tertuang dalam Tablighi Dusthur al-Amal. Dalam buku tersebut Muhammad Idris telah menjelaskan tiga tujuan yang ingin dicapai oleh Jama\’ah Tabligh:
1. Meninggikan kalimat Allah.
2. Menyampaikan Islam dan mensyiarkannya.
3. Mempersatukan orang-orang yang sama akidahnya, serta mengadakan rekonstuksi pemahaman madzhab, etika, dan pendidikan.
Selain itu, Muhammad Ilyas pernah menjelaskan bahwa aktifitas dakwah dari kampung ke kampung hanya sekedar awal dari seluruh misi Jama\’ah Tabligh. Sedangkan penegakan kalimatullah, mengajarkan shalat, dan aktif dalam bidang pendidikan laksana alif, ba\’, dan ta\’ bagi gerakan tersebut. Final dari semua itu ialah mendidik masyarakat dengan seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw sesuai dengan akidah yang dikehendaki Muhammad Ilyas.
Muhammad Ilyas juga pernah bertutur kepada rekan dekatnya, Dhahir al-Hasan, \"Tujuanku tidak bisa dimengerti setiap orang, masyarakat menduga pergerakan ini sekedar mengajak orang mengerjakan shalat. Aku pun bersumpah, demi Allah gerakan ini bukan sekedar mengajak orang mengerjakan shalat\". Inti dari tujuan mereka adalah ingin menciptakan tarekat dan akidah sebagai alat propaganda untuk menghimpun anggota Jama\’ah sebanyak-banyaknya. Dan menurut Dhahir al-Hasan Jama\’ah Tabligh ini telah mewadahi syariat, tarekat dan hakikat dengan sangat sempurna.
Selanjutnya Maulawi Abu Ahmad menyoal akidah Jama\’ah Tabligh yang telah dijelaskan oleh Muhammad Idris Anshori. Dalam penjelasannya ia mengatakan, \"Akidah Jama\’ah Tabligh ini adalah laiilaha illalah muhammadur rosulullah\". Menurut Maulawi Abu Ahmad memang benar akidah ini merupakan akidah Islam, tetapi sangat disayangkan akidah ini juga mereka pakai untuk merekrut golongan al-Qodiyani, al-Bahai, dan golongan-golongan lain yang telah dinyatakan keluar dari ajaran Islam. Seluruh golongan bisa masuk dalam komunitas Jama\’ah Tahligh selama mercka mengakui dua kalimat syahadat.
Statemen di atas memiliki ekuivalensi dengan apa yang tertulis dalam Dustur al-A\’mal, \"Setiap orang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat dan mengakui maknanya sebagai akidah, kemudian setuju dengan pergerakan ini dan dengan penuh semangat ikut berkhidmah kepada agama Islam, maka dengan sendirinya termasuk anggora Jama\’ah ini. Meski pun berasal dari golongan mana saja atau berdiam di penjuru mana pun. Untuk masuk ke dalam Jama\’ah ini tidak ada syarat lain\". Di tempat lain dalam Dustur al-A\’mal juga tertulis, \"Jangan sampai membicarakan masalah khilafiyah dan furu\’iyyah. Sampaikan saja pokok-pokok tauhid dan rukun-rukun Islam\".
Muhammad Ilyas juga mengatakan, \"Dasar gerakan kita adalah meningkatkan keimanan dan keyakinan dalam beragama. Oleh karena itu, tidak usah mengungkit-ungkit permasalahan akidah\". (Malfudhot:116). Dia juga mengatakan, \"Pada suatu saat kalian menyinggung masalah bid\’ah. Lain kali kata-kata itu jangan kalian sampaikan karena bisa memancing fitnah di tengah masyarakat\". (Makatib:l42).
Jelas sudah kini bahwa mereka tidak mempunyai apakah Ahlus Sunah atau Ahli Bid\’ah. Semua mereka kasihi di bawah bendera lailaha illallah muhammadur rasulullah. Ada dua persoalan yang harus dijawab oleh Jama\’ah Tabligh mengenai hal ini. Pertama, agar akidah kita selamat, kita harus mengenal akidah yang benar, membedakannya dengan 72 dua firqoh yang terancam masuk neraka. Untuk mengetahui ha1 itu mau tidak mau kita harus mendiskusikan khilafiyah yang terjadi dalam permasalahan teologi.
Kedua, dengan merekrut seluruh golongan, berarti tanpa disadari mereka telah menjalin hubungan harmonis dengan ahli bid\’ah. Padahal keharmonisan ini telah dilarang oleh Nabi, \"Barangsiapa melihat pelaku bid\’ah dengan pandangan penuh kebencian, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan iman dan perasaan aman. Barangsiapa menghardik pelaku bid\’ah dengan penuh kebencian, kelak di hari kiamat dia akan aman dari siksa neraka. Barangsiapa menghina pelaku bid\’ah, derajatnya di surga kelak akan dilipatgandakan seratus kali. Barangsiapa ketika bertemu dengan pelaku bid\’ah menampakk\’an face yang ceria, maka sungguh ia telah melecehkan ajaran Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw\".
Seorang Wali agung Fudlail bin \’Iyadl juga mengatakan, \"Barangsiapa mencintai Pelaku bid\’ah, Allah akan menghapus amalnya dan menghilangkan cahaya keimanan dari hatinya. Ketika Allah mengetahui ia membenci pelaku bid\’ah, aku berharap semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Kemudian ketika kamu menjumpai pelaku bid\’ah di tengah jalan, maka ambillah jalan lain\". (AlGhunyah, 1:90).
D. USHULUS SITTAH
Perealisasian lailaha illallah muhammadur rasulullah merupakan salah satu dari enam asas dari pergerakan Jama\’ah Tabligh. Agar penjelasan ini lebih perfect, kami akan menyampaikan keenam landasan Jama\’ah Tabligh yang terkenal dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam).
1. Merealisasikan Kalimat Thayyibah La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.
Mereka menafsirkan makna La Ilaha Illallah dengan: \"Mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang Dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Madlarat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan\". Mayoritas diskusi mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata. (Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu an-Ushahhah, hlm.4).
Padahal makna La Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hlm. 52-55). Adapun makna \’merealisasikannya\’ adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa\’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-\’Adnani, hlm. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: \"Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya) dari kesyirikan, bid\’ah, dan kemaksiatan.\" (Fathul Majid, hlm. 75)
Oleh karena itu, asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara \’keistimewaan\’ Jama\’ah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golougan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asy\’ariyah serta Maturidiyah, dan kepada Maturidiyah mereka lebih dekat\". (Nazhrah `Abirah I\’tibariyyah Haulal Jama\’ah At-Tablighiyyah, hal. 46).
Kritik serupa banyak disampaikan oleh kalangan Wahabiyah. Kekeliruan ini terjadi karena Jama\’ah Tabligh mempunyai \’kalimat kunci\’ dalam pergerakan mereka. Kalimat kunci tersebut ialah, segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan perpecahan -walaupun hal tersebut merupakan kebenaran- maka harus ditinggalkan dan disingkirkan. Jama\’ah Tabligh tidak akan pernah bersedia mendiskusikan tauhid al-asma\’ was shifat, sebab diskusi tersebut akan menimbulkan konflik di antara mutakallimin. Di sana ada kelompok Asy\’ariyah, Maturidiyah, Jahmiyah, Hululiyah, Ittihadiyah dan lain ¬lain. Tauhid uluhiyah juga tidak akan mereka bicarakan, sebab di dalamnya terdapat konflik antara golongan yang melegalkan ziarah kubur dan tawassul dengan golongan yang mengkafir-kafirkan ahli ziarah dan ahli tawassul. Jama\’ah Tabligh hanya bersedia membicarakan tauhid rububiyyah; Allah yang menciptakan, Allah yang memberi rizki, Allah yang memberi nikmat, dan makna-makna tauhid rububiyyah yang lain. Padahal tauhid semacam ini juga telah dikenal oleh kaum musyrikin Arab pada masa lampau.
2. Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri.
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: \"Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunah-sunahnya, hukum sujud sahwi dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jama\’ah Tabligh) tidaklah mengetahui hal-¬hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka\". (Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu \’an Ushahhah, h1m. 5-6).
3. Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka mengklasifikasikan ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhoil. Ilmu masail, menurut prespektif mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada ritus khuruj dan pada majelis-majelis tabligh. Jadi yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal serta dasar¬-dasar pedoman Jama\’ah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 6).
Pengklasifikasian yang telah disampaikan oleh Jama\’ah Tabligh memang kurang tepat. Sekali lagi motif dari pengklasifikasian ini karena mereka ingin menghindari konflik dengan cara menghindari ilmu-ilmu masa\’il. Dengan demikian berarti Jama\’ah ini membiarkan begitu saja anggotanya mempunyai atau menganut ilmu-ilmu masa\’il yang mungkin mengandung kebid\’ahan atau kesesatan. Bukankan kebid\’ahan itu merupakan kemungkaran yang harus diluruskan? Kita patut bertanya kepada mereka, apakah mereka hanya bisa mendakwahi orang-orang di luar golongan mereka dan menganggap anggota Jama\’ah mereka tidak ada lagi yang memerlukan dakwah?
Baiklah! Berikut di sini kami akan menyampaikan definisi ilmu dan pengklasifikasiannya menurut para ulama.
Dalam pengertian etimologis, ilmu bisa berarti ma\’rifat (pengetahuan), syu\’ur (filling), itqon (keahlian), dan yaqin (keyakinan). Sedangkan dalam pengertian terminologis, ilmu berarti visualisasi dari sebuah pengetahuan yang ditangkap oleh akal. Sedangkan menurut al-\’Adlud al-Iji ilmu adalah sebuah sifat yang mendiferensikan antara beberapa makna sehingga tidak ada lagi kontradiksi. Sedangkan menurut penulis kitab Kulliyyat makna substansial dari kata \’ilmu\’ ialah idrok (persepsi kognitif). Makna ini mempunyai keterkaitan dengan al-ma\’lum (informasi atau data). Agar sebuah informasi terus terekam dalam otak maka membutuhkan sebuah instrumen yang disebut dengan malakah (naluri). Sedangkan kata \’ilmu\’ bisa digunakan untuk ketiga-tiganya; idrok, al-ma\’lum, dan malakah.
Sedangkan mengenai hukum tergantung pada seberapa kadar faedah yang terkandung dalam sebuah ilmu dan seberapa ilmu itu dibutuhkan oleh manusia. Setelah menganalisa kadar masing-masing, kita akan mengetahui bahwa mempelajari sebuah ilmu ada yang hukumnya wajib seperti mempelajari ilmu tentang shalat, sunah seperti memperluas pengetahuan agama, mubah seperti mempelajari puisi yang liriknya tidak memberi dampak negatif atau positif, makruh seperti mempelajari puisi cinta, dan haram seperti mempelajari sihir dan sulap. Kemudian ilmu wajib dapat diklasifikasikan menjadi dua kategorial; fardlu ain dan fardlu kifayah.
Imam Nawawi telah mengatakan: Termasuk bagian dari ilmu syar\’i adalah ilmu yang hukumnya fardlu ain. Fardlu ain ialah ilmu yang inheren dengan sebuah kewajiban. Sebuah kewajiban tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya ilmu tersebut, seperti cara melakukan wudlu, shalat, dan yang lainnya. Sedangkan dalam permasalahan ushul dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah, maka cukup dengan mempercayai dan meyakini seluruh ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dengan sebuah keyakinan yang mantap dan tidak ada lagi keraguan. Orang yang telah mempunyai keyakinan seperti ini tidak diwajibkan mempelajari dalil-dalil (theorem) para teolog.
Termasuk dari ilmu yang harus dipelajari dan hukumnya fardlu ain adalah ilmu hati. Ilmu hati dalam penjelasan Imam Nawawi ialah ilmu tentang penyakit hati seperti dengki, ta’ajjub dengan diri sendiri, dan yang lain.
Al-Ghazali mengatakan, \"Hukum mendiagnosa penyakit hati, mengetahui batasan-batasannya, gejalanya, obatnya, dan bagaimana cara pengobatannya, adalah fardlu ain\". Sedangkan menurut ulama lain, seseorang yang dikaruniai hati yang bersih, sehingga tidak mungkin terjangkit penyakit hati, dia tidak diwajibkan belajar tentang obat hati. Namun jika seseorang mungkin terjangkit penyakit ini, maka dia harus introspeksi diri, apakah dia mampu memberikan obat penawar dengan tanpa harus belajar atau tidak mampu. Jika dia mampu melakukan pengobatan sendiri maka dia harus segera melakukan pengobatan dan kembali membersihkan hatinya. Apabila tidak mampu melakukan pengobatan sebelum mempelajari ilmu tentang pengobatan, maka hukum mempelajari pengobatan tersebut adalah fardlu ain.
Sedangkan ilmu yang fardlu kifayah ialah ilmu-ilmu syariat yang sangat diperlukan untuk menegakkan agama Islam. Contohnya seperti menghafalkan al-Quran dan Hadits, mengkaji ilmu a1-Quran, Hadits dan ushul, mengkaji fiqih, mempelajari gramatika Arab, mengetahui para perawi Hadits, mengetahui tentang ijma’ dan khilaf antar ulama. Termasuk fardlu kifayah juga adalah ilmu-¬ilmu yang dibutuhkan uutuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia, seperti kedokteran, hisab, dan beberapa ilmu dalam bidang usaha seperti navigasi dan garmen.
Di atas jelas tertulis bahwa mempelajari khilaf yang terjadi di tengah ulama atau masail hukumnya adalah fardlu kifayah. Lalu bagaimana Jama\’ah Tabligh dengan begitu saja meninggalkan kewajiban ini dengan mengatakan \"Mempelajari khilafiyah hanya akan menyebabkan konflik\". Apakah mereka tidak mengerti bagaimana resiko meninggalkan fardlu kifayah? Hukum meninggalkan fardlu kifayah secara total dalam sebuah komunitas adalah atsimal jami\’ (seluruh manusia dalam komunitas tersebut akan menanggung beban dosa).
Jadi pengklasifikasian ilmu dalam versi Jama\’ah Tabligh akan melahirkan sebuah pertanyaan besar, terutama mengenai ilmu masail. Dalam prespektif mereka, ilmu masail harus dipelajari di luar komunitas Jama\’ah Tabligh, di pelajari di negeri masing-masing. Padahal faktanya, ketika seorang telah menyatakan diri masuk dalam keanggotaan Jama\’ah Tabligh mereka nyaris tidak lagi tertarik untuk menimba ilmu kepada para ulama yang notabene tidak mendukung gerakan Jama\’ah Tabligh, kalau perlu ulama tersebut menjadi obyek dakwah mereka.
Anggota Jama\’ah Tabligh hanya tertarik untuk menimba ilmu yang ada dalam komunitas mereka sendiri. Sedangkan ilmu yang tersedia dalam komunitas tersebut hanyalah keutamaan ibadah; fadlilah, fadlilah dan fadlilah. Mereka rawan terpedaya oleh setan karena mereka tidak mempunyai kestabilan antara ritual ibadah yang identik dengan fadlilah dan keilmuan. Apakah mereka belum tahu lebih utama mana antara orang alim dan ahli ibadah? Tentu lebih utama orang alim. Dalam al-Quran disebutkan, \"Katakanlah: \"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?\" (QS. Az-¬Zumar : 9). Disebutkan pula, \"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat\". (QS. at-Mujadalah : 11). Dan firman Allah, \"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama\". (QS. Fathir : 28). Keutamaan orang-¬orang yang berilmu dibanding ahli ibadah juga disabdakan oleh Nabi, \"Menuntut ilmu lebih utama dari pada shalat sunnah\". Dalam Hadits lain Nabi bersabda, \"Keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah sebagaimana keutamaanku (Nabi) dibanding orang yang paling rendah di antara kalian\".
4. Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jama\’ah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan yang jelas dalam merealisasikan ushul yang keempat ini, khususnya dalam masalah al¬-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang kontras dengan substansi ushul yang keempat ini. Mereka memusuhi orang¬-orang yang menasihati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda prinsip, walaupun orang tersebut \’alim rabbani. Memang hal ini tidak rerjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama\’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hlm. 8.)
Dalam kritik yang ia sampaikan, Muhammad Ali Ishmah al-Medani menuliskan, \"Dalam urusan amar ma\’ruf nahi munkar mereka juga menggunakan senjata kalimat rahasia ini… Oleh karena itu bila ada orang yang bermaksiat ikut khuruj bersama mereka ingin merokok maka mereka memperbolehkannya bahkan membelikan rokok untuknya. Demikian juga peminum arak, mereka akan membawakan botolnya. Dan kalau orang itu ingin mencukur jenggotnya
mereka akan berikan pisau cukur untuknya atau mereka akan membawanya ke tukang cukur\".
Seandainya informasi tersebut akurat dan sesuai dengan realitas di lapangan, artinya mereka mentolerir sebuah kemaksiatan, tentu hal ini merupakan sebuah kesalahan Jama\’ah Tabligh yang harus kita -
AuthorPosts
- The forum ‘Forum Masalah Fiqih’ is closed to new topics and replies.