Home › Forums › Forum Masalah Umum › Tanggapan Shalat Tarawih
- This topic has 1 reply, 2 voices, and was last updated 17 years, 4 months ago by Munzir Almusawa.
-
AuthorPosts
-
September 29, 2007 at 12:09 pm #82200971abi fadhilParticipant
Assalamualaikum wr.wb
Yang saya hormati habib munzir, semoga kita selalu memdapat rahmat dan hidayah Allah SWT.
Saya ingin menanggapi salah satu pertanyaan yang berkenaan tentang rakaat shalat tarawih, antum menanyakan rujukan atau dasar hukum shalat tarawih 11 rakaat.
Berikut ini adalah 2 tulisan dari seorang ulama ahli hadist yang sama-sama kita kenal yang mendasari keshahihan shalat tarawih 11 rakaat, semoga dapat mencerahkan kita sebagai umat islam agar tidak lagi mempertentangkan rakaat dalam shalat tarawih.
[b]UMAR BIN AL-KHATTAB MENGHIDUPKAN KEMBALI SHALAT TARAWIH (BERJAMA’AH) DAN MENYURUH MENUSIA KALA ITU UNTUK SHALAT SEBELAS RAKA’AT[/b]
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniTelah kami sebutkan sebelumnya, bahwa semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda [1]
Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudan akhirnya Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :
“Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar :
“Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”.
Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang”
Yang beliau maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam”
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha (I : 136-137), demikian juga Al-Bukhari (IV : 203), Al-Firyabi (II : 73, 74 : 1-2). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (II : 91 : 1) dengan lafazh yang mirip, namun tanpa ucapan beliau : “sebaik-baiknya bid’ah, ya yang seperti ini”. Demikian juga Ibnu Sa’ad (V : 42) dan Al-Firyabi dari jalur lain (74 : 2) meriwayatkannya dengan lafazh : “kalau yang seperti ini dianggap bid’ah, maka sungguh satu bid’ah yang amat baik sekali”. Para perawinya terpercaya, kecuali Naufal bin Iyyas. Imam Al-Hafizh mengomentarinya dalam “At-Taqrib” ; “Bisa diterima”, maksudnya apabila diiringi hadits penguat, kalau tidak, maka tergolong hadits yang agak lemah. Begitu penjelasan beliau dalam mukaddimah buku tersebut.
Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau : “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ sebagai dalil dalam dua perkara :
Pertama
Berjama’ah dalam shalat tarawih adalah bid’ah yang tidak penah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Persepsi ini jelas amatlah keliru, tidak perlu banyak dikomentari karena sudah demikian jelasnya. Sebagai dalilnya, cukup bagi kita hadits-hadits terdahulu ; yaitu yang mengkisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan manusia kala itu dalam tiga malam bulan Ramadhan. Kalaupun akhirnya beliau meninggalkan berjama’ah, semata-mata hanya karena takut dianggap wajib.Kedua.
Bahwa diantara bid’ah itu ada yang terpuji. Dengan (ucapan Umar) tadi, mereka mengkhususkan keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah itu adalah sesat”. Dan juga hadits-hadits lain yang sejenis. Pendapat ini juga bathil ; hadits tersebut harus diartikan dengan keumumannya, sebagaimana yang dijelaskan nanti dalam tulisan khusus mengenai bid’ah, insya Allahu Ta’ala. Adapun ucapan Umar : Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”. Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan.
“Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”.
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan.
“Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah : “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf : 9]
Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti [2], berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut. [3]
[b]UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHU MEMERINTAHKAN MANUSIA UNTUK SHALAT 11 RAKA’AT[/b]
Adapun perintah Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk didirikannya tarawih 11 raka’at, adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (I : 137) (dan No. 248), dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid bahwasanya beliau menuturkan.
“Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia (shalat tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan : “Dan kala itu, seorang qari/imam biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar shalat menjelang fajar”.
Saya katakan : Derajat sanad hadits ini shahih sekali. Sesungguhnya Muhammad bin Yusuf, syaikh/guru Imam Malik adalah orang yang terpercaya berdasarkan kesepakatan ahli hadits. Beliau juga dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim. Sedangkan As-Saib bin Yazid adalah seorang shahabat yang ikut berthaji bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih kecil. Lalu dari jalur sanad Imam Malik juga, Abu Bakar An-Naisaburi mengeluarkan hadits itu dalam “Al-Fawaid” (I : 153), Al-Firyabi (75 : II-76 : I) dan Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra” (I : 196)
Riwayat Malik tentang tarawih 11 raka’at tadi diiringi dengan penguat dari Yahya bin Sa’id Al-Qatthan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al-Mushannaf” (II : 89 : 2), juga dengan riwayat dari Isma’il bin Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishaq oleh Imam An-Naisaburi ; juga dengan riwayat Ismail bin Ja’far Al-Madani oleh Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hajar (IV : 186 : 1). Mereka semua mengatakan : Dari Muhammad bin Yusuf dengan lafazh tadi, kecuali Ibnu Ishaq, beliau mengatakan : “Tiga belas raka’at” demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashar dalam ‘Qiyamu Al-Lail” (91), dan beliau menambahkan:
“Ibnu Ishaq menyatakan : “Tidak pernah aku mendengar dalam masalah itu (yakni bilangan raka’at tarawih pada bulan Ramadhan) riwayat yang lebih shahih dan lebih meyakinkan daripada hadits As-Saib. Yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakannya pada malam hari 13 raka’at”.
Saya katakan : Jumlah bilangan 13 raka’at ini, hanya diriwayatkan secara menyendiri oleh Ishaq. Dan riwayat itu, bersesuaian dengan riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain, bahwa termasuk dalam yang 13 rakaat itu dua rakaat sunnah fajar, sebagaimana dalam komentar sebelumnya. Hadits Ibnu Ishaq inipun bisa dipahami dengan cara itu sehingga menyepakati riwayat jama’ah
Dari penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa ucapan Ibnu Abdil Barr : “saya tidak pernah mendengar seorangpun yang mengatakan 11 raka’at, kecuali Imam Malik ; adalah ucapan yang jelas keliru. Al-Mubarakfuri mengomentari dalam “Tuhfatul Ahwadzi (II : 74) : “itu adalah dugaan yang bathil”. Oleh sebab itu, Az-Zarqani juga menyanggahnya dalam “Syarhu Al-Muwattha (I : 25)” dengan ucapannya : “Hal itu tidak sebagaimana yang diucapkannnya (Ibnu Abdil Barr), karena dari jalur sanad yang lain Ibnu Manshur meriwayatkan juga dari Muhamamd bin Yusuf : “11 raka’at”, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik”.
Saya mengatakan : Derajat sanad hadits ini sungguh amat shahih, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam As-Suyuthi dalam “Al-Mashabih”, (riwayat) ini saja sudah cukup untuk menyanggah pernyataan Ibnu Abdil Barr. Bagaimana lagi kalau digabungkan dengan beberapa riwayat penguat lainnya yang –saya lihat- tidak seorangpun yang mendahului saya dalam mengumpulkan riwayat-riwayat itu. Wal hamdulillah ‘ala taufiqihi.
[Disalin dari kitab Shalatu At-Tarawih, Edisi Indonesia Shalat Tarwih, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani, Penerbit At-Tibyan]
_________
Foote Note
[1]. Saya katakan : “Demikianlah kondisi yang terjadi di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengimami mereka selam tiga malam. Kemudian beliau meninggalkannya karena takut dianggap wajib atas mereka sebagai hadits Aisyah terdahulu. Sehingga kembalilah kaum muslimin kepada kebiasaan semula, hingga Umar mengumpulkan mereka. Semoga Allah mengganjarinya dengan kebaikan atas jasa beliau terhadap Islam. Ibnu At-Tiien dan yang lainnya berkata : “Umar bin Al-Khattab mengambil kesimpulan, denghan ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keabsahan shalat orang-orang yang bermakmum kepada beliau pada beberapa malam itu. Kalaupun ada yang beliu benci, hanya sebatas karena beliau khawatir akhirnya menjadi wajib atas mereka. Inilah yang menjadi rahasia kenapa Al-Bukhari mengutip hadits Aisyah yang terdahulu sesudah hadits Umar. Setelah nabi meninggal, kekhawitran itu sudah tidak berlaku lagi. Umar lebih mengutamakan kesimpulan demikian, karena berpencar-pencarnya kaum muslimin dapat menimbulkan perpecahan. Dan juga karena berjama’ah dengan satu imam itu lebih membawa semanngat bagi banyak orang yang shalat …. Dan terhadap ucapan Umar itu, mayoritas umat lebih cenderung …” [Fathul Bari IV : 203-204]
[2]. Yang dimaksud dengan kemungkinan yang pasti : Adalah ketidak adaan penghalang itu sendiri. Contohnya shalat tarawih berjama’ah. Kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan itu ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ada penghalangnya, yaitu takut dianggap wajib. Maka pada saat itu, kemungkinannya tidaklah pasti.
[3]. Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24dan tulisan yang ke dua……
[b]NABI SHALLALLAHU \’ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH SHALAT TARAWIH MELEBIHI SEBELAS RAKA\’AT[/b]
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniSetelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama\’ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu \’alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka\’at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu \’alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil.
Yang Pertama :
Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada \’Aisyah Radhiallahu \’anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu \’alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : \"Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu \’alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka\’at[1] . Beliau shalat empat raka\’at[2] ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat raka\’at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka\’at.Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 25, IV : 205), Muslim (II : 166), Abu \’Uwanah (II : 327), Abu Dawud (I : 210), At-Tirmidzi (II : 302-303 cetakan Ahmad Syakir), An-Nasa\’i (I : 248), Malik (I : 134), Al-Baihaqi (II : 495-496) dan Ahmad (VI : 36,73, 104).
Yang Kedua :
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu \’anhu bahwa beliau menuturkan : \"Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka\’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau disitu hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya : \"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami\". Beliau menjawab : \"Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu\". [Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 90), Ath-Thabrani dalam \"Al-Mu\’jamu Ash-Shagir\" (hal 108). Dengan hadits yang sebelumnya, derajatnya hadist ini hasan. Dalam \"Fathul Bari\" demikian juga dalam \"At-Talkhish\" Al-Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits itu shahih, Namun beliau menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah masing-masing dalam Shahih-nya].Hadits Tarawih Dua Puluh Raka\’at Dha\’if Sekali dan Tidak Dapat Dijadikan Hujjah Untuk Beramal
Dalam \"Fathul Bari\" (IV : 205-206) Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang pertama, beliau menyatakan : \"Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka\’at ditambah witir, sanad hadist ini adalah dha\’if. Hadits \’Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadits itu, padahal \’Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya\". Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh Az-Zailai\’ dalam \"Nashbu ar-Rayah\" (II : 153).
Saya mengatakan : \"Hadits Ibnu Abbas ini dha\’if sekali, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi dalam \"Al-Hawi Lil Fatawa\" (II : 73). Adapun cacat hadits itu yang tersembunyi, adanya perawi bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Al-Hafizh dalam \"At-Taqrib\" menyatakan : \"Haditsnya matruk (perawinya dituduh pendusta)\". Aku telah menyelidiki sumber-sumber pengambilan hadits itu, namun yang aku temui cuma jalannya. Ibnu Abi Syaibah juga mengeluarkannya dalam \"Al-Mushannaf \" (II : 90/2), Abdu bin Hamid dalam \"Al-Muntakhab Minal Musnad\" (43 : 1-2), Ath-Thabarani dalam \"Al-Mu\’jamu Al-Kabir\" (III : 148/2) dan juga dalam \"Al-Ausath\" serta dalam \"Al-Muntaqa\" (edisi tersaring) dari kitab itu, oleh Adz-Dzahabi (II : 3), atau dalam \"Al-Jam\’u\" (rangkuman) Al-Mu\’jam Ash-Shaghir dalam Al-Kabir oleh penulis lain (119 : I), Ibnu \’Adiy dalam \"Al-Kamil\" (I : 2), Al-Khatib dalam \"Al-Muwaddhih\" (I : 219) dan Al-Baihaqi dalam \"Sunan\"-nya (II : 496). Seluruhnya dari jalur Ibrahim (yang tersebut) tadi, dari Al-Hakam, dari Muqsim, dari Ibnu Abbas hanya melalui jalan ini\". Imam Al-Baihaqi juga menyatakan : \"Hadits ini hanya diriwayatkan melalui Abu Syaibah, sedangkan ia perawi dha\’if \". Demikian juga yang dinyatakan oleh Al-Haitsami dalam \"Majmu\’ Az-Zawaid\" (III : 172) bahwa ia perawi yang dha\’if. Kenyataannya, ia malah perawi yang dha\’if sekali, seperti diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tadi bahwa ia Matrukul hadits (ditinggal haditsnya karena dituduh berdusta). Inilah yang benar, seperti juga dinyatakan oleh Ibnu Ma\’in : \"Ia sama sekali tak bisa dipercaya\". Al-Jauzajani menyatakan : \"Jatuh martabatnya\" (celaan yang keras). Bahkan Syu\’bah menganggapnya berdusta dalam satu kisah. Imam Al-Bukhari berkomentar :\"Dia tak dianggap para ulama\". Padahal Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan dalam \"Ikhti-shar \’Ulumi Al-Hadits\" (hal 118) :\"Orang yang dikomentari oleh Al-Bukhari dengan ucapan beliau seperti tadi, berarti sudah terkena celaan yang paling keras dan buruk, menurut versi beliau\". Oleh sebab itu, saya menganggap hadits ini dalam kategori Hadits Maudhu\’ alias palsu. Disebabkan (disamping kelemahannya) ia bertentangan dengan hadits \’Aisyah dan Jabir yang terdahulu sebagaimana tadi diungkapkan oleh Al-Hafizh Az-Zaila\’i dan Al-Asqalani. Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi juga memaparkan hadits-haditsnya yang munkar. Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan dalam \"Al-Fatawa Al-Kubra\" (I : 195) setelah beliau menyebutkan hadits ini.
\"Hadits ini sungguh amat dha\’if ; para ulama telah bersikap keras terhadap salah seorang perawinya, dengan celaan dan hinaan. Diantara bentuk celaan dan hinaan itu (dalam kaedah ilmu hadits) : Ia perawi hadits-hadits palsu, seperti hadits yang berbunyi : \"Umat ini hanya akan binasa di Aadzar (nama tempat) \" juga hadits : \"Kiamat itu hanya akan terjadi di Aadzar \". Hadits-hadistnya yang berkenaan dengan masalah tarawih ini tergolong jenis hadits-hadits munkarnya. Imam As-Subki itu sendiri menjelaskan bahwa (diantara) persyaratan hadist dha\’if untuk dapat diamalkan adalah ; hadits itu tak terlalu lemah sekali. Imam Adz-Dzahabi menyatakan : \"orang yang dianggap berdusta oleh orang semisal Syu\’bah, tak perlu ditoleh lagi haditsnya\".
Saya mengatakan : \"Apa yang dinukil beliau dari As-Subki itu mengandung isyarat lembut dari Al-Haitami bahwa beliau sendiri tak sependapat dengan mereka yang mengamalkan hadits tentang shalat tarawih 20 raka\’at itu, simaklah\".
Kemudian, setelah beliau menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban, Imam As-Suyuthi berkomentar : \"Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka\’at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari \’Aisyah Radhiallahu \’anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu \’alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka\’at. Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu \’alaihi wa sallam shalat delapan raka\’at, lalu menutupnya dengan witir tiga raka\’at, sehingga berjumlah 11 raka\’at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka\’at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin \’Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi\".
Saya mengatakan : \"Ucapannya itu mengandung isyarat yang kuat bahwa beliau lebih memilih sebelas raka\’at dan menolak riwayat yang 20 raka\’at dari Ibnu Abbas karena terlalu lemah, coba renungkan\".
[Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih, Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 28 – 36 Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani]
_________
Foote Note
[1]. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (II/116/1), Muslim dan lain-lain : \"Shalat Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain adalah tiga belas raka\’at. Diantaranya dua raka\’at fajar\". Namun dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Imam Malik (I : 142), juga oleh Al-Bukhari (III : 35) dan lain-lain, diceritakan bahwa \’Aisyah menuturkan :\"Beliau shalat pada waktu malam tiga belas raka\’at. Lalu bila datang adzan subuh memanggil, beliau shalat dua raka\’at yang ringan\". Al-Hafidzh Ibnu Hajar mengatakan : \"Pada dzahirnya, hadits itu nampakl bertentangan dengan hadits terdahulu. Bisa jadi, \’Aisyah menggabungkan dengan dua raka\’at shalat sesudah Isya, karena beliau memang melakukannya di rumah. Atau mungkin juga dengan dua raka\’at yang dilakukan Nabi sebagai pembuka shalat malam. Karena dalam hadits shahih riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau memang memulai shalat malam dengan dua raka\’at ringan. Dan yang kedua ini lebih kuat, menurut hemat saya. Karena Abu Salamah yang mengkisahkan kriteria shalat beliau yang tak melebihi 11 raka\’at dengan empat-empat plus tiga raka\’at, hal itu jelas belum mencakup dua raka\’at ringan (pembuka) tadi, dua raka\’at itulah yang tercakup dalam riwayat Imam Malik. Sedangkan tambahan matan hadits dari seorang hafizh (seperti Malik) bisa diterima. Pendapat ini lebih dikuatkan lagi dengan apa yang tertera pada riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari jalur riwayat Abdullah bin Abi Qais dari \’Aisyah Radhiallahu \’anha dengan lafazh : \"Beliau melakukan witir tiga raka\’at setelah shalat empat raka\’at ; atau tiga setelah sepuluh. Dan beliau belum pernah berwitir -plus shalat malamnya- labih dari tiga belas raka\’at. Dan juga tidak pernah kurang -bersama shalat malamnya- dari tujuh raka\’at. Inilah riwayat paling shahih yang berhasil saya dapatkan dalam masalah itu. Dengan demikian, perselisihan seputar hadits \’Aisyah itu dapat disatukan\".Saya mengatakan : Adapun hadits Ibnu Abi Qais ini akan kembali disebutkan Insya Allah dalam bahasan \"Dibolehkannya shalat malam kurang dari 11 raka\’at (hal 81).
Penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibnu hajar itu ditopang oleh riwayat Imam Malik yang secara lebih rinci menyebutkan dua raka\’at ringan tersebut ; yaitu dari jalur hadits Zaid bin Khalid Al-Juhani bahwasanya ia berkata : \"Aku betul-betul berhasrat menyelidiki shalat Rasulullah Shallallahu \’alaihi wa sallam pada suatu malam. Beliau shalat terlebih dahulu dua raka\’at ringan. Kemudian beliau shalat dua raka\’at panjang, lalu dua raka\’at panjang, lalu dua raka\’at panjang. Dua raka\’at yang kedua tidak sepanjang yang pertama. Demikian juga yang ketiga tak sepanjang yang kedua. Yang keempat juga tak sepanjang yang ketiga. Setelah itu beliau menutup dengan witir. Semuanya berjumlah tiga belas raka\’at.
[Diriwayatkan oleh Imam Malik (I:143-144), Muslim (II:183), Abu \’Uwanah (II:319) Abu Dawud (I:215) dan Ibnu Nashar (hal.48]
Menurut hemat saya, ada kemungkinan dua raka\’at disitu adalah shalat sunnah sesudah Isya. Bahkan itulah yang nampak (berdasarkan hukum) secara zhahir. Karena saya belum mendapatkan satu haditspun yang menyebutkan dua raka\’at itu berseiringan dengan penyebutan raka\’at yang tiga belas. Bahkan sebaliknya, saya justru mendapatkan riwayat yang menopang apa yang saya perkirakan. Yaitu hadits Jabir bin Abdullah, dimana beliau menyampaikan :\"Dahulu kami bersama-sama beranjak dengan Rasulullah dari Hudaibiyyah. Tatkala kami sampai di Suqya (yaitu perkampungan antara Mekkah dan Madinah), tiba-tiba beliau berhenti -dan jabir kala itu disampingnya- lalu melakukan shalat isya\’ kemudian setelah itu beliau shalat tiga belas raka\’at\" (hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 48). Hadits ini juga sebagai nash yang jelas, bahwa shalat sunnah \’Isya termasuk hitungan yang tiga belas tadi. Seluruh perawi hadits tersebut tsiqah (terpercaya), selain Syurahbil bin Sa\’ad. Dia memiliki kelemahan.
[2]. Yakni dengan satu kali salam. Imam Nawawi dalam \’\’Syarhu Muslim\" menyebutkan :\"Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat dengan hitungan itu. Adapun yang dikenal dari perbuatan Nabi Shallallahu \’alaihi wa sallam bahkan beliau memerintahkan, yaitu agar shalat malam itu dibuat dua-dua (raka\’at).
Saya mengatakan : Yang dinyatakan oleh beliau itu sungguh benar adanya. Adapun pendapat madzhab Syafi\’iyyah bahwa (Wajib kita bersalam pada setiap dua raka\’at. Barangsiapa yang melakukannya dengan satu salam, maka tidak shah) sebagaimana tersebut dalam \"Al-Fiqhu Ala Al-Madzahibi Al-Arba\’ah\" (I: 298) dan juga dalam \"Syarhu Al-Qasthalani\" Terhadap shahih Al-Bukhari (V : 4) dan lain-lain, pendapat itu jelas bertentangan dengan hadits shahih ini dan juga bersebrangan dengan pernyataan Imam An-Nawawi yang menyatakan dibolehkannya cara itu. Padahal beliau termasuk ulama besar dan alhi tahqiq (peneliti) dari kalangan Syafi\’iyyah. maka jelas tak ada alasan bagi seseorang untuk menfatwakan hal yang sebaliknya.!
September 30, 2007 at 3:09 am #82200999Munzir AlmusawaParticipantAlaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Cahaya Keberkahan Syuhada Badr semoga selalu menerangi hari hari anda dengan kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
Tarawih tak pernah ada di zaman Nabi saw, yg beliau lakukan itu bukanlah tarawih, itu shalat witir, karena hadits Aisyah ra mengatakan Rasul saw tak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat di bulan ramadhan dan selain ramadhan, ini menunjukkan bukan tarawih, karena ramadhan hanya dilakukan saat tarawih,pendapat yg menguatkan ini adalah jika hal itu sunnah maka Nabi saw tetap akan melakukannya sesekali, sebagaimana siwak yg juga dijelaskan : \"Jika tak risau akan menyulitkan kalian, akan kuperintahkan kalian bersiwak setiap shalat (Shahih Bukhari),
namun beliau saw tak pernah melakukannya lagi, maka pun jika itu sunnah maka sudah mansukh, (dihapus) karena beliau saw tak melakukannya lagi,
dan jika hal itu sunnah maka mestilah Khalifah Abubakar shiddiq ra melakukannya, mustahil beliau melupakannya, kemana pula para sahabat lain yg bungkam saja jika hal itu sunnah?
hal itu baru dilakukan dimasa Umar bin Khattab ra,
riwayat shahih Imam Baihaqi yg juga dari Assaaib bin Yaziid berkata bahwa mereka melakukan di zaman Umar bin Khattab ra shalat tarawih di bulan ramadhan 20 rakaat, bahkan mereka sampai bersandar dengan tongkat dimasa Ustman bin Affan ra. (Sunan Imam Baihaqy Alkubra hadits no.4393).
lalu berkata Imam Baihaqiy bahwa bila kita mengumpulkan antara dua riwayat ini (riwayat yg 11 rakaat dan 20 rakaat di masa Umar ra), bahwa sebelumnya mereka melakukannya sebanyak 11 rakaat, lalu kemudian mereka melakukannya dengan 20 rakaat dan witir 3 rakaat (Sunan Imam Baihaqiy Alkubra Juz 2 hal 496).Tentunya kita memahami bahwa Khalifah Umar ra kemudian melakukannya 20 rakaat, diteruskan hingga zaman ustman ra sebagaimana riwayat diatas bahwa mereka hingga bersandar pd tongkat dimasa khalifah Ustman, Bahkan diriwayatkan bahwa hingga zaman Ali bin Abi Thalib kw mereka masih melakukannya 20 rakaat (Sunan Imam Baihaqy Alkubra hadits no.4395, 4396).
Pendapat Imam Ibn hajar dalam kitabnya Fathul Baari Almasyhur :
Terdapat banyak riwayat mengenai tarawih, ada pendapat yg mengatakannya 11 rakaat dan adapula yg 13 rakaat, adapula yg 20 rakaat, dan ikhtilaf adalah pd yg lebih dari 20 rakaat yaitu condong lebihnya adalah witr, adapula riwayat 36 rakaat, 39 rakaat dan banyak lagi yg melebihi 40 rakaat.Berkata Imam Syafii bahwa kulihat orang melaksanakan shalat tarawih di Madinah sebanyak 39 rakaat dan di Makkah 23 rakaat (Fathul Baari Almasyhur Juz 4 hal 253)
Pendapat Ibn Taimiyyah :
Sungguh telah kuat riwayat bahwa Ubay bin Ka?ab menjalankan shalat tarawih 20 rakaat dan shalat witir 3 rakaat, maka pendapat banyak ulama bahwa hal itu sunnah (Fatawa Ibn taimiyyah Juz 23 hal 112)mengenai pendapat Imam Malik, beliau sendiri meriwayatkan tarawih 11 rakaat, beliau meriwayatkan pula tarawih 20 rakaat, dan beliau meriwayatkan pula tarawih yg 36 rakaat, \"inilah yg telah berjalan selama lebih dari 100 tahun\", demikian tutur Imam Malik. dan teriwayatkan dari Imam Malik pula 46 rakaat dengan 3 witir, inilah yg masyhur darinya(Fathul Baari Almasyhur Juz 4 hal 253 – 254).
dan tak ada satu madzhab pun yg melakukan shalat 11 rakaat. Jumhur seluruh ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab tak satupun melakukan tarawih dibawah 20 rakaat.
bahkan di Haramain Masjidil Haram dan Masjidinnabawiy tidak melakukan 11 rakaat,
cuma wahabi disini saja memisahkan diri sendiri, dan mengenai Al Albaniy kita tak mengakuinya sebagai Muhaddits, karena muhaddits adalah orang yg banyak menerima sanad hadits, sedangkan beliau hanya menukil dan menghafal dari buku, tak pernah jumpa dengan Rijalussanad, tak pula jumpa dengan perawi hadits, tak pula punya sanad kepada Imam Bukhari, tak pula punya sanad pada imamul madzahib, maka sanad beliau Maqtu\’ dan hujjah beliau sangat dhoif, lebih lebih lagi beliau bertentangan dengan Arba\’a madzahib, maka ini Batil.
mengenai masalah bid\’ah telah saya jelaskan panjang lebar di halaman depan web ini pada artikel yg berjudul : \"Bid\’ah\".
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a\’lam
-
AuthorPosts
- The forum ‘Forum Masalah Umum’ is closed to new topics and replies.