Home Forums Forum Masalah Tauhid tolong pencerahannya

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • Author
    Posts
  • #81495403
    sigit
    Participant

    assalamu\’alaikum…habib munjir yg saya hormati ,saya minta pencerahannya atas isi file ini:

    ] Adakah Peringatan Maulid Nabi dalam ISLAM….?
    forum intelektual muslim
    Thu, 07 Sep 2006 19:50:36 -0700

    Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallahu ‘alaihi wa
    sallam
    Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
    (Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)

    HUKUM MENCINTAI NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
    Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada
    Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
    Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari
    segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.
    Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun
    menjawab, “Tidak, demi Alloh, hingga aku lebih
    engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Maka
    berkatalah Umar, “Demi Alloh, sekarang engkau lebih
    aku cintai daripada diriku sendiri!”. (HR.
    Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat
    Fath al-Bari (XI/523) no: 6632]

    Di lain kesempatan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam menegaskan, “Demi Alloh, salah seorang dari
    kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih
    dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh
    manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [HR.
    Al-Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (I/58)
    no: 15, dan Muslim dalam Shahihnya (I/67 no: 69)]

    Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua
    hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu
    merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan
    seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia
    merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim
    tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa
    cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saja,
    akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan
    kecintaannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Alloh- atas
    kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak
    dan seluruh manusia.

    POTRET KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA NABI SHALALLAHU
    ‘ALAIHI WA SALLAM
    Bicara masalah cinta Rasul shalallahu ‘alaihi wa
    sallam, para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa
    sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan
    dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau
    shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta
    dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan
    para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan
    paling mengetahui kedudukan Rasulullah shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika
    cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih
    dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang
    sesudah mereka.

    Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu
    kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu:
    Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb
    –sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin
    ad-Datsinah rodhiallohu ‘anhu ketika beliau tertawan
    oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk
    Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan
    berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang
    digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya,
    kemudian engkau kami bebaskan kembali ke
    keluargamu?”. Serta merta Zaid menimpali, “Demi
    Alloh, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad
    sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri,
    dalam keadaan aku berada di rumahku bersama
    keluargaku!!!”. Maka Abu Sufyan pun berkata,
    “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai
    orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad
    kepada Muhammad!”. [Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya
    Ibnu Katsir (V/505), dan kisah ini diriwayatkan pula
    oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah (III/326)]

    Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik
    rodhiallohu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya
    peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara
    penduduk Madinah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa
    sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan
    di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita
    dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di
    tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya,
    anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas
    terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki
    sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa
    jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya
    perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan
    anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ.
    Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi
    dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?!”.
    Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu”. Maka
    perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shalallahu
    ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya
    berkata, “Demi Alloh wahai Rasulullah, aku tidak
    akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama
    engkau selamat!”. [Disebutkan oleh al-Haitsami dalam
    Majma’ az-Zawaid (VI/115), dan dia berkata,
    “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari
    syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak
    mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah
    terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim
    dalam al-Hilyah (II/72, 332)]. Demikianlah sebagian
    dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta
    mereka kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam.

    PAHALA BAGI ORANG YANG MENCINTAI NABI SHALALLAHU
    ‘ALAIHI WA SALLAM
    Tentunya cinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
    merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya.
    Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan
    ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari
    kecintaan dia kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
    wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

    Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu mengisahkan, “Ada
    seseorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah
    kiamat datang?”. Nabi pun shalallahu ‘alaihi wa
    sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan
    untuk menghadapinya?”. Orang itu menjawab, “Wahai
    Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa
    yang banyak, hanya saja aku mencintai Alloh dan
    Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka
    Rasulullah pun shalallahu ‘alaihi wa sallam
    bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama
    orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang
    engkau cintai”. Anas pun berkata, “Kami tidak
    lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau akan bersama
    orang yang engkau cintai”. Anas kembali berkata,
    “Aku mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
    Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa
    bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini
    kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa)
    beramal sebanyak amalan mereka”. [ HR. Al-Bukhari
    dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (X/557 no: 6171)
    dan at-Tirmidzi dalam Sunannya (no: 2385)]

    Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal
    bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para
    sahabatnya di surga kelak??

    HAKIKAT CINTA PADA NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
    DAN RAGAM MANUSIA DI DALAMNYA
    Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret
    cinta para sahabat kepada Beliau shalallahu ‘alaihi
    wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang
    yang mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita
    ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
    bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada
    Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?,
    bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa
    cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shalallahu
    ‘alaihi wa sallam?, Apa saja yang harus
    direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan
    telah mencintai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam?.
    Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini
    banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama
    Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah
    shalallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
    mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang
    mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima
    pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut
    darinya bukti-bukti bagi pengakuannya?. Tentunya
    alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

    Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam
    memahami makna cinta kepada Nabi shalallahu ‘alaihi
    wa sallam:

    1. Golongan yang berlebih-lebihan.
    2. Golongan yang meremehkan.
    3. Golongan tengah.

    Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar
    dalam memahami makna cinta kepada Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa
    menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan
    mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun
    meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush
    shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau
    shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih
    adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang
    telah ditegaskan oleh Nabi kita shalallahu ‘alaihi
    wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al
    Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah
    generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah
    mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah
    mereka (para tabi’it tabi’in)”. [HR. Al-Bukhari
    dalam Shahihnya, lihat Fath al-Bari (V/258-259, no:
    2651), dan Muslim dalam Shahihnya (IV/1962, no: 2533)]

    Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada
    Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:

    1. Meyakini bahwa Beliau shalallahu ‘alaihi wa
    sallam benar-benar utusan Alloh subhanahu wa ta’ala,
    dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya,
    tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman
    bahwasanya beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
    adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi.
    Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah
    beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam pengakuannya
    adalah dusta, palsu dan batil. [Syarh al-Arba’in
    an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih
    al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid
    al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in
    an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal. 56]
    2. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Alloh
    menegaskan,
    وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
    فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
    عَنْهُ فَانتَهُوا
    “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
    terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
    tinggalkanlah”. (QS Al-Hasyr: 7)
    3. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan,
    baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi
    maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu
    adalah wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wa
    ta’ala. Di dalam Al Quran,
    وَمَا يَنطِقُ عَنِ
    الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا
    وَحْيٌ يُوحَى
    “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut
    kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
    hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS.
    An-Najm: 3-4)
    4. Beribadah kepada Alloh dengan tata-cara yang
    telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
    wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi.
    Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,
    لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
    رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
    حَسَنَةٌ
    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
    itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS Al-Ahzab;
    21)
    Juga Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa sallam
    telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan
    suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka
    amalan itu akan ditolak”. [HR. Muslim dalam
    Shahihnya (III/1344 no 1718)]
    5. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
    syari’at yang datang dari Alloh subhanahu wa
    ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya,
    karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa
    dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran [Syarh
    al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin
    Shalih al-Utsaimin hal: 138]. Alloh subhanahu wa
    ta’ala berfirman:
    مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
    فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ
    “Barang siapa yang menaati Rasul itu,
    sesungguhnya ia telah menaati Alloh”. (QS An-Nisa:
    80)
    6. Membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela
    ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal,
    memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan
    menyebarkannya di masyarakat.
    7. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada
    selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di
    atas Akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta
    kita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
    akan membawa kita untuk bersikap ghuluw
    (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan
    beliau melebihi kedudukan yang Alloh subhanahu wa
    ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana
    halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan
    ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya
    kepada Alloh subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan
    untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
    Contohnya: beristighatsah (meminta pertolongan) dan
    memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui
    semua perkara-perkara yang gaib, dan lain sebagainya.
    Jauh-jauh hari Nabi kita shalallahu ‘alaihi wa
    sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak
    terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah
    kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana
    orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji
    (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya,
    maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Alloh dan
    rasul-Nya”. (HR. Al-Bukhari) [HR. Al-Bukhari dalam
    Shahihnya, lihat Fath al-Bari (VI/478 no: 3445)].
    8. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang
    dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan
    keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya [Asy-Syifa
    bita’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli
    ‘Iyadl (II/573), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah
    (III/407), untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat:
    Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa
    as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah
    at-Tamimi (I/344-358)], serta setiap orang yang
    mencintai beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
    masih dalam kerangka mencintai Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi
    setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang
    yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah
    [Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,(2/575),
    untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq
    an-Nabi ‘Ala Ummatihi (I/359-361)].
    Adapun golongan yang meremehkan Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai
    dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah
    shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak
    memperhatikan hak-hak Nabi shalallahu ‘alaihi wa
    sallam yang telah disebutkan di atas.

    Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan
    mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi
    Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup
    untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek”
    mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima
    dengan hati legowo tentang kema’shuman
    (dilindunginya) Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
    dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu,
    sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang
    digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar
    Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah
    tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis,
    (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi
    saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai
    manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
    panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah)” (Islam
    Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil
    Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

    Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa
    tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa
    diterapkan di segala zaman, sehingga harus
    “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru,
    yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan
    “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung
    perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal
    dimensi hubungan agama-agama” (Fiqih Lintas Agama,
    Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis
    Madjid dkk, hal: ix).

    Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shalallahu
    ‘alaihi wa sallam: ulah Koran Denmark
    “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban
    1426 / 30 September 2005, dengan memuat karikatur
    penghinaan terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
    sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien…

    Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang
    menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak
    orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam
    dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah
    shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua
    bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan
    As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam
    mengukur kecintaan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa
    sallam.

    Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu
    mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta
    mereka kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
    sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan
    yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Alloh
    subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh
    salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang
    yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau
    shalallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini
    mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti
    kecintaan mereka kepada Nabi kita shalallahu ‘alaihi
    wa sallam.

    Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan;
    berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan
    sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Alloh
    subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini
    adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah”
    yang sering disenandungkan dalam acara peringatan
    maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:

    يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا
    لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ
    سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ
    الْحَادِثِ العَمِمِ …
    فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ
    الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
    وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ
    اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

    “Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shalallahu
    ‘alaihi wa sallam)!
    Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan
    selain dirimu, ketika datang musibah yang besar. …
    Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian
    kedermawananmu, dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu
    lauh (mahfudz) dan qalam” (Tabrid al-Buldah fi
    Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal:
    56).

    La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita
    diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada
    Alloh subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah??
    (Lihat: QS Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11).
    Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari
    Alloh semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu
    berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil
    akhirati hasanah…”??. Terus kalau ilmu lauh
    mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi
    Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa
    yang tersisa untuk Robb kita Alloh subhanahu wa
    ta’ala??!!. Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

    Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai
    sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan
    peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
    Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul
    semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial
    jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa
    berdosa jika tidak turut menyukseskannya.

    Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka:
    Apakah perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa
    sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shalallahu
    ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya?
    Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in
    atau Tabi’it tabi’in pernah merayakannya? Kenapa
    pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena
    merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi
    terbaik umat ini, dan Beliau shalallahu ‘alaihi wa
    sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah
    akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah
    lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam
    merealisasikan kecintaan kepada Beliau shalallahu
    ‘alaihi wa sallam.

    Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan
    bahwa acara maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
    tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga
    generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita
    yang menegaskan hal ini.

    Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
    dikerjakan pada masa-masa itu:

    1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana
    yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi
    ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
    2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana
    yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam
    Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad
    (I/439).
    3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha
    ash-Shirath al-Mustaqim, (I/123).
    4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam
    al-Muwaqqi’in, (II/390-391).
    5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di
    dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala
    al-Maulid, hal: 8.
    6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang
    dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam
    kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
    7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal
    (II/11-12, IV/278).
    8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang
    dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam
    kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’
    al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus
    wa al-Maghrib, (VII/99-100).
    9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya
    as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi
    al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
    10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
    al-Fikriyah, hal: 128.

    Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali
    diadakan?
    Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat
    hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah
    wafatnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam)
    oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah
    al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah
    al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat
    Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam
    kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid
    al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya
    al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang
    dijelaskan oleh para ulama.

    Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

    1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi
    asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz
    wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar,
    (I/490).
    2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di
    dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala
    al-Maulid, hal: 8.
    3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w
    821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat
    al-Insya’, (3/502).
    4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh
    al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
    5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di
    zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima
    Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min
    al-Ahkam, hal: 59.
    6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya
    al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair
    ar-Rusul shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
    7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar
    al-Ibtida’, hal: 126.
    8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat
    al-Fikriyah, hal: 128.
    9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi
    Maulid al-Mukhtar, (hal: 185-186).

    Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan
    ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan
    terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara
    sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al
    Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak
    suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka
    dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah
    kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan
    digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka
    mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah
    al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid
    lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan,
    maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk
    perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah.
    Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk
    mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para
    ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad
    ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak,
    lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar
    bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke
    penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan
    taqlid buta.

    Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid
    itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan
    kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam
    rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!!
    (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi,
    Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim
    bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).

    Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah
    orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan
    maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan
    mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid
    adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang
    telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran,
    kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum
    mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu
    musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin,
    banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan
    ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang
    ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang
    dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan
    mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak
    memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat
    kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar
    ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198),
    Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

    Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan
    maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka
    dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang
    Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia
    kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi
    “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah
    lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai
    ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya
    adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk
    al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75).
    Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam.

    Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan
    merayakan hari kelahiran beliau atau tidak
    merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar,
    Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita
    juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua,
    untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau
    begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan?
    Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid,
    madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat
    agama lainnya?

    Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini,
    sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha
    menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu
    di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan
    tuntunan-tuntunan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
    lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shalallahu
    ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut
    maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid,
    entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha
    dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat,
    dikatakan cinta kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa
    sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan
    dalam bersikap?

    Semoga kita semua termasuk orang-orang yang
    merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi
    shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala
    kekurangan.

    Wallohu ta’ala a’lam, wa shallAllohu ‘ala
    nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi
    ajma’in.

    _______________________________________________________________________________
    Apakah Anda Yahoo!?
    Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
    http://beta.id.yahoo.com/

    Untuk mengirimkan tulisan ke Milis Muslim silakan kirim ke:
    milis-muslim@yahoogroups.com
    Untuk berhenti berlangganan Milis Muslim silakan kirim email kosong ke:
    [EMAIL PROTECTED]@yahoogroups.com
    URL milis-muslim:
    http://groups.yahoo.com/group/milis-muslim

    Yahoo! Groups Links

    <*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/milis-muslim/

    <*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

    <*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/milis-muslim/join
    (Yahoo! ID required)

    <*> To change settings via email:
    [EMAIL PROTECTED]
    [EMAIL PROTECTED]

    <*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

    <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

    *
    [ MM ] Adakah Peringatan Maulid Nabi dalam ISLAM….? forum intelektual muslim

    *
    Reply via email to

    #81495442
    Munzir Almusawa
    Participant

    saudaraku, mereka itu wahabi, dangkal pemahaman syariahnya dan sombong, berputar kebarat ketimur tetap maksud ucapannya adalah mengingkari ahlussunnah waljamaah,

    ucapan mereka ini semua telah saya jawab, mengenai bait syair Burdah itu tidak syirik, karena Rasul saw sendiri yg menceritakan bahwa dihari kiamat seluruh paran nabi dan rasul tak mampu memberi syafaat, hingga mereka memanggilmanggil aku, lalu aku berkata : Akulah yg akan menyelesaikan ini, lalu aku bersujud dihadapan Allah memintakan syafaat. dst.. (Shahihain Bukhari dan Muslim)

    saya forward kembali jawaban saya tentang maulid.

    [b]PERINGATAN MAULID NABI SAW

    ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

    Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

    Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

    [u]Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya [/u]
    • Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
    • Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)
    • Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
    • Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
    • Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
    • Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi
    • Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam.
    Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

    [u]Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw [/u]
    Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.

    Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

    Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.
    Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

    [u]Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw [/u]
    Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
    [u]
    Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw[/u]
    Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
    Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.
    [u]
    Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid[/u]
    Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

    Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
    [u]

    Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid[/u]

    1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
    Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)

    2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
    Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

    3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
    Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.

    4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
    Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

    5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
    Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab

    6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
    berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”.

    7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
    dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

    8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
    dengan karangan maulidnya yg terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.

    9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
    dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

    10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi
    dg karangan maulidnya yg bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

    11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
    dg maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

    12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
    yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : ”maulid ibn katsir”

    13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy
    dg maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

    14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
    telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

    15. Imam assyakhawiy
    dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

    16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
    dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

    17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’
    dg maulidnya addiba’i

    18. Imam ibn hajar al haitsami
    dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

    19. Imam Ibrahim Baajuri
    mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar

    20. Al Allamah Ali Al Qari’
    dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

    21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji
    dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji

    23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
    dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad

    24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
    dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’

    25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
    dg maulid al maulid mustofa adnaani

    26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
    dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

    27. Syihabuddin Al Halwani
    dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

    28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
    dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

    29. Asyeikh Ali Attanthowiy
    dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

    30. As syeikh Muhammad Al maghribi
    dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

    Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

    Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

    Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari kerinduan pada Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
    Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)

    Namun sehebat apapun pendapat para Imam yg melarang berdiri untuk menghormati orang lain, bisa dipastikan mereka akan berdiri bila Rasulullah saw datang pada mereka, mustahil seorang muslim beriman bila sedang duduk lalu tiba tiba Rasulullah saw datang padanya dan ia tetap duduk dg santai..

    Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir,
    semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

    Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

    Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan,
    dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,
    Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

    Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
    contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .

    contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.

    Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.

    Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

    Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

    Walillahittaufiq

    [/b]

Viewing 2 posts - 1 through 2 (of 2 total)
  • The forum ‘Forum Masalah Tauhid’ is closed to new topics and replies.