Home Forums Forum Masalah Umum Pertanyaan seputar Sholat dan Thoharoh

Viewing 10 posts - 1 through 10 (of 10 total)
  • Author
    Posts
  • #102676772
    Nugroho Laison
    Participant

    As Salamu \’alaikum wr. wb. Habib Munzir yg saya hormati dan Insya Allah dimuliakan serta selalu dirahmati Allah swt.

    Mohon maaf mengganggu, ada beberapa pertanyaan terkait masalah Sholat dan Thoharoh. Titipan dari rekan-rekan di mailing list.

    [1] Yang pertama, Bagaimana hukumnya membaca ayat atau surat Al-Quran pada roka\’at ketiga dan keempat dalam sholat?

    Karena ada diskusi hangat dgn teman-teman di mailing list lain. Ada yg mengambil ulasan dari Ustadz Ahmad Sarwat di website Eramuslim bahwa tdk disyariatkan membaca surat selain Al-Fatihah dlm roka\’at ketiga dan keempat sbb:

    ————
    Ustadz yang terhormat,

    Pada shalat baik wajib maupun sunnah, membaca surat-surat pendek/surat
    lain setelah membaca surat Al-fatihah adalah sunnah. yang ingin saya
    tanyakan adalah apakah ada dalilnya membaca surat pendek pada rakaat ke
    dan 2/3 dan 4 (jika pada solat yang 4 rokaat). Selama ini saya
    membacanya pada rokaat yang ke 3 dan 4. Namun ada sebagian yang
    mengatakan tidak boleh dan hanya pada rokaat 1 dan 2 saja. Mohon
    penjelasannya.

    jawaban boleh dikirim ke e-mail saya yang lain.terima kasih.
    Hmad Bustomi

    Jawaban
    Assalamu a\’alaikum warahmatullahi wabarkatuh,

    Membaca sebagian surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah memang
    hanya disyariatkan pada dua rakaat pertama. Sedangkan untuk rakaat ketiga
    atau keempat, tidak ada pensyariatannya.

    Dengan demikian, tidak pada tempatnya untuk dibaca pada rakaat ketiga
    dan keempat. Sebab prinsip dasar dalam ibadah shalat adalah pada
    dasarnya haram, kecuali ada perintahnya.

    Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW hanya membaca ayat
    Al-Quran pada rakaat pertama dan kedua saja adalah hadits berikut ini:

    Dari Qatadah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW membaca dalam shalat
    Zhuhur pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat,
    beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat
    kedua. Terkadang beliau mendengarkan ayat. Beliau SAW membaca dalam
    shalat Ashar pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua
    surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di
    rakaat kedua. Dan beliau beliau memanjangkannya di rakaat pertama
    shalat shubuh dan memendekkannya di rakaat kedua. (HR Muttafaqun \’alaihi).

    Maka sebaiknya anda tidak membaca ayat Al-Quran pada rakaat ketiga atau
    keempat, kecuali hanya membaca surat Al-Fatihah saja.

    Wallahu a\’lam bishshawb, wassalamu a\’alaikum warahmatullahi wabarkatuh,

    Ahmad Sarwat, Lc.
    —————–

    Sedangkan rekan lain menerangkan dgn pendapat Syaikh Albani, dibolehkan membaca surat selain Al-Fatihah pd roka\’at ketiga dan keempat sbb:

    —————-
    Assalamu\’alaikum warohmatullooh,

    Membaca forward artikel oleh bang Morry, membuat saya teringat akan
    tulisan Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Albani dalam kitab beliau
    \"Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu \’Alaihi wa Sallama min At-
    Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraaha\", yang sudah dialih
    bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Thalib (Penerbit
    Media Hidayah – Yogyakarta cetakan ke 17 – Edisi Revisi).

    Dalam bab 2 – Gerakan dan Bacaan Shalat sub bab 14 Bacaan-Bacaan Nabi
    Dalam Shalat tentang 2.b. Membaca beberapa ayat pada dua raka\’at
    terakhir. Pada bagian ini tertulis paragraf sebagai berikut:
    \"Pada raka\’at ketiga dan keempat shalat Zhuhur, Nabi membaca ayat atau
    surah lebih pendek daripada ayat atau surah pada raka\’at pertama dan
    kedua, kira-kira separonya, yaitu 15 ayat;(footnote 133) dan terkadang
    hanya membaca Al-Fatihah\". (footnote 134)

    Berikut footnote-nya:
    133. HR Ahmad dan Muslim. Hadits ini menyatakan bahwa membaca surah
    pada raka\’at ketiga dan keempat adalah sunnah. Demikianlah pendapat
    sejumlah sahabat, antara lain Abu Bakar Shiddiq. Begitu pula pendapat
    Imam Syafi\’i, baik dalam shalat Zhuhur maupun shalat yang lain.
    Pendapat ini diikuti ulama-ulama kita belakangan ini, antara lain:
    Abul Hasanat Luknawy dalam kitab At-Ta\’liqul Mumajjadu \’Ala Muwaththai
    Muhammad, hlm. 102. Ia berkata: \"Sebagian teman-teman kami bertindak
    aneh, karena mewajibkan sujud sahwi bila orang tidak membaca surah
    pada raka\’at ketiga dan keempat.\"
    Pendapat ini telah ditolak oleh Ibrahim Al-Halabi, pensyarah kitab Al-
    Maniyah, Ibnu \’Amir Hajj, dan lain-lain dengan bantahan yang baik.
    Orang yang berpendapat semacam itu barangkali karena belum mengetahui
    Hadits ini atau sudah mengetahui tetapi tidak mau memperdulikannya.
    134. HR. Bukhari dan Muslim.

    Dengan demikian, ada perbedaan antara jawaban (di eramuslim.com) yang
    diberikan oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc, yaitu \"Membaca sebagian surat
    Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah memang hanya disyariatkan pada dua
    rakaat pertama. Sedangkan untuk rakaat ketiga atau keempat, tidak ada
    pensyariatannya.\"
    Dengan apa yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
    tersebut, yaitu bahwa ada hadits [tentunya berkadar shahih] yang
    diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim, yang dapat dijadikan
    hujjah tentang sunnah-nya membaca surah Al-Quran setelah Al Fatihah
    pada raka\’at ketiga dan keempat.

    Apanya yang berbeda?? Ustadz Ahmad Sarwat Lc menuliskan \"tidak ada
    pensyariatannya\", sedangkan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
    menuliskan adanya hadits tersebut.

    Pendapat saya, jelas ini bukan perbedaan pendapat semata, karena ada
    hadits shahih yang dapat dijadikan landasan.

    Apakah ada rekan-rekan sekalian yang dapat memberikan ulasan lebih
    lanjut. Seandainya ada diantara anggota milis ini yang dapat
    meneruskan kepada ustadz Ahmad Sarwat Lc maka saya akan sangat
    berbahagia sekali tentunya, karena saya tidak mempunyai alamat kontak
    beliau secara langsung. Harapannya dapat menjadikan bahan pembahasan
    lebih lanjut, sehingga menjadi tambahan ilmu bagi kita. InsyaAllooh.

    Walloohu\’alam.

    Wassalam,
    cNbM
    —————-

    Terlepas dari siapa Syaikh Albani, menurut Habib Munzir, pendapat mana yg benar atau minimal paling kuat, dan bagaimana dalilnya menurut Sunnah Rasulullah saw.

    [2] Berikutnya, utk tayammum, menurut madzhab Syafi\’i dan hadits shohih, bagaimana cara menyapu bagian tangan, apakah cukup sampai pergelangan atau sampai sikut?

    Karena ada rekan dan ustadz yg menyatakan dgn referensi kitab Bulughul Maram, ada hadits yg menyatakan tayammum sampai pergelangan tangan.

    [3] Kemudian, terkait masalah batal wudhu. Apakah batal wudhu seseorang suami menyentuh istri, begitu pula kebalikannya? Bagaimana dalilnya menurut madzhab Syafi\’i, baik Qoul Qodim atau pun Jadid?

    Karena dlm kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi\’i yg sederhana, dikatakan bahwa batal wudhu bila bersentuhan lawan jenis dgn kriteria sudah baligh, bukan mahrom abadi. Sedang suami boleh dan sudah menikah dgn istri, dlm arti lain bukan mahromnya.

    Bagaimana juga menurut madzhab lain, mana yg lebih rojih?

    [4] Selanjutnya utk sholat, bagaimana tata cara sujud, apakah pd saat sujud, selain kaki (jari kaki) dihadapkan ke arah Qiblat, kedua kaki dirapatkan (bertemu) atau direnggangkan?

    Karena dari banyak buku tata cara sholat dan thoharoh, ada hadits-hadits yg menerangkan dirapatkan (biasanya dilakukan oleh komunitas salafi/wahabi), ada juga yg direnggangkan (mayoritas di masyarakat kita). Mana yg lebih rojih menurut madzhab Syafi\’i? Bagaimana pandangan madzhab lain?

    [5] Bagaimana bila muallaf dlm membaca doa atau tasbih dalam sholat, urutannya terbalik, apakah bid\’ah? apakah batal sholatnya? Seumpama begini, misal baca doa di antara dua sujud – Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa\’nii warzuqniii dst dibaca menjadi – Robbighfirlii warhamnii wajburnii warzuqnii warfa\’niii.

    [6] Apa ada kitab fiqih terjemahan yg mudah dipelajari oleh muallaf, ringkas, dan merupakan summary dari penjabaran fiqih yg berlandaskan dalil-dalil yg kuat menurut madzhab Syafi\’i?

    [7] Bagaimana pandangan Habib Munzir ttg kekuatan dan kelemahan Kitab Bulughul Marom bagi para murid yg ingin belajar?

    Juga bagaimana derajat atau kualitas penjabaran fiqih dalam Kitab Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq yg banyak dijadikan referensi bagi pelajar khususnya dalam komunitas PKS (Ikhwanul Muslimin) juga beberapa dari komunitas salafi (wahabi)?

    [8] Harapan kami, terutama dari rekan-rekan muallaf, majelis Rasulullah menerbitkan audio-video dan buku-buku yg ringkas menjabarkan tauhid terutama sifat 20, serta menjabarkan dan memberi contoh praktek Rukun Islam, terutama Thoharoh dan Sholat, yg tentunya mudah dipelajari oleh para muallaf.

    Demikian dari saya, mohon maaf bila mengganggu Habib Munzir.

    Was Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Nugroho Laison (nugon)

    #102676784
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Cahaya kemuliaan Nya swt semoga selalu menerangi hari hari saudaraku dalam kebahagiaan,

    1. dalam madzhab syafii terdapat dua pendapat, yaitu disunnahkan membaca surat selain fatihah pada rakaat ketiga dan keempat.

    dan pendapat kedua tidak disunnahkan melakukannya, karena mereka berkata bahwa ucapan Imam syafii dan lainnya itu adalah dimaksudkan untuk masbuq yg mengikuti imam pada rakaat ketiga dan keempat, maka mereka tetap disunnahkan membaca surat karena masbuq masih rakaat pertama atau kedua

    dijelaskan oleh Hujjatul Islam Al Imam Nawawi pada kitabnya Almajmu\’. bahwa dua pendapat ini dalam madzhab syafii, namun yg lebih shahih adalah yg tidak menyunnahkan surat pada rakaat ketiga dan keempat dan aku berfatwa dengan yg mengatakannya tidak disunnahkan (Al Majmu\’ Linnawawi)

    2. berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi bahwa terdapat dua riwayat dalam hal ini, Al Imam syafii, Imam Malik, dan Imam Hanafi mengambil hadits shahih bahwa tayammum adalah pada wajah dan tangan hingga siku, dan Imam Ahmad mengambil hadits shahih bahwa tayammum pada wajah dan kedua telapak tangan. (Syarah nawawi ala shahih Muslim Bab Tayammum)

    3. berkata Imam Nawawi, bahwa dalam Madzhab kita (Assyafii madzhab beliau), bahwa bersentuhan kulit pria dan wanita dewasa non muhrim membatalkan wudhu, berlandaskan pada firman Allah : \"Aw laaamastumunnisaa\", dan berlandaskan hadits shahih riwayat Ibn Umar ra bahwa Rasul saw bersabda : Barangsiapa yg mencium istrinya dan menyentuhnya maka baginya berwudhu.

    mengenai pendapat madzhab lain adalah berlandaskan beberapa hadits shahih bahwa Rasul saw mencium istrinya dan menyentuh kaki mereka saat shalat dan Rasul saw tak berwudhu lagi, namun kita berpendapat bahwa Rasul saw menciun istrinya itu adalah dengan kain penutup (jilbabnya) dan bukan bersentuhan langsung, demikian pula saat beliau saw mengangkat kakiistrinya yg menghalanginya saat shalat, adalah tidak bersentuhan dg kulitnya langsung, dan hadits yg menguatkan sentuhan dua kulit tidak membatalkan adalah hadits dhoif, dan tak ada hadits shahih yg mensharihkan bersentuhan dua kulit tanpa kain (ha\’il).
    (Al Majmu\’Linnawawi Bab Wudhu).

    pendapat madzhab lain adalah bersentuhan tidak batal kecuali jika dengan syahwat, dan madzhab lainnya bersentuhan tidak batal kecuali disengaja, dan madzhab lain berpendapat bersentuhan tidak batal sama sekali.

    mengenai mana yg paling shahih maka masing masing madzhab akan menagatakan pendaoatnya yg lebih kuat, dan demikian kejelasana Imam Nawawi bahwa yg terkuat adalah madzhab syafii.

    4. dalam madzhab syafii menghadapkan jari jari ke kiblat adalah sunnah, dan merenggangkan kedua paha saat bersujud, dan berkata shohib Aunulma\’bud mengenai hadits riwayat Abu dawud bahwa nabi saw memerintahkan untuk merapatkan paha, namun ini bertentangan dg hadits riwayat Abu dawud pula yg meriwayatkan bahwa Rasul saw memerintahkan untuk membuka kedua paha saat bersujud dan tidak menjadikan paha mendukung beban perutnya, dan bahwa Imam Assyaukani merujuk pada hadits Abi Humaid bahwa Rasul saw mengajarkan membuka kedua pahanya, dan tak ada ikhtilaf dalam hal ini. pendapat sama pada Madzhab Imam Ahmad dan Abu hanifah (hanafi).

    5. bacaan bacaan itu sunnah, selain fatihah dan tahiyyat, maka tak dibacapun tetap sah shalatnya namun ia kehilangan pahala sunnah.

    6. kitab fiqih yg dikeluarkan oleh departemen agama kita berupa panduan shalat, itu berlandaskan madzhab syafii.

    7. Bulughul maram adalah salah satu dari ribuan kitab hadits, namun Bulughul Maram adalah kumpulan dari beberapa riwayat yg dibuat oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy, beliau adalah salah seorang pakar hadits, dan tentunya jauh diatas derajat Sayid Sabiq.

    selayaknya kita berpegang pada satu madzhab, bukan mencari yg paling shahih, karena kesemua Imam Madzhab empat adalah dipercaya oleh ribuan muhaddits dan pakar hadits bahwa mereka berpegangan pada riwayat shahih.

    tak ada yg dhoif dari 4 imam besar itu, karena jika mereka dhoif dan tak mengerti hadits maka tak akan diakui sebagai Imam Madzhab oleh ribuan ahli hadits dimasanya.

    seorang pakar hadits mestilah mencapai derajat ALhafidh, yaitu telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, sedangkan sayid sabiq hanya menukil saja dan ia tak sampai ke derajat Alhafidh.

    diatasnya terdapat derajat Hujjatul Islam, yaitu hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, demikianlah Imam Nawawi,Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy,

    mengenai Imam Madzhab mereka sudah lebih lagi, Imam Amad bin Hanbal ia hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii, maka jelaslah keluasan Ilum syariah Imam Imam Madzhab itu, dan selayaknya kita mengikuti Madzhab setempat,

    jika kita di wilayah madzhab hanafi maka janganlah berkeras dengan madzhab syafii, ikutilah masyarakat setempat hingga tak menimbulkan perpecahan,

    demikianpula jika kita di wilayah madzhab Syafii, tak layaknya kita berkeras dengan madzhab lainnya hingga menimpbulkan perpecahan, berbeda dengan wahabi yg selalu memang menimbulkan per[ecahan dimana mana.

    terimakasih atas sarannya saudaraku

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

    Wallahu a\’lam

    #102676787
    Nugroho Laison
    Participant

    Maaf mengganggu lagi Habib Munzir, hanya ingin konfirmasi dan klarifikasi ulang.

    Ttg Sujud, maksudnya adalah merapatkan 2 tumit/betis. Ada rekan yg merapatkan betis/tumitnya hingga sisi pinggir dalam telapak kaki bertemu, sehingga posisi kaki sampai lutut seolah rapat membentuk huruf V ( \\ /). Tapi yg umum kita lihat dan lakukan adalah 2 tumit tdk bertemu, sehingga posisi kaki seperti ini \\ / , bukan rapat seperti ini \\/ . Apakah keduanya ada dalil? Mana yg lebih afdhol.

    Kemudian mohon maaf, bisa tahu judul buku fiqih dari departemen agama tsb?

    Yg terakhir, kalau seumpama ada pengajian Fiqih dgn referensi Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, kami boleh menghadirinya? Apa tingkat pembahasannya tdk berat bagi orang awam atau muallaf?

    Itu saja dari saya, mohon maaf sedalam-dalamnya karena mengganggu dan merepotkan Habib.

    Was Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Nugon

    #102676812
    Munzir Almusawa
    Participant

    alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    cinta dan rindu yg berpadu pada Dzat Allah swt semoga selalu berpijar pada anda dengan cahaya kebahagiaan

    cara yg benar adalah merentangkannya sejajar dg paha dan pinggir badan, tidak menyatukannya seperti huruf V, tapi seperti II, demikian sanad kita kepada Rasul saw dari Guru Mulia kita.

    merapatkan paha dan kaki saat sujud adalah sunnah bagi kaum wanita, demikian dalam madzhab syafii.

    mengenai buku tsb tentunya sudah banyak di semua toko buku, judulnya adalah : tuntunan shalat.

    atau boleh juga anda berujuk pada kita AL Adzkar, oleh Hujjatrul Islam Al Imam Nawawi, ia sudah diterjemahkan.

    mengenai buku sayid sabiq, terus terang saja saya kurang simpati, karena penulsi buku itu tak bermadzhab, dan ia tak mempunyai sanad pula, hanya menukil nukil dari buku buku lain lalu berfatwa, maka salahnya akan lebih banyak dari betulnya, karena ia tak punya guru pembimbing.

    mengenai hadir di majelis yg membahasnya, saran saya lebih baik anda hadir di majelis guru guru yg jelas madzhabnya, madzhab apapun dia, dan jika mungkin maka carilah yg betul betul ulama, shalih dan bertakwa serta mengamalkan ilmunya, sehingga ada puas memanut gerak geriknya yg hampir tak pernah ada yg tak menyimpang dari sunnah dan sanad guru guru kepada Rasul saw.

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

    Wallahu a\’lam

    #102676870
    Nugroho Laison
    Participant

    As Salamu \’alaikum wr. wb. Habib Munzir yg saya hormati dan Insya Allah dimuliakan serta selalu dirahmati oleh Allah swt.

    Mohon maaf mengganggu kembali Habib Munzir. Masih ada beragam pertanyaan dari kami yang awam dlm masalah agama, khususnya muallaf, terkait masalah Sholat dan Thoharoh.

    Karena dari berbagai perkumpulan terlebih komunitas muallaf dan pengajian kantoran…banyak yg menyodorkan beragam pendapat beserta perbedaannya (khilafiyah)…dgn membawa dalil serta madzhab masing-masing. Ada yg memakai madzhab Syafi\’i; ada yg membawa madzhab Hambali, terutama dari rekan-rekan di komunitas salafi; atau madzhab lainnya.

    Ini membuat kami yg awam, terlebih muallaf bingung. Mohon bantuan pengajarannya, terutama dgn madzhab Syafi\’i dan dalil Al-Quran, Hadits Rasulullah saw, serta pernyataan para imam mujtahid.

    Sehingga kami menjadi lebih bijak menyikapinya, dapat memilih yg terkuat, terlebih yg merupakan mayoritas pegangan masyarakat kita – Madzhab Syafi\’i.

    Juga bisa membuat kita lebih bijak menyikapi perbedaan, dan bisa memberitahu yg pendapatnya lemah atau bahkan menegur yg pendapatnya salah.

    Berikut ini daftar pertanyaannya:

    [1] Ada pengajar yg mengatakan bahwa cara sholat sunnah yg afdhol memang per dua roka\’at lalu salam. Namun ada juga praktek yg disambung (washol) utk sholat witir 3 roka\’at atau qiyamul-lail 4 roka\’at. Bagaimana menurut Habib Munzir, apa benar pernyataan seperti ini? Bagaimana kajian terkait dalam tiap madzhab, terutama madzhab Syafi\’i?

    Kemudian untuk sholat witir washol (langsung) 3 roka\’at atau qiyamul-lail yg langsung 4 roka\’at tsb apa harus pakai tasyahud awal? Bagaimana dalil haditsnya? Bagaimana kajian dalam 4 madzhab, terutama madzhab mayoritas di masyarakat kita, yaitu Madzhab Syafi\’i?

    Karena ada rekan dari komunitas salafi menyatakan menurut beberapa ulama madzhab Hambali, sholat sunnah yg lebih dari dua roka\’at harus pakai tasyahud awal (tapi beliau tdk menyatakan apakah mustahab/sunnah, atau wajib).

    [2] Bagaimana cara masbuk mengikuti sholat, terutama cara duduk ketika imam sudah tasyahud akhir, sedang kita masih kurang roka\’atnya? Apakah harus mengikuti persis imam duduk tawaruk sebgm kebiasaan di tasyahud akhir? Atau kita duduk dgn gaya iftirosy sebgm kebiasaan di tasyahud awal? Baik untuk sholat yg hanya 2 roka\’at atau pun sholat yg di atas 2 roka\’at (3 atau 4 roka\’at).

    Karena saya biasanya duduk iftirosy. Tetapi teman memakai duduk tawarruk dgn landasan hadits sholat makmum harus mengikuti imam, apa pun gerakan dan caranya.

    Ada juga yg menyatakan kalau sholat subuh, makmum yg telat memakai gaya duduk iftirosy, begitu pula utk sholat non-shubuh yg jumlah ketinggalan roka\’atnya kurang dari 2 roka\’at; tetapi kalau sholat non-subuh dan jumlah ketinggalan roka\’atnya lebih atau sama dari 2 roka\’at, ya makmum mengikuti gaya duduk tawarruk.

    Saya benar-benar bingung, mohon penjelasan dan dalilnya menurut 4 madzhab, terutama madzhab mayoritas di masyarakat kita – madzhab Syafi\’i.

    [3] Apakah ada madzhab terutama dlm 4 madzhab utama, yg menyatakan jikalau sholawat kepada Nabi Muhammad saw dlm tasyahud bukan merupakan rukun sholat?

    Karena saya membaca sebuah buku cara belajar sholat khusyuk, saya mendapati kesimpulan bahwa sholat yg ringkas cukup menjalankan rukunnya saja, dan di daftar rukunnya tdk terdapat lafadz sholawat kpd Nabi Muhammad saw.

    Sedang Madzhab Syafi\’i yg kita pakai jelas menegaskan bahwa sholawat kpd Nabi Muhammad saw adalah Rukun Sholat.

    Kemudian, sholawat yg merupakan Rukun Sholat apakah sebatas sholawat kpd Nabi Muhammad saw saja, atau harus beserta Ahli/Keluarga beliau (Ahlul Bait ra)? Dan sholawat kpd Nabi Ibrahim serta keluarganya apakah Sunnah atau Rukun Sholat juga?

    [4] Bagaimana cara meletakkan tangan dan memberi isyarat dgn telunjuk dalam tasyahud menurut madzhab yg 4, terutama Madzhab Syafi\’i?

    Apakah pd saat meletakkan tangan di paha sebelum memberi isyarat ketika bersyahadat, kedua telapak tangan dihamparkan/letakkan di paha tanpa digenggam; atau tangan kanan sudah pd posisi menggenggam?

    Lalu pd saat membaca bersyahadat, telunjuk memberi isyarat. Apakah ditegakkan/diluruskan terus sampai mengucap salam? Atau setelah bersyahadat digenggam kembali, atau bahkan dihamparkan kembali telapak tangan kanannya?

    Atau digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri? Atau digerak-gerakan seperti jari diputar searah jarum jam; atau jari diputar berlawanan arah jarum jam; atau digerak-gerakkan sedikit ke atas dan sedikit ke bawah?

    Khusus yg menggerak-gerakkan telunjuknya bahkan ada yg sudah melakukan begitu duduk tasyahud, dimulai dari membaca tahiyat. Juga ada rekan yg kendati tdk menggerak-gerakkan telunjuk, namun begitu duduk tasyahud, begitu membaca tahiyat, telunjuknya langsung ditegakkan/diluruskan sampai dgn salam.

    Masalah ini menjadi polemik, bahkan ada rekan yg sharing, di kampungnya hampir memicu perkelahian fisik karena masalah tata-cara tahiyat dan tasyahud ini.

    [5] Bagaimana cara bersedekap ketika sholat pada saat berdiri membaca Al-Fatihah dan surat/ayat Al-Quran lainnya?

    Apakah tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri (dgn jari telunjuk diluruskan), atau cukup meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saja? Bila meletakkan, apakah posisinya di bagian punggung telapak tangan atau di pergelangan?

    Bagaimana posisinya, di dada, di antara perut dan dada (ulu hati), atau di perut, atau di bagian pusar (agak ke bawah dari tengah perut)?

    Apakah setelah i\’tidal harus bersedekap lagi atau tidak? Atau malah bid\’ah jika bersedekap lagi pd saat i\’tidal?

    Ini jadi polemik juga, membingungkan pd saat kami mau mengajarkan sholat kpd sesama muallaf yg masih awam atau benar-benar baru masuk Islam.

    [6] Apakah makan daging unta membatalkan wudhu? Bagaimana kajian dan dalil Al-Quran serta Hadits Rasulullah saw utk masalah ini, terutama dari Madzhab Syafi\’i?

    Karena ada teman yang kebetulan mengaji di komunitas salafi, kata beliau, menurut madzhab Hambali makan daging unta membatalkan wudhu. Bila minum kaldu kuah unta, disarankan berwudhu lagi demi kehati-hatian. Saya pribadi belum pernah makan unta, tapi mendengar hal ini agak kaget juga.

    Padahal selama belajar fiqih selama sekolah dan dari pengajian dgn beberapa ustadz, yg Insya Allah biasanya berbasiskan madzhab fiqih, tdk dinyatakan bahwa makan daging tertentu, terutama unta, bisa membatalkan wudhu. Yg dinyatakan adalah lebih afdhol kalau berwudhu lagi, apalagi ditambah dgn bersiwak.

    [7] Dipandang dari segi hukum fiqih, Apakah berbicara pd saat wudhu membatalkan wudhu? Apakah berbicara pd saat mandi junub membatalkan mandi junub tsb, sehingga harus diulangi dari awal?

    Apakah bila pd saat mandi junub, di tengah-tengah mandi junub kita kentut, atau buang air kecil, atau buang air besar, dianggap membatalkan mandi junub dan harus mengulangi mandi junub dari awal.

    Karena ada rekan yg belajar di Ma\’had mengatakan bila berkata-kata pd saat wudhu tdk baik tapi tdk batal, namun bila berkata-kata pd saat mandi junub maka harus diulangi lagi (tdk dikatakan batal atau tidak). Dan bila di tengah-tengah mandi junub lalu keluar sesuatu dari 2 jalur, rekan tsb mengatakan mandi junubnya batal, harus diulangi dari awal lagi.

    Masih seputar mandi junub, apakah boleh mandi junub tanpa wudhu? Dan bila boleh melakukan mandi junub tanpa wudhu, apa wajib berwudhu lagi setelahnya jika kita ingin melakukan sholat atau memegang mushaf Al-Quran?

    Bila kita berwudhu lalu mandi junub, apa harus berwudhu lagi setelahnya? Bila tdk perlu, tetapi pd saat mengeringkan badan (handukan) tersentuh alat kelamin (ini sering terjadi), apa harus wudhu lagi?

    Saya pribadi kurang tahu bagaimana hukumnya utk 2 kasus terakhir, tetapi saya selalu setelah mandi junub, berwudhu lagi, buat hati-hati dan jaga-jaga, biar aman dan selamat.

    [8] Apakah bila kita telah kena wudhu, kemudian terkena benda najis, maka cukup membersihkan najis tsb, lalu tdk usah mengulangi wudhu, karena terkena najis tdk membatalkan wudhu, dgn dalil adanya hadits yg menceritakan praktek tsb oleh salah seorang sahabat? Ini penerangan rekan saya yg belajar di Ma\’had.

    Tetapi utk tayammum tdk ada dalilnya, sehingga lebih amannya bila setelah bertayammum terkena najis, maka dibersihkan, lalu bertayammum kembali.

    [9] Benarkah najis yg kering sendiri, dan menghilang bau, rasa, dan warnanya …sudah dianggap suci kembali? Apakah najis bisa dihilangkan tanpa air, misal dengan tissue, kain, yg penting kering, dan tdk ada bau serta warnanya.

    Karena di perkantoran atau apartemen, terlebih di luar negeri, tdk umum orang membersihkan kotoran dan najis dgn air, dan di beberapa tempat agak sulit mendapatkannya.

    Kemudian, masalah terkena anjing, juga babi. Apakah madzhab yg 4 (atau madzhab fiqih lain yg masih dlm koridor Sunni) mengharuskan membersihkan dgn 7 kali basuh di awali di sertu (diberi debu/tanah), atau hanya madzhab Syafi\’i? Bagaimana bila membersihkannya cukup dgn mencuci dgn sabun dsb, sampai hilang rasa, bau, dan warnanya, apakah memadai atau bisa ditoleransi? Bagaimana bila debu/tanah diganti dgn abu gosok?

    Ini pengalaman pribadi dan rekan-rekan muallaf, yg sulit mendapatkan debu/tanah, juga sulit menerangkan ke kerabat dan teman yg non-muslim ttg praktek tsb, apalagi jika kita menumpang tinggal di tempat mereka dlm waktu yg lama, termasuk di luar negeri.

    Dan di beberapa tempat, lebih mudah mencari abu gosok (baik murni mau pun yg sudah dicampuri bahan kimia pembersih sejenis sabun, pengkilap logam, dsb), bahkan dijual di toko-toko, lebih mudah dicari ketimbang mencari debu/tanah.

    [10] Menurut rekan di Ma\’had yg mengajari kami di tempat pengajian muallaf, diterangkan bahwa air suci mensucikan bila tergenang, harus bebas dari rasa, bau, dan warna benda najis, serta menurut madzhab syafi\’i harus 2 qullah atau lebih. Bila tdk bisa memenuhi standar maka tdk boleh berwudhu dgn air tsb.

    Sedangkan air yg mengalir, bila warna berubah, tetapi rasa dan bau tdk sama dgn benda najis, maka dibolehkan berwudhu dgn air tsb, sebab dianggap masih suci dan mensucikan.

    Benarkah demikian Habib Munzir? Bagaimana dalilnya? Saya mempertanyakan ini untuk klarifikasi, karena bingungnya kami mendapatkan pengajaran dari rekan-rekan di Ma\’had yg bisa mengaji dan kuliah Ushuluddin serta Syariah…mereka lebih mumpuni menurut kacamata kami, tetapi kadang kami mendapatkan apa yg mereka ajarkan berbeda dgn yg kami dapati dahulu sewaktu sekolah, atau mengaji di kampung, bahkan termasuk belajar di sekolah Muhammadiyah.

    [11] Maaf mengulangi pertanyaan yg lalu, apakah salah, bahkan berdosa atau bid\’ah utk terbalik menyebutkan urutan kata pd dzikir dan bacaan yg sunnah dlm sholat? Atau membaca dgn lafal arab lain yg maknanya sama tetapi lafal itu tdk ada dlm Hadits Nabi Muhammad saw?

    Misal membaca Robbighfirlii warhamnii wajburnii dst…menjadi Robbighfirlii wajburnii warhamnii…

    Atau semisal Doa Qunut yg panjang, kadang terbalik urutannya, atau berbeda lafal arabnya, seperti Laa yadzilluu man walait, wa laa ya\’izzu man \’adait…suka tertukar urutannya kedua kalimat ini.

    Karena utk kami yg muallaf, sering terjadi seperti itu, dan kesulitan menghafalkan dgn baik urutan doanya.

    Kami khawatir sekali dgn fenomena ini, dan sering terjadi pd kami.

    [12] Saya pribadi berharap dari Majelis Rasulullah ada buku, video-audio panduan Rukun Iman serta Rukun Islam, terutama Thoharoh dan Sholat, yg mudah dipelajari, sistematis, ada diagram sistematika penjelasan yg gampang dicerna (bukan berupa tulisan teks belaka), serta beberapa pertanyaan contoh kasus, sehingga gampang dicerna bagi muallaf dan orang awam seperti kami.

    Sejujurnya Ini sulit kami temukan di pasaran, bahkan kebanyakan buku di pasaran membingungkan kami dgn menyodorkan perbedaan sambil mendebat pendapat yg lain… Ketimbang menjelaskan persamaan dan perbedaan, dan penjelasan daerah/madzhab yg memakai metode tsb, sehingga kami bisa menyesuaikan diri di komunitas tsb; atau menjelaskan di atas sebagaimana harapan kami yg awam dan muallaf.

    Demikian dari saya, mohon maaf sedalam-dalamnya jika mengganggu atau kurang berkenan di hati Habib Munzir. Sekali lagi mohon maaf sedalam-dalamnya, semoga Habib berkenan memberikan pencerahan kpd kami.

    Semoga Allah selalu memberikan taufiq wal hidayah, dan balasan yg berlipat ganda atas ilmu yg Habib ajarkan kpd kami, dan atas ilmu yg selalu Habib amalkan. Aamiin.

    Was Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Nugroho Laison (nugon)

    #102676900
    Munzir Almusawa
    Participant

    alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    cinta dan rindu yg berpadu pada Dzat Allah swt semoga selalu berpijar pada anda dengan cahaya kebahagiaan

    saudaraku yg kumuliakan,
    beribu maaf saya sangat sibuk sekali karena quota saya buka 40 pertanyaan kemarin, dan hari ini sudah dibatasi, dikarenakan esok saya akan menghadap guru saya di Tarim, yaman, mungkin seminggu, maka forum akan tersendat.

    dan sayapun risau terburu buru dalam menjawab maka saya tak bisa memperjelas, semua pertanyaan anda dan segala permasalahan ini telah dijelaskan pada kitab Almajmu\’ oleh Imam Nawawi, yaitu ikhtilaf madzhab dalam segala gerak gerik shalat dan dalam segala hukum syariah beserta pembahasan dalil2nya, ia adalah kitab yg menjadi induk bagi yg ingin penjelasan dalil seluruh madzhab, ia setebal 20 jilid,dan setiap jilidnya berkisar 350 halaman, namun ia belum diterjemahkan, dan telah ada softwarenya di portabel saya ini, namun waktu saya terbatas sekali untuk memeriksanya .

    pertanyaan anda saya rujukkan pada teman saya Ustaz Khairullah dan Admin II akan menampilkannya Insya Allah.

    demikian saudaraku.

    wallahu a\’lam

    #102678159
    Nugroho Laison
    Participant

    As Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Mohon kpd Admin atau Habib Munzir agar posting ini tdk usah ditampilkan agar tdk mengurangi Quota sehingga bisa digunakan oleh yg lain.

    Sekiranya Habib Munzir atau Admin yg lain nantinya sempat atau ada waktu luang, pertanyaan ane yg sebelumnya mohon dibantu dijawab, ini saja harapan ane.

    Sehingga ane dapat menambah ilmu dan berbagi ke rekan muallaf yg lain.

    Wassalam,

    Nugroho Laison (Nugon)

    #102678633
    Munzir Almusawa
    Participant

    alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Ketenangan dan kesejukan hati semoga selalu menerangi hari hari anda

    saudaraku yg kumuliakan,
    Berikut ini daftar pertanyaannya:
    1. Saudaraku yg kumuliakan,
    Cara shalat sunnah yg afdhal adalah 2 rakaat 2 rakaat, demikian dalam madzhab syafii dan demikian yg paling shahih, namun adapula riwayat lainnya menyambung lebih dari dua rakaat, namun hanya dengan satu tahiyyat dan salam, dan tak teriwayatkan pada hadits shahih bahwa Rasul saw menyambung shalat sunnah lebih dari dua rakaat dengan dua tahiyyat.
    Dalam madzhab syafii dan berdasarkan hadits shahih Rasul saw tak pernah melakukan shalat sunnah lebih dari dua rakaat dengan dua tahiyyat, betul dalam madzhab hambali demikian, namun landasannya adalah hadits dhoif

    2. Masbuk duduk dengan duduk dg posisi duduk tahiyyat awwal, sebab makmum yg ini akan berdiri lagi, ia tak mesti mengikuti imam dalam hal ini, karena ia tak ikut imam untuk bersalam, namun boleh pula duduk dengan posisi tahiyyat akhir, namun itu akan menyulitkannya untuk berdiri, dan dalam hal ini tak ada perbedaan antara shalat subuh dan lainnya
    dalam hal ini adalah ijtihad para Imam dan bukan berlandaskan dalil hadits.

    3. Shalawat pada nabi saw merupakan rukun shalat pada seluruh madzhab, namun shalawat pada keluarga Nabi saw sunnah pada madzhab syafiii, dan berbeda beda pada masing masing madzhab

    4. Mengenai masalah menggerakkan jari dalam tasyahhud ini tidak ada kewajiban berbuat demikian, dan hal itu sunnah, bila tak dilakukan maka tak membatalkan shalat,

    Berikhtilaf para Imam Madzhab dalam hal ini :
    Menunjukkan jari telunjuk saat tahiyyat merupakan sunnah Rasul saw, demikian diriwayatkan dalam shahih Muslim, lalu dijelaskan bahwa khilaf antara empat Imam
    Madzhab mengenai caranya sbg br :

    Menurut Imam Malik, jari telunjuk digerakkan kekiri dan kekanan.

    Menurut Imam Syafii jari telunjuk menunjuk saat ucapan ILLALLAH, dan tidak menggerak2kannya

    Menurut Imam Hanafi mengangkat jari telunjuk saat ucapan LAA ILAAHA, lalu menjatuhkannya sejajar lurus saat ucapan ILLALLAH

    Menurut Imam Hanbali bahwa telunjuk menunjuk setiap mengucapkan lafadz Allah. (Syarh Ibanatul Ahkam hal 435/436)

    Kedua riwayat, yaitu menggerak2kan jari telunjuk dan tak menggerak2kannya merupakan kabar yg shahih menurut Imam Baihaqi, namun tidak menggerak2kannya merupakan hal yg lebih mantap utk khusyu. (Syarh Imam Al Baijuri Ahkam shalat hal 255).
    Menggerakkan jari jari tidak membatalkan shalat, demikian ittifaq 4 madzhab.

    5. Sedekap ini bukan merupakan rukun shalat, bila tak dikerjakan tak membatalkan shalat, yg merupakan rukun adalah berdiri dalam shalat wajib bagi yg mampu dan membaca Fatihah padanya, dan berkata Imam Syafii bahwa yg paling shahih adalah menaruh tangan kiri diatas pusar, dan tangan kanan diatasnya, bukan kekiri atau kekanan

    6. Rasul saw berwudhu setelah makan daging onta, dan dalam madzhab syafii hal itu tak membatalkan shalat namun sunnah berwudhu.

    7. berbicara saat berwudhu tak membatalkan wudhu, demikian pula saat mandi Junub, namun sebagian ulama syafii mengatakannya makruh,
    Mengenai buang air kecil atau besar atau keluar angin dari dubur saat mandi junub, hal itu tak membatalkan mandi junub, tapi tentunya ia mesti berwudhu jika akan melakukan shalat
    Mandi junub boleh tanpa wudhu.
    Mandi junub sudah mencakup wudhu, anda mandi junub tanpa wudhu maka boleh langsung shalat, asal tak berbuat hal hal yg membatalkan wudhu, seperti hal hal yg ditanyakan diatas, juga jangan menyentuh qubul dan dubur dengan telapak tangan,
    Bagaimana cara mandi junub tanpa menyentuh qubul dan dubur?, caranya anda membasuh tubuh bagian depan 3x, sentuh qubul dan dubur dengan kedua telapak tangan tak apa2, jika sudah merata, baru membasuh tubuh bagian kanan 3x, nah.. jika sudah membasuh yg ketiga kalinya ini maka jangan lagi menyentuh qubul dan dubur dengan tangan kanan,
    Tangan kiri masih boleh menyentuh qubul dan dubur karena ia belum anda basuh tuk junub, lalu setelah itu anda membasuh bagian 3 kiri 3X, dan jangan menyentuh qubul dan dubur lagi dengan telapak tangan kirinya, jika ia menyentuhnya, maka ia mesti berwudhu jika akan shalat dll.
    8. Najis tidak membatalkan wudhu, demikian dalam madzhab syafii

    tidak ada dalilnya pula yg mengatakan menyentuh najis harus bertayammum lagi, dan dalam madzhab syafii bahwa yg membatalkan tayammum adalah hal hal yg membatalkan wudhu.

    9. Najis yg kering, suci hukumnya jika bersentuhan, dg kaidah fiqih yg masyhur, najis kering bersentuh dg yg kering, maka suci tanpa ada ikhtilaf lagi.
    Beda antara kering.., dengan kering sendiri yg berawal basah, jika berawal basah maka mesti disucikan dengan air,
    Mengenai istinja, maka hukumnya berbeda, sah dengan tisu, namun dg syarat najis itu tak berpindah, misalnya air seni menetes kepaha, maka tak bisa disucikan dg tisu, namun mesti dibasuh, jika ia hanya pada ujung penis maka bisa disucikan dg tisu, demikian pula buang air besar, jika masih di bibir dubur maka bisa disucikan dg tisu, jika terkena ke paha atau anggota tubuh lainnya maka tak bisa disucikan dg tisu,
    masalah terkena anjing, juga babi, dalam madzhab syafii mesti disucikan dg air lumpur 7X, dalam madzhab hanafi anjing tidak najis, namun babi merupakan jumhur seluruh madzhab atas najisnya, dalam madzhab syafii tidak suci kecuali dengan air dan debu, atau sebaiknya dg air lumpur, abu gosok tidak termasukm mensucikan kecuali dari tanah dan air.
    10. dalam madzhab syafii boleh berwudhu dengan air kurang dari dua kulak, namun tak boleh ada najisnya, dan dua kulak adalah 60cm3 (pxlxt)
    Air yg mengalir dan padanya terdapat bangkai, maka yg suci adalah yg dibelakang bangkai, sebab air mengalir mesti mendahului bangkai, maka yg didepannya lah yg najis, dan yg dibelakangnya yg suci,

    11., mengenai bacaan shalat, selama bukan rukun, yaitu selain fatihah dan bacaan tahiyyat, maka ia boleh tak dibaca, atau dibalik, hal itu tak membatalkan saat, dan tidak berdosa
    Maaf telambat menjawab.., monggo ditanyakan lagi jika anda terbentur masalah, saya siap insya Allah.,

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

    Wallahu a\’lam

    #102679551
    Nugroho Laison
    Participant

    As Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Yg saya hormati Habib Munzir yg Insya Allah senantiasa dirahmati dan diampuni oleh Allah swt.

    Sungguh saya mendapat banyak pencerahan dari jawaban Habib.

    Namun izinkan saya menanyakan kembali beberapa hal yg masih menjadi perbincangan kami yg awam dan muallaf ini, baik hal baru atau pun hal lama utk penegasan kembali, dari kelanjutan topik sholat dan thoharoh dari berbagai madzhab terutama madzhab Syafi\’i juga perbandingannya dgn madzhab lain (madzhab yg 4).

    Banyak pertanyaan muncul sebagai reaksi dari diskusi yg telah lalu, sekaligus juga karena membaca terjemahan beberapa buku yg mengklaim caranya sebagai cara sholat Nabi…yg banyak berasal dari Arab Saudi, Qotar. Juga reaksi dari sharing membaca buku dan hasil halaqoh.

    Berikut ini pertanyaan-pertanyaan susulan dari kami:

    [b]Yg pertama[/b], Pd akhir sholat… apakah kita mengucapkan salam baru menengok ke kanan, dan mengucap salam baru tengok ke kiri….atau kita mengucapkan salam sambil sekaligus menengok?

    [b]Yg kedua[/b] , saya hanya ingin konfirmasi ulang bahwa sholawat kpd Nabi Muhammad saw beserta keluarga Beliau dlm tahiyat adalah wajib hukumnya menurut Madzhab Syafi\’i. Apakah benar begitu Habib Munzir?

    [b]Yg ketiga[/b], apakah diperbolehkan merubah atau meniadakan dhomir (kata ganti orang) dlm bacaan sholat baik yg rukun (wajib) maupun yg sunnah? Misal, yg lazim pd doa qunut, Alloohummahdinii diganti jadi Alloohummahdinaa? Atau As Salaamu \’alaika ayyuhan-Nabiy diganti menjadi As Salaamu \’alan-Nabiy? Bagaimana landasan dalil/ijtihadnya?

    [b]Yg keempat[/b], benarkah ada madzhab yg membagi klasifikasi kegiatan sholat bukan hanya dalam 2 kategori: Rukun dan Sunnah…tetapi dibagi menjadi 3 kategori: Rukun, Wajib, dan Sunnah? Lalu apa bedanya Wajib dan Sunnah?

    [b]Yg kelima[/b], gerakan jari pd tasyahud yg difatwakan oleh para Imam 4 madzhab hanyalah menggerakan ke kanan & ke kiri; ke atas dan ke bawah; atau menunjuk dan meletakkan kembali.

    Utk yg gerakan telunjuknya berupa lingkaran kecil (berputar-putar) tdk termasuk fatwa para Imam 4 madzhab?

    Posisi tangan kanan sebelum menggerakan telunjuk apakah dihamparkan sebagaimana posisi tangan kiri, atau digenggam?

    Ini pertanyaan susulan dari jawaban Habib sbb:
    ===
    [i]Berikhtilaf para Imam Madzhab dalam hal ini :
    Menunjukkan jari telunjuk saat tahiyyat merupakan sunnah Rasul saw, demikian diriwayatkan dalam shahih Muslim, lalu dijelaskan bahwa khilaf antara empat Imam
    Madzhab mengenai caranya sbg br :

    Menurut Imam Malik, jari telunjuk digerakkan kekiri dan kekanan.

    Menurut Imam Syafii jari telunjuk menunjuk saat ucapan ILLALLAH, dan tidak menggerak2kannya

    Menurut Imam Hanafi mengangkat jari telunjuk saat ucapan LAA ILAAHA, lalu menjatuhkannya sejajar lurus saat ucapan ILLALLAH

    Menurut Imam Hanbali bahwa telunjuk menunjuk setiap mengucapkan lafadz Allah. (Syarh Ibanatul Ahkam hal 435/436)

    Kedua riwayat, yaitu menggerak2kan jari telunjuk dan tak menggerak2kannya merupakan kabar yg shahih menurut Imam Baihaqi, namun tidak menggerak2kannya merupakan hal yg lebih mantap utk khusyu. (Syarh Imam Al Baijuri Ahkam shalat hal 255).
    Menggerakkan jari jari tidak membatalkan shalat, demikian ittifaq 4 madzhab.
    [/i]===

    [b]Yg keenam[/b], mengenai posisi sedekap, kami sudah paham letak posisi tangan yg paling afdhol, yaitu di antara pusar dan dada. Namun ada pertanyaan susulan mengenai cara menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri.

    Apakah cukup diletakkan,atau tangan kanan menggenggam/memegang tangan kiri? Bila menggenggam/memegang, apakah telunjuk tangan kanan diluruskan, atau ikut menggenggam, atau ada jari lain yg menemani telunjuk utk diluruskan?

    Berikut jawaban Habib terdahulu:
    ===
    [i]Sedekap ini bukan merupakan rukun shalat, bila tak dikerjakan tak membatalkan shalat, yg merupakan rukun adalah berdiri dalam shalat wajib bagi yg mampu dan membaca Fatihah padanya, dan berkata Imam Syafii bahwa yg paling shahih adalah menaruh tangan kiri diatas pusar, dan tangan kanan diatasnya, bukan kekiri atau kekanan
    [/i]===

    Yg ketujuh, ttg najis, ada beberapa hal yg kami masih bingung.

    Bila awalnya najis basah (air kencing) kering dng sendirinya, maka apakah tanah/lantai/benda yg bekas terkena kencing tersebut menjadi suci seiring dgn keringnya air kencing tsb?

    Bila najis basah di lantai/benda dibersihkan dgn kain, tissue, atau kertas..dibersihkan (dilap/tempel utk menyerap najis basah) sampai kering, dan hilang bau, warnanya… apakah dng usaha itu bisa dianggap lantai/benda tadi menjadi suci? Apakah memadai usaha penghilangan najis tsb? Karena kami sering mengalami kasus seperti ini, di tempat yg dilarang menuangkan air, membuat lantai basah, seperti di apartemen, hotel, dsb.

    Kaidah apa yg digunakan utk kasus orang yg sudah berwudhu/tayammum tdk perlu wudhu/tayammum lagi bila terkena najis? Karena dari beberapa pengajian, secara umum kami diajarkan bahwa orang bersuci (wudhu/tayammum) bila terkena najis, maka dianggap batal wudhu/tayammumnya, dan harus diulang.

    Apa Kriteria bentuk atau karakter tanah/debu yg bisa dipakai utk tayammum, dan juga utk menghilangkan najis mugholladzhoh (terkena anjing misalnya)? Apakah harus tanah dan debu serta pasir? Bagaimana dgn variantnya, seperti kerikil, abu, dsb?

    Kemudian ada yg memberitahu bahwa tanah/debu/pasir waqof (misal waqof utk masjid) tdk boleh utk tayammum atau bersuci, atau utk menghilangkan najis, Apa benar begitu?

    Lalu terkait pertanyaan yg lampau, karena kami para muallaf sering benar-benar mengalami kesulitan utk mencari tanah/debu/pasir guna menghilangkan najis mugholladzhoh menurut Madzhab Syafi\’i, terutama bersinggungan dgn anjing, dan alat masak serta alat makan bekas masakan/makanan babi…apakah cukup bila kami cuci berulang kali hingga bersih rasa, warna, bau najis tsb?

    Habib juga menyatakan bahwa Madzhab Hanafi tdk menganggap anjing najis, dan ada rekan yg menyatakan pd Madzhab Hambali juga katanya tdk menganggap babi najis (atau mungkin juga anjing dianggap tdk najis). Apa betul begitu?

    Utk kasus kami ini bagaimana jalan keluarnya, dan apakah ada keringanan/rukhshoh? Atau bisa berpindah madzhab sementara utk kasus najis mugholladzhoh saja? Seperti beberapa rekan menyatakan pd kasus naik Haji, dimana penganut madzhab Syafi\’i diberikan keringanan utk memakai fatwa madzhab lain yg menyatakan tdk batal bersentuhan/bersinggungan lawan jenis yg bukan mahromnya adalah ibadah haji, terutama pd thowaf.

    Karena seperti yg saya pernah ceritakan ke Habib, ditempat yg mayoritas non-muslim (cth pengalaman saya, di apartemen, atau pengalaman rekan/saudara saya di negara non-muslim seperti Hongkong, Cina, dsb)… sering batu, kerikil, abu gosok (baik dari jenis alami seperti dari akibat letusan gunung berapi, atau pun hasil dari pengolahan pabrik), lebih mudah didapatkan ketimbang tanah/pasir/debu…yg menurut madzhab Syafi\’i adalah keharusan sbg alat penyuci (utk sertu) dlm kasus najis Mugholladzhoh.

    Berikut ini jawaban Habib terdahulu:
    ====
    [i]8. Najis tidak membatalkan wudhu, demikian dalam madzhab syafii

    tidak ada dalilnya pula yg mengatakan menyentuh najis harus bertayammum lagi, dan dalam madzhab syafii bahwa yg membatalkan tayammum adalah hal hal yg membatalkan wudhu.

    9. Najis yg kering, suci hukumnya jika bersentuhan, dg kaidah fiqih yg masyhur, najis kering bersentuh dg yg kering, maka suci tanpa ada ikhtilaf lagi.
    Beda antara kering.., dengan kering sendiri yg berawal basah, jika berawal basah maka mesti disucikan dengan air,
    Mengenai istinja, maka hukumnya berbeda, sah dengan tisu, namun dg syarat najis itu tak berpindah, misalnya air seni menetes kepaha, maka tak bisa disucikan dg tisu, namun mesti dibasuh, jika ia hanya pada ujung penis maka bisa disucikan dg tisu, demikian pula buang air besar, jika masih di bibir dubur maka bisa disucikan dg tisu, jika terkena ke paha atau anggota tubuh lainnya maka tak bisa disucikan dg tisu,
    masalah terkena anjing, juga babi, dalam madzhab syafii mesti disucikan dg air lumpur 7X, dalam madzhab hanafi anjing tidak najis, namun babi merupakan jumhur seluruh madzhab atas najisnya, dalam madzhab syafii tidak suci kecuali dengan air dan debu, atau sebaiknya dg air lumpur, abu gosok tidak termasukm mensucikan kecuali dari tanah dan air.
    [/i]====

    Demikian dari saya, Mohon maaf bila banyak pertanyaan ini kurang berkenan dan merepotkan Habib.

    Semoga Allah selalu merahmati dan mengampuni Habib Munzir, dan melimpahkan segenap balasan berlimpah atas segala amal Habib, dan menjadikan segala amal dan ilmu pengajaran dari Habib bermanfaat selalu kpd kami hingga Hari Akhir kelak. Aamiin.

    Was Salamu \’alaikum wr. wb.,

    Nugroho Laison (nugon)

    #102679592
    Munzir Almusawa
    Participant

    Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

    Cahaya Rahmat Nya swt semoga selalu menerangi hari hari anda dengan kebahagiaan,

    Saudaraku yg kumuliakan,
    1. Jumhur ulama syafii mengatakan bahwa ucapan \"Assalaamualaikum\" adalah pada posisi wajah ke kiblat, lalu \"warahmatullah\", adalah menghadap ke kanan, demikian wajah kembali ke kiblat lalu mengucap yg sama.

    2. Shalawat pada Nabi saw wajib di tahiyyat akhir, demikian dalam Madzhab Syafii, Hambali dan Maliki, dan menurut mereka jika tidak maka batal shalatnya (Syarah nawawi ala shahih Muslim).

    mengenai shalawat pada keluarga Nabi saw ikhtilaf dalam madzhah syafii, sebagian mengelompokkannya dalam rukun shalat maka wajib, sebagian mengatakannya sunnah (syarh Alwajiiz dan Raudhatutthalibin)

    3. mengenai Qunut maka keduanya teriwayatkan, yaitu dengan Jamak dan dengan tunggal,

    mengenai salam pada Nabi saw keduanya teriwayatkan, sebagian sahabat mengubah salam pada nabi saw setelah wafat beliau saw, yaitu : assalamualannabiyyi warahmatullahi wabarakatuh,

    namun sebagian sahabat lain tetap bertahan, mereka berlandaskan hadits riwayat shahih Bukhari Rasul saw bersabda : Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku shalat. dan Imam SYafii berpegang pada pendapat ini.

    4. sepanjang yg saya ketahui bahwa itu ada pada haji saja, sedangkan dalam shalat adalah yg rukun dan yg sunnah.

    hukum dalam islam terbagi 5 :
    wajib : jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan mendapat dosa

    sunnah : jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa

    Mubah : jika dikerjakan tak dapat pahala, jika ditinggalkan tidak berdosa

    makruh : jika ditinggalkan mendapat pahala, jika dilakukan tidak berdosa

    haram : jika dilakukan terkena dosa, jika ditinggalkan mendapat pahala.

    5. ada pendapat pada fuqaha diluar madzhab syafii yg mengatakan gerakan jari telunjuk adalah menulis lafadh Allah, namun hal itu ada juga dilakukan oleh para Kyai dari madzhab syafii

    ikhtilaf ulama dalam posisi jari jari kanan saat tasyahhud, dan pendapat yg lebih kuat dalam madzhab syafii adalah menggenggamnya, hingga saat mengangkat telunjuk maka jari jari lain tidak banyak bergerak lagi.

    6. posisi tangan menggenggam punggung tangan kiri, dengan Ibu Jari diatas dan keempat jari lainnya dibawah dalam posisi menggenggam tangan kiri, demikian dalam madzhab syafii

    7. Najis yg kering tetap najis, namun tidak menajiskan benda lainnya yg menyentuhnya jika sama sama kering, misal najis air seni dilantai sudah kering, lalu kita duduk diatasnya atau menginjaknya, selama kulit kita dan baju kita kering dan lantai itu kering maka pakaian/kulit kita tetap suci, demikian dalam pendapat seluruh madzhab.

    najis tidak menjadi suci kecuali dengan dialirkan padanya air, demikian pendapat terkuat dalam madzhab syafii, maka sebaiknya tetap menggunakan alas kaki jika kaki basah, dan shalat diatas sajadah agar selalu terjaga dari kawasan yg bernajis, namun selama ia kering maka tak menajiskan sebagaimana penjelasan saya diatas.

    karena hal itu bukan hal yg membatalkan wudhu, tidak ada Nash hadits yg menjelaskan Rasul saw berwudhu setelah menyentuh najis, karena hadits shahih merujuk hanya pada 4 hal yg membatalkan wudhu, yaitu
    1. bersentuhan pria dan wanita yg keduanya sudah dewasa dan bukan muhrim,
    2. telapak tangan menyentuh Qubul atau dubur manusia (jika dubur binatang makla tidak, jika menyentuh qubul dan dubur manusia bukan dg telapak tangan maka tidak batal.
    3. haidh atau nifas
    4. hilangnya akal dengan tidur, pingsan atau lainnya
    demikian dalam madzhab syafii.

    imam Hambali berlandaskan bahwa sentuhan pria dan wanita non muhrim yg dewasa tidak membatalkan wudhu, namun landasan Imam Hambali untuk hal ini adalah hadits dhoif.

    debu untuk tayammum dan penghilang najis mughaladhah adalah debu yg berasal dari tanah atau batu, tidak sah dari kayu atau arang atau lainnya seperti tulang dll.

    betul, tanah waqaf tak dibenarkan untuk bertayammum atau diambil.

    jika sentuhan kering dg kering maka tidak menajiskan,

    mengenai debu, mesti ada dimanapun., karpet, tembok, mestilah ada debu, wakau tak terlihat mata, maka dalam tayammum hal ini bisa diperbuat, namun mengenai najis mughaladhah maka tak bisa kecuali dg tanah, maka hendaknya dirumah rumah muslimin menyimpan sedikit tanah untuk menyucikan najis besar, yaitu anjing dan babi, dan tidak sah dg air semata, demikian dalam madzhab syafii

    babi Najis pada seluruh madzhab, mengenai anjing maka banyak perbedaan pendapat diluar madzhab syafii dan saya belum sempat menelaahnya kembali.

    mengenai rukhshah, saran saya begini, anda bermadzhablah dengan madzhab mayoritas, jika syafii maka bertahanlah pada syafii, jika mayoritas madzhab lain maka jangan bersikeras pada madzhab syafii, ikutilah madzhab mayoritas di wilayah setempat, karena kesemuanya adalah benar, kesemuanya adalah sunnah, namun madzhab adalah demi teraturnya perbedaan yg ada.

    Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,

    Wallahu a\’lam

Viewing 10 posts - 1 through 10 (of 10 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Umum’ is closed to new topics and replies.