Home › Forums › Forum Masalah Umum › Tahlilan Bid,ah?
- This topic has 6 replies, 3 voices, and was last updated 17 years, 4 months ago by Munzir Almusawa.
-
AuthorPosts
-
May 4, 2007 at 12:05 pm #75232895sudartoParticipant
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Semoga Habib dan keluarga selalu sehat wal afiat dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
Ya, Habib saya mau tanya tentang Tahlilan.mendoakan khusus kepada yang telah meninggal dunia dengan bacaan sholawat Nabi,yasin,tahlil,
tahmid dan takbir,ada yang berkata itu Bid,ah.Mohon penjelasan dari Habib.Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
May 5, 2007 at 1:05 am #75232923Munzir AlmusawaParticipantAlaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan rahmat Nya swt semoga selalu tercurah pada anda dan keluarga,
saudaraku yg kumuliakan,
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : \"DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur\’an untuk mendoakan orang yg telah wafat : \"WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN\", (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).demikian saudaraku yg kumuliakan,
Walillahittaufiq
May 6, 2007 at 10:05 am #75232943khunthaiParticipantAssalamu\’alaikum wrwb.
Semoga kesehatan dan kesejahteraan selalu terlimpah kepada habib sekeluarga.Pak Habib.. mohon ijin untuk ikut menyebarluaskan/mengutip jawaban habib ini di web kami. Tentu saja akan kami cantumkan sumber resminya dari halaman web majelis rasulullah ini.
Terima kasih atas izinnya pak Habib.. semoga dakwah majelis rasulullah semakin berjaya sampai akhir zaman nanti. Amien.
May 6, 2007 at 6:05 pm #75232954Munzir AlmusawaParticipantAlaikumsalam warahmatulllah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan keluhuran semoga selalu tercurah pada anda dan keluarga,
saudaraku yg kumuliakan,
terimakasih dan beribu jazakumullah khair pada anda yg telah rela turut berperan serta menyebarluaskan dakwah yg kami sampaikan didunia maya ini.saudaraku, semoga dalam kebahagiaan selalu,
wassalam
May 9, 2007 at 6:05 pm #75233012khunthaiParticipantKepada admin, jika sekiranya dipandang tdk baik untuk ditampilkan, silakan diedit atau disampaikan secara private ke habib munzir. Terima kasih.
Assalamu\’alaikum wrwb.
Pak habib.. ada bantahan yang mengatas namakan madzab Syafi\’i. Bahkan ada bukunya dengan judul \"Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab Syafi\’i\"oleh Drs Ubaidillah. Ada kutipan pdf-nya di [url]http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg10788/Fadhilah_surat_Yasin_2.pdf[/url]
Di sana ditulis berbagai kitab yang katanya menolak amalan tahlilan ini.Ada juga tulisan dari web di [url]http://smd.antibidah.net/?p=208[/url] dan [url]http://smd.antibidah.net/?p=227[/url] yang katanya juga dari kitab-kitab syafiiyah. Di sana juga dikutip kalimat-kalimat di dalam kitab-kitab itu.
Untuk itu pak habib.. kalau berkenan sudilah menerangkan, apakah benar memang demikian halnya. Saya sungguh penasaran untuk membaca keseluruhan isi kitab itu. Benarkah demikian.. ataukah hanya dicuplik-cuplik sebagian saja. Sayang saya tidak bisa bahasa Arab..dan terjemahan kitab itu belum ada di Indonesia. MOhon pencerahannya pak habib, agar umat ini tidak terombang-ambing dan mudah ditipu.
Kami tahu pak habib sangat-sangat sibuk. Mohon maaf kalau menambah permasalahan. Semoga dakwah pak habib selalu diridloi Allah SWT dan berjaya sampai kiamat nanti. Amien.
May 12, 2007 at 11:05 am #75233068Munzir AlmusawaParticipant[b]ini yg mereka cantumkan di website website nya, Insya Allah saya akan menjawabnya satu persatu. (Munzir).[/b]
Nur
Farid <
nur.farid@trac.astra.co.id> aan assunnah Meer opties 13 jun (23 uren geleden)
Assalamu ;alaikum..
Ana sarankan agar akhi bersabar dalam berdakwah, karena dakwah kepada orang
yang sudah terbiasa dg tradisi yang turun temurun itu tidak semudah membalikkan
telapak tangan.
Mengenai HUkum tahlilan, dzikir bersama dan yasinan. Insya Allah akan ana
kirimkan artikelnya satu persatu. semoga bermanfaat
TAHLILAN (MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYIT)
Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-ulama Syafi\’iyah tentang
masalah dimaksud, yang penulis kutip dari kitab-kitab Tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan
Kitab-kitab Syarah hadits, yang penulis pandang mu\’tabar (dijadikan pegangan) di
kalangan pengikut-pengikut madzhab Syafi\’i.
1. Pendapat Imam As-Syafi\’i rahimahullah.
Imam An-Nawawi menyebutkan di dalam Kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian.
\"Artinya : Adapaun bacaan Qur\’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka
yang masyhur dalam madzhab Syafi\’i, tidak dapat sampai kepada mayit yang
dikirimi.
Sedang dalilnya Imam Syafi\’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang
artinya), \’Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya
sendiri\’, dan sabda Nabi Shallallahu \’alaihi wa sallam (yang artinya), \’Apabila
manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang shaleh
(laki/perempuan) yang berdo\’a untuknya (mayit)\". (An-Nawawi, SYARAH MUSLIM,
juz 1 hal. 90).
Juga Imam Nawawi di dalam kitab Takmilatul Majmu\’, Syarah Madzhab mengatakan.
\"Artinya : Adapun bacaan Qur\’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan
mengganti shalatnya mayit tsb, menurut Imam Syafi\’i dan Jumhurul Ulama adalah
tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah
diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim\". (As-Subuki,
TAKMILATUL MAJMU\’ Syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426).
(menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan
almarhum semasa hidupnya -pen).
2. Al-Haitami didalam Kitabnya, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH,
mengatakan demikian.
\"Artinya : Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak
dari Ulama\’ Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan (yang pahalanya dikirmkan
kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu
adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat
dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah
(yang artinya), \’Dan manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya
sendiri\". (Al-Haitami, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH, juz 2, hal. 9).
3. Imam Muzani, di dalam Hamisy AL-UM, mengatakan demikian.
\"Artinya : Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam memberitahukan sebagaimana
yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti
halnya amalan adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain\". (Tepi AL-UM,
AS-SYAFI\’I, juz 7, hal.262).
4. Imam Al-Khuzani di dalam Tafsirnya mengatakan sbb.
\"Artinya : Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi\’i, bahwa bacaan Qur\’an (yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang
dikirimi\". (Al-Khazin, AL-JAMAL, juz 4, hal.236).
5. Di dalam Tafsir Jalalaian disebutkan demikian.
\"Artinya : Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha
orang lain\". (Tafsir JALALAIN, 2/197).
6. Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR\’ANIL AZHIM mengatakan (dalam
rangka menafsirkan ayat 39 An-Najm).
\"Artinya : Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang
lain, demikian juga menusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil
amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An-Najm),
Imam As-Syafi\’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa
bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan
dari hasil usahanya sendiri.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan
umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah
memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada
seorang Sahabatpun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut, kalau toh
amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya,
padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah) hanya terbatas yang ada
nash-nashnya (dalam Al-Qur\’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam)
dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat\".
Demikian diantaranya pelbagai pendapat Ulama Syafi\’iyah tentang TAHLILAN atau
acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka
mempunyai satu pandangan, yaitu bahwa mengirmkan pahala bacaan Qur\’an
kepada mayit/roh itu adalah tidak dapat sampai kepada mayit atau roh yang dikirimi,
lebih-lebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al-Qur\’an, tentu saja akan lebih tidak
dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.
[Disalin dari buku Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab Syafi\’i, oleh Drs
Ubaidillah, hal. 8-15 terbitan Pustaka Abdul Muis – Bangil, tanpa tahun]
—Berikut ini kami ringkaskan hukum tahlilan dan selamatan kematian menurut madzhab syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyah agar dapat menjelaskan kepada kaum muslimin pada umumnya, baik karena ketidaktahuannya, ikut-ikutannya, atau karena taashub (fanatik golongan tertentu), terlebih-lebih mempertuhankan hawa nafsu diatas segala-galanya.
Sangat ironis sebenarnya, karena sebab diatas itu mereka yang masih bangga bermadzab Syafi’i, justru dalam hal tahlilan dan selamatan yang pahalanya dikirimkan kepada si mayit itu bertentangan dengan pelbagai pendapat ulama-ulama syafi’iyah termasuk Imam Syafi’i rahimahullah sendiri.
Untuk itu dalam rangka kebenaran dan saling menasehati, seperti yang firmankan oleh Allah ta’ala pada surah Qs.Al-Ashr:1-3, dan Imam Syafi’i –rahimahullah mengatakan,’ Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah kepada hamba-Nya kecuali surah ini, niscaya surah ini sudah cukup bagi mereka (Syarah Tsalatsatul Ushul, Syaikh al-‘Utsaimin, hal.24) maka kami sampailkan ini kepada anda semua.
Pendapat Imam as-Syafi’i rahimahullah
Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan didalam kitabnya, Syarah Muslim demikian:
“ Adapun bacaan qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzab Syafi’i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi….sedang dalilnya Imam Syafi’i rahimahullah dan pengikut-pengikut yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan Rosulullah shallallahu \’alayhi wa sallam bersabda (yang artinya) “Apabila manusia telah meninggalka dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkaj dan anak saleh yang berdoa untuknya” (an-Nawawi, Syarah Muslim, 1/hal.90)
Imam an-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan:“ Adapun bacaan qur’an dan mengirimkan pahalaya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit dan sebagainya..menurut Imam Syafi’i dan jumhur ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi didalam kitabya, Syarah Muslim (as-Subuki, Takmilatul Majmu’, syarah muhadzab 10/hal.426)
Pendapat Imam al-Haitami
“ Mayit, tidak boleh dibacaka apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama salaf, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amala tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” (al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fighiyah, 2/hal.9)
Pendapat Imam Muzami
“ Rosulullah shallallahu \’alayhi wa sallam memberitahukan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti hal amalya adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimka kepada orang lain (as-Syafi’i, al-Umm 7/hal.269)
Pendapat Imam al-Khazi
“ Dan yang masyhur dalam madzhab syafi’i bahwa bacaan qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi” (al-Khazin, al-Jamal 4/236)
Tafsir Jalalain dijelaskan :“ Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain (Tafsir Jalalain 2/197)
Tafsir Ibnu Katsir (surat An-Najm:30):
“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu \’alayhi wa sallam tidak perna menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak perna memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”
Demikian diantaranya perlbagai pendapat dari kalangan ulama asy-syafi’iyah tentang hukum acara tahlila (pengiriman bacaan pahala) dimana kesimpulan yang kita peroleh bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah dholaalah, dan sia-sialah perbuatan mereka.Pertayaan: :
Jika ditanyakan kepadamu, bagaimana sekiranya kita seusai tahlil berdoa “Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh si fulan ?”
Jawab:
Ulama telah sepakat, bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat sampai ke roh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan surah An-Najm ayat 39, dan jika kita pikir dengan logika (seperti mereka berfikir juga dengan logika) maka jika kita berbuat demikian, maka bertentangan dengan hukum syar’i (sambil sebutkan dalil diatas), dan apa bisa perkara yang tidak ada tuntunannya secara syar’i dapat diterima amalannya ? dan kalaulah itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya, dan sayangnya para shahabat tidak ada yang merngerjakannya.
Ikhwani fillah, silahkan mengutip tulisan ini dengan tetap mencantumkan sumber pengambilannya
—Haul atau selamatan kematian (hari pertama, kedua, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dst) disertai tahlilan yang biasa dilakukan sebagian besar kaum yang mengaku muslim dan sebagian besar tokoh panutan dari kalangan yang mengaku bermadzhab syafi’i versi nahdliyyin (ASWAJA) ternyata termasuk amalan terlarang bahkan haram menurut kitab-kitab fiqh, tafsir ataupun syarah hadits dari kalangan Syafi’iyah (pengikut madzhab syafi’i)
Dikarenakan sudah menjadi tradisi atau karena gengsi ditambah kebodohan dan ikut-ikutan maka acara ini masih tetap ada hingga sekarang. Untuk itu kami akan memberikan pendapat dari kitab-kitab bermadzhab syafi’i untuk menerangkan bagaimana sebenarnya hukum haul atau selamatan kematian tersebut.
1. Kitab Fiqh, I’anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu’in Juz 2 hal.145
‘ Ya, apa yang dikerjakan orang yaitu berkumpul di (rumah) keluarga mayit dan dihidangkan makanan untuk itu, adalah termasuk bid’ah, yang mana jika ada memberantasnya diberi pahala’
2. Kitab Fiqh, Imam Syafi’i al-‘Umm Juz 1 hal.248
‘Aku tidak menyukai ma’tam yaitu berkumpul (dirumah keluarga mayit), meskipun disitu tidak ada tangisan, karena itu malah akan menimbulkan kesedihan baru
3. Kitab Fiqh, I’anatur Thalibin Juz 2 hal.145-146
‘ Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihindangkan kepada para undangan, adalah bid’ah, sebagaimana berkumpulnya di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadits yang shahih yang diriwayatkan Jarir bin Abdullah yang berkata, ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan adalah sama dengan hukum niyanah (meratapi mayit) yakni haram’ ’
‘Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (haul)’
\’Dan diantara bid’ah ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh bahkan semua itu adalah haram ‘
4. Kitab Fiqh, Mughnil Muhtaj Juz 1 hal.268
‘Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul orang banyak disitu adalah bid’ah, dan dalam hal ini Imam Ahmad mengambil riwayat riwayat dari Jarir bin Abdillah, ia berkata ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan adalah sama dengan hukum niyanah (meratapi mayit) yakni haram’
5. Kitab Fiqh, Hasyiyatul Qalyubi Juz 1 hal.353
‘Syaikh ar-Ramli berkata, ‘diantara bid’ah yaitu sebagaimana diterangkan didala kitab ar-Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang disebut kifarah, dan hidangan makanan untuk acara berkumpul dirumah keluarga mayit, baik sebelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan di kuburan
6. Kitab Fiqh, Imam an-Nawawi, al-Majmu’ syarah muhadzhab Juz 5 hal.286
‘Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak disitu adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid’ah
7. Fatwa Mufti Madzhab Syafi’i, Ahmad Zaini bin Dahlan
‘ Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah adalah berarti menghidupkan sunnah Nabi shallallahu \’alayhi wa sallam, mematikan bid’ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu keburukan, karena orang-orang memaksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan (I’anatut Thalibin juz 2 hal.145-146)
Demikian kami berikan keterangan dari kitab-kitab Ulama madzhab Syafi’iyah dan perkataan Imam Syafi’i sendiri, sehingga hanya orang-orang yang diberi hidayah kebaikan agamaNya lah yang dapat menyimpulkan bahwa haul atau selamatan kematian merupakan perbuatan bid’ah dholaalah dan haram!
Syubhat:
Bukankah jelas kita juga bersedekah kepada keluarga si mayit ?
Jawab:
Sedekahnya itu diperintahkan oleh syariat, namun berkumpul dan menghidangkan makanan dirumah si mayit itu haram, lagi-lagi kalian selalu mencampurbaurkan antara yang haq dan bathil, sementara Allah ta’ala sendiri melarang demikian.
Sungguh kalian jelas-jelas membuat perkara yang tidak perna Nabi shallallahu \’alayhi wa sallam tuntunkan wahai ahlul ahwa’
Ikhwani fillah, silahkan mengutip tulisan ini dengan tetap mencantumkan sumber pengambilannyaMay 12, 2007 at 4:05 pm #75233074Munzir AlmusawaParticipant3 hal yg akan saya jawab dari ucapan mereka ini,
[b]dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah.[/b]
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
[b]
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
[/b]
“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian besar ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.
Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.
namun dari kesimpulannya bahwa Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.
[b]Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka,
Saya akan buktikan kelicikan mereka :
[/b]
2. Ucapan Imam Ibn katsir :
[b]
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما[/b]
“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu \’alayhi wa sallam tidak perna menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”[b]Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah : [/b]
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).
nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : \"wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..\"
bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
[b]أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنب[/b]ل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy : [b]
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ[/b]
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya)
maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz : [b]
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة[/b]
“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.
[b]Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni,
mereka kena batunya di website MR.. he..he..[/b]mengenai hidangan tahlil sudah saya jelaskan, ngga ada yg mengharamkan, hanya makruh bila dg tujuan pengumpulan massa di rumah duka, bukan menjamu tamu, kalau menghidangkan makan tuk menjamu tamu, maka Rasul saw pun makan dirumah duka dengan undangan istri si mayyit
jawaban saya yg pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala bacaan Alqur\’annya pada rasul saw dll.
wallahu a’lam
-
AuthorPosts
- The forum ‘Forum Masalah Umum’ is closed to new topics and replies.