Forum Replies Created

Viewing 6 posts - 11 through 16 (of 16 total)
  • Author
    Posts
  • in reply to: Orang tua Rasuk mati Musyrik? #77723753
    kadam
    Participant

    Habib, jangan sampai matahari yang menyinari bumi terang benarang menjadi gelap dan tertutup oleh bulan yang sedikit sinarnya. dibawah ini sanggahan dari teman saya bermanhaj-kan Salafus sholeh berbentuk tanya jawab.

    [b]Habib :[/b] [i]Imam Nawawi dan Imam Baihaqi tidak mengatakan ayah dan ibu nabi musyrik, penjelasannya dg jelas dan sharih dijelaskan dalam kitab Sadaaduddien oleh Al Hafidh Imam Assayyid Abbas Al barzanjiy hal 324-328. [/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b] Ana akan memberikan sedikit sumbangan tulisan dalam Thread ini, terutama mengomentari apa yang dituliskan oleh Pak Habib Munzir.Akh @aridha sebenarnya telah menukilan penjelasan An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juz 3 halaman 79 dengan cukup baik. Namun anehnya, penjelasan itu tidak cukup memuaskan bagi Pak Habib Munzir dan beliau malah membuat tahrif-tahrif makna dengan menukil dari perkataan Al-Barzanji. Tentu, kita tahu perkataan An-Nawawi itu diri beliau sendiri, bukan malah Al-Barzanji. Akan coba ana terjemahkan penjelasan An-Nawawi tersebut sebagai berikut :

    “[i]Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : [b]إن أبي وأباك في النار[/b]] terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” (Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/79). [/i]

    Kalau Pak Habib mengatakan bahwa orang tua nabi tidak meinggal dalam keadaan kafir/musyrik, tentu ini sangat bertentangan dengan penjelasan Imam Nawawi sendiri. Apalagi jika kita mau mencermati Shahh Muslim; maka kita akan tahu pemahaman yang ingin diambil dari hadits tersebut. Imam Muslim memasukkan hadits tersebut dalam Bab [b][بيان أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين] “[/b][i]Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran maka ia berada di neraka dan ia akan memperoleh syafa’at dan tidak bermanfaat baginya hubungan kekerabatan”. [/i]Nah, ini semakin jelas bahwa Imam Muslim memahami orang tua Nabi mati dalam keadaan kafir. Dan penjelasan Imam An-Nawawi yang tidak kalah jelas itu juga sebenarnya menjabarkan pemahaman dari Imam Muslim terhadap hadits tersebut.

    Adapun Imam Baihaqi, akh @aridha telah berkata dengan perkataan wadlihah (jelas/gamblang). Tidak perlu ana tambah lagi.

    [b]Habib:[/b] [i]kembali pada jawaban saya yg terdahulu, bila Abu Thalib mendapat syafaat Nabi saw untuk diringankan siksanya, bahkan Abu Lahab pun diringankan siksanya setiap senin, dan kedua riwayat ini jelas didalam Shahih Bukhari, dan diakui oleh para Muhaddits kebenarannya, maka lebih lebih lagi Bunda yg melahirkan beliau saw dan ayah beliau saw,

    sedangkan kafir adalah najis, tak selayaknya Rasululla saw lahir dari rahim najis,[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Ini adalah logika-logika bathil yang dibangun atas dasar asumsi. Bila kita memilih logika yang diambil oleh Pak Habib Munzir, maka cerita Nabi Ibrahim dan ayahnya juga patut didustakan (yang otomatis mendustakan ayat Al-Qur’an). Apa sebab ? Tidak mungkin Nabi Ibrahim Al-Khalil terlahir dari sperma/nutfah najis ! Begitu juga sebaliknya. Nasab mulia tidak menjamin keturunan yang “mulia” dan jaminan surga. Contoh ? Perhatikan kisah Nabi Nuh dan anaknya.
    Nasab tidaklah mempengaruhi amal dan keadaan diri seseorang. Adapun najis yang Pak Habib maksudkan dalam QS. At-Taubah ayat 28 [[i]Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[/i] – [b]يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُوَاْ إِنّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ] [/b]bukanlah najis dzatiyyah. Namun najis maknawiyyah atas kekufuran mereka. Itu juga telah dikatakan oleh akh @aridha.

    [b]Habib:[/b][i]dan semua sanggahan itu batil karena firman Allah swt : \"Kami tak akan menyiksa suatu kaum sebelum kebangkitan seorang Nabi\"

    mengenai ucapan yg mengatakan bahwa Sudah ada agama Ibrahim as dan isa as sebelum kebangkitan Nabi saw, maka itu tak bisa dijatuhkan pada ayah bunda Nabi saw, karena para Nabi itu diutus untuk Bani Israil, bukan untuk bangsa arab, dan hanya Nabi Muhammad saw yg diutus untuk seluruh manusia.

    wallahu a\’lam.[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Mengapa bathil ? Haditsnya shahih. Dan perlu dicatat bahwa hadits yang menerangkan status orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan yang diriwayatkan oleh Muslim saja. (Nanti akan ana tuliskan)

    Lanjut,…. Ayat tersebut tidak bisa dipertentangkan dengan hadits yang sedang kita bahas. Sebelumnya ana ingin ketengahkan satu prinsip Ahlus-Sunnah dalam beristidlal.

    Imam Asy-Syafi’i berkata : [b][ان سنة رسول الله لا تكون مخالفة لكتاب الله بحال ولكنها مبينة عامة وخاصة] [/b]“[i]Bahwasannya Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yang shahih) itu tidak akan menyelisihi (bertentangan) dengan Kitabullah (Al-Qur’an) sama sekali. Akan tetapi Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu menjelaskan yang umum dan khusus[/i]” [lihat Ar-Risalah halaman 78 tartib maktabah sahab].

    [size=2]Catatan : Masih banyak penjelasan ulama lain yang senada dengan Imam Asy-Syafi\’i. Sengaja ana tampilkan perkataan Imam Asy=Syafi\’i karena nampaknya antum menisbatkan diri pada madzhab Syafi\’iy[/size]

    Dan memang keadaannya sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Jika hadits tersebut adalah shahih, maka tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Kemungkinan hadits tersebut mentakhsish yang ‘aam, tafsir atau tabyin dari yang mujmal, mentaqyid dari yang muthlaq, dan sejenisnya.

    Mari kita kritisi pernyataan Pak Habib di atas. Pak Habib mengisyaratkan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang tidak pernah beragama samawi. Agama samawi hanyalah turun kepada Bani Israel saja. Ini salah bapak…..!! Kita ketahui bahwa Nabi Ibrahim merupakan bapak dari bangsa Arab dan bangsa Israil. Adalah benar jikalau antum mengatakan bahwa Nabi ‘Isa turun kepada Nabi Israil. Tapi tidak benar bahwa ketauhidan agama Nabi Ibrahim tidak menyentuh bangsa Arab. Perhatikan hadits berikut :

    [b]وقال أبو هريرة قال النبي صلى الله عليه وسلم رأيت عمرو بن عامر بن لحي الخزاعي يجر قصبه في النار وكان أول من سيب السوائب[/b][i]Telah berkata Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku melihat ‘Amru bin ‘Amir bin Luhay Al-Khuzaa’i menarik-narik ususnya di neraka. Dia adalah orang pertama yang melepaskan onta-onta (untuk dipersembahkan kepada berhala[/i])” (HR. Bukhari no. 3333 – tartib maktabah sahab, Muslim no. 2856).

    Nisbah Al-Khuzaa’i merupakan nisbah kepada sebuah suku besar Arab, yaitu Bani Khuza’ah. Ibnu Katsir menjelaskan sebagai berikut :

    [b]عمرو هذا هو ابن لحي بن قمعة, أحد رؤساء خزاعة الذين ولوا البيت بعد جرهم وكان أول من غير دين[/b] [b]إبراهيم الخليل, فأدخل الأصنام إلى الحجاز, ودعا الرعاع من الناس إلى عبادتها والتقرب بها, وشرع لهم هذه الشرائع الجاهلية في الأنعام وغيرها[/b]“‘Amru bin ‘Amir bin Luhay Al-Khuza’i merupakan salah satu pemimpin Khuza’ah yang memegang kekuasaan atas Ka’bah setelah Kabilah Jurhum. Ia adalah orang yang pertama kali mengubah agama Ibrahim (atas bangsa Arab). Ia memasukkan berhala-berhala ke Hijaz, lalu menyeru kepada beberapa orang jahil untuk menyembahnya dan bertaqarrub dengannya, dan ia membuat beberapa ketentuan jahiliyyah ini bagi mereka yang berkenaan dengan binatang ternak dan lain-lain……” [[i]lihat Tafsir Ibnu Katsir[/i] 2/148 QS. Al-Maidah ayat 103].

    Fakta sejarah ini menggugurkan hujjah antum. Dengan ini kita pahami bahwa bangsa Arab sebenarnya telah mengenal ajaran ketauhidan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam. Termasuk di dalamnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

    [b]Habib:[/b][i]walaupun hadits itu dhaif namun riwayatnya diterima oleh para Muhadditsin, ini menjadi hujjah penguatnya, sebab hadits dhoif itu diperkuat oleh firman Allah swt : “Tiadalah kami menyiksa suatu kaum sebelum kami membangkitkan Rasul” (QS Al Isra-15),

    dan pendapat yg shahih dalam madzhab Syafii bahwa ayah bunda Nabi saw selamat karena tergolong ahlul fatrah, karena tak ada bukti bahwa mereka menyembah berhala.[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Metode istidlal macam apa yang telah diperbuat oleh Pak Habib ? Hadits yang antum sebut itu adalah dla’if [i]bima’na munkar [/i]!! Di sini antum mengingkari hadits shahih namun malah menerima hadits dla’if sebagai penjelas ayat Al-Qur’an. Metode semacam ini tidak dikenal di kalangan ahlul-‘ilmi. Ingat Pak Habib dalam ilmu musthalah hadits tentang definisi Hadits Munkar. Ana ingatkan jika antum memang lupa. Hadits Munkar (secara ringkas) adalah hadits dla’if yang menyelisihi/bertentangan dengan hadits shahih. Kedla’ifan hadits munkar ini merupakan tingkat kedla’ifan yang sangat berat. Tidak bisa terangkat menjadi kuat karena qarinah selainnya.

    Siapa yang menerima hadits dla’if munkar (atau bahkan maudlu’) ? Kalau antum menyebut Imam As-Suyuthi dalam kitabnya [i]Masaalikul-Hunafaa fii Waalidayyal-Musthafaa;[/i] maka kita tahu bahwa beliau adalah seorang ulama yang terkenal mudah sekali mengambil hadits-hadits yang tidak shahih. Kalau antum menisbatkan penerimaan hadits dla’if tersebut sebagai pendapat madzhab Syafi’i, ini juga tidak bisa dibenarkan. Ibnu Hajar, An-Nawawi, Ibnu Katsir, dan yang lainnya merupakan ulama-ulama ahli hadits sekaligus fuqahaa madzhab Syafi’i yang berseberangan pendapat dengan antum.

    [b]Habib:[/b][i]Dan hadits dhoif itu diterima oleh para Muhadditsin bukan sebagai dalil, tapi sebagai penjelas ayat diatas, dan diperkuat dengan hadits shahih Bukhari mengenai syafaat nabi saw atas Abu Thalib.

    Dan riwayat shahih Bukhari dan Alqur’anulkarim tentunya menguatkan hadits dhoif itu untuk menjadi Naasikh terhadap hadits riwayat muslim juga dengan hadits2 berikut,[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Ayat Al-Qur’an itu hanya dijelaskan oleh hadits yang shahih. Bagaimana bisa ayat Al-Qur’an dijelaskan oleh hadits dla’if munkar atau maudlu’ ? Apalagi menasakh hadits shahih ? Laa haula walaa quwwata illaa billaah !! Ingatlah kata pepatah : [i]Bila seseorang bicara di luar bidang keahliannya, maka ia datang dengan membawa keajaiban-keajaiban[/i].

    Adapun pengkaitan antum dengan Abu Thalib, maka menurut ana ini adalah pengkaitan yang mengada-ada dalam beristinbath. Tidak nyambung. Apa hubungannya dengan Abu Thalib. Abu Thalib jelas meninggal dalam keadaan kafir yang mana ia lebih memilih agama nenek moyangnya daripada Islam. Sifat-sifat hadits seperti ini merupakan khabariyyah yang tidak perlu logika-logika. Bila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa Abu Tahlib mati dalam keadaan kafir dan ia mendapatkan keringanan adzab karena jasanya membantu dan melindungi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada awal Islam; maka kita terima dan imani itu. Dan jika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa kedua orang tua beliau meninggal dalam keadaan kafir, maka kita terima dan imani itu. Itulah konsekuensi dari khabar-khabar yang dibawa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

    [b]Habib:[/b][i]Hadits itu memang dhoif, namun ada pendapat yg mengatakannya palsu, namun pendapat terbanyak mendhoifkannya (tidak mengatakannya palsu).

    Berkata Imam Qurtubi bahwa kedua hadits itu tidak saling bertentangan, karena kejadian itu adalah jauh setelah hadits yg pertama, karena kejadiannya adalah ketika hujjatul wada’, maka AL Hafidh Ibn Syaahin menjadikannya sebagai Naasikh (penghapus) dari hadits shahih muslim yg menjadi Mansukh dengan hadits itu.

    Riwayat itu tentunya bukan saat khutbah di Hujjatul wada’, namun Nabi saw menziarahi kubur Ibunya dan Aisyah ra yg mengetahuinya.[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Di sini antum kelihatan gigih sekali membela hadits munkar/palsu dan meninggalkan hadits shahih. Aneh. Sekali lagi, hadits dla’if tidak bisa memansukh hadits shahih Pak !! Kalau antum menemukan kaidah dalam Ulumul-Hadits seperti itu, tolong deh jelaskan pada kami…. Mungkin ana bisa mengambil manfaat dari penjelasan antum. Namun jika kaidah itu tidak ada, jangan lupa katakan kepada kami bahwa memang itu tidak ada.

    Sebagai tambahan saja Pak Habib, dalam ilmu hadits, kalaupun ada dua hadits shahih yang mungkin dianggap “berlainan” matan (bahasa haditsnya : Maqbul Mukhtalaf); tidak serta merta kita katakan bahwa hadits A menasakh hadits B. Tidak seperti itu !! Harus ada qarinah yang kuat yang mengindikasikan bahwa hadits itu benar-benar dinasakh. Karena pada asalnya, ketika kita katakan hadits A menasakh hadits B, ada kemungkinan pula justru hadits B yang menasakh hadits A. Para ulama telah menjelaskan bahwa jika ada dua hadits shahih yang kelihatan bertentangan (mukhtalaf), maka ditempuh dua jalan :

    1. Thariqatul-Jam’i
    2. Thariqatut-Tarjih (yang di dalamnya ada pembahasan nasikh-mansukh).

    Ini jika kedua haditsnya adalah shahih. Lantas,…. Bagaimana jika haditsnya dla’if atau palsu ?

    Adapun tentang Al-Qur’an dengan As-Sunnah (Al-Hadits), penjelasannya adalah sebagaimana yang telah ana tulis sebelumnya.

    [b]Habib:[/b][i]Mengenai Naasikh tentunya bukan hanya berpatokan dengan hadits shahih, namun berpatokan dengan fatwa para Muhadditsin yg lebih memahami kedudukan Naasikh dan Mansukh, dan kedudukan hadits shahih dan dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin hanbal yg berfatwa sentuhan antara pria dan wanita tidak membatalkan wudhu, ia berhujjah dengan hadits dhoif, namun menjadikannya sebagai dalil hukum, hal ini diterima karena merupakan Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal, ia hafal 1 juta hadits dengan sanad dan hukum matannya,[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Nah, itu antum sendiri telah mengakui bahwa hadits mengenai dihidupkannya kedua orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah hadits yang tidak shahih.

    Maaf, tentang pembahasan menyentuh tangan wanita membatalkan wudlu atau tidak pun nampaknya perlu dikritisi. Tapi Thread ini nampaknya bukan tempat yang tepat ana menuliskan uraiannya……..

    [b]Habib:[/b][i]Lalu bagaimana bila berkumpul sedemikian banyak Muhadditsin yg menyepakati bahwa hadits riwayat muslim mansukh dengan hadits ini?, tentunya hadits dhoif itu diperkuat oleh ayat Alqur’an sebagai penguat Nasikh nya, dan diperkuat oleh riwayat Shahih Bukhari yg jauh lebih kuat dari Shahih Muslim, dan diperkuat oleh Ijtihad banyak Muhadditsin dan para Imam, disertai riwayat2 lainnya[/i].

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Muhadditsin siapa pak ? Tolong sebutkan Muhadditsin yang mu’tabar. Jangan antum menyebut yang tidak mu’tabar. Kalau antum menyebut Al-Barzanji sebagai Muhadditsin, yaw ajar kalau antum berpendapat seperti itu. Tolong sebutkan, apakah diantara mereka adalah Imamaani fil-Hadits : Al-Bukhari dan Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnul-Jauzi, Al-Hafidh Ibnu Rajab, Al-Hafidh Ibnu Hajar, Imam An-Nawawi, Al-Hafidh Al-‘Iraqi, Adz-Dzahabi, Al-Hafidh Ibnu Abdil-Hadi, Ibnu Katsir, Al-Mizzi, atau yang semisal sehingga antum bisa katakan : “sedemikian banyak” ?

    [b]Habib:[/b][i]Kalimat “Abiy” dalam ucapan Nabi saw tak bisa diterjemahkan mutlak sebagai ayah kandung, sebagaimana firman Allah swt : “Berkata Ya’kub ketika akan wafat kepada putra putranya : “apa yg akan kalian sembah setelah wafatku nanti?”, mereka menjawab : “Kami menyembah Tuhanmu, dan Tuhan ayah ayah mu yaitu Ibrahim, dan Ismail dan Ishaq….dst (QS Al Baqarah 133).

    Jelas sudah bahwa ayah dari Ya’qub hanyalah Ishaq, sedangkan ibrahim adalah kakeknya dan Ismail adalah paman ya’qub, namun mereka mengatakan : “ayah ayah mu” namun bermakna : “ayahmu, kakekmu, dan pamanmu”, Karena dalam kaidah arabiyyah sering terjadi ucapan ayah, adalah untuk paman,[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa:[/b]Antum kembali mentahrif dengan makna-makna muhdats. Jelas sekali makna hadits itu bahwa yang dimaksud adalah bapak si Penanya dan bapak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maaf, akan ana tuliskan kembali matan hadits yang antum maksud, dan ana serahkan kepada ikhwah semua menilai : APakah perkataan Pak Habib Munzir ini bisa dipakai atau tidak.

    [b]عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ[/b]

    Dari [i]Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka[/i]”. (HR. Muslim no. 203).

    Pada asalnya, sebuah perkataan itu dipahami dengan dhahirnya. Dhahir kata abii adalah bapakku, maksudnya suami ibu. Kalau paman, dalam bahasa Arab adalah ‘aamy atau khaaly. Jika kita ingin merubah makna dhahir kepada makna majaz, kita harus melalui 4 anak tangga :

    1. Menjelaskan kemustahilan makna dhahir
    2. Menjelaskan relevansi lafadh-lafadh tersebut terhadap makna yang ia tunjuk, karena jika tidak maka ia telah membuat dusta atas bahasa dan atas pembicara.
    3. Menjelaskan argumentasi ditentukannya makna yang mujmal itu bila ia memiliki beberapa arti majaz.
    4. Menjawab dengan benar dalil-dalil yang mengharuskan ditetapkannya makna dhahir.

    Dalam hadits Muslim tadi, tidak ada kata tidak mungkin untuk menetapkannya pada makna dhahir, yaitu : Bapak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jadi klaim pak Habib Munzir tadi hanyalah klaim angan-angan semata tanpa hujjah. Dan perlu di catat, hadits riwayat Muslim tadi dikuatkan oleh riwayat yang lain yang akan ana tulis nanti

    in reply to: KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA #78014737
    kadam
    Participant

    Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.

    KENDURI ARWAH
    Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.
    Di dalam kitab [b](اعانة الطالبين)[/b] juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
    [b]وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْرِ[/b]
    “Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
    Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar [b](ائمة العلماء الشافعية)[/b] yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:
    [b]وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.[/b]“Aku suka kalau tetangga si Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
    Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
    [b]قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ[/b] [b]طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)[/b]
    “Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”.
    Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
    Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan juga di dalam kitab [b](اعانة الطالبين)[/b] jld. 2. hlm. 146:
    [b]وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ[/b]
    “Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
    Seterusnya di dalam kitab [b](اعانة الطالبين) [/b] juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:
    [b]وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ[/b]
    “Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
    Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
    Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama [b](اعانة الطالبين)[/b] juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
    [b]وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ[/b] [b]وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .[/b]
    “Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
    Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .([b]خول) [/b] Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
    مَ[b]ا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ[/b]“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. Lihat: [b]اعانة الطالبين[/b] juz 2 hlm. 145.
    Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab [b]قليوبى – عميرة) -(حاشيتان [/b]juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
    [b]قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.[/b]
    “Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
    Di dalam kitab [b](الفقه على المذاهب الاربعة) [/b] jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:
    [b]وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ .[/b] “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
    Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu\’, masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi\’ [b](مبتدع)[/b] \"pembuat atau aktivis bid\’ah\" sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
    Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta\’ala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara sebagaimana firmanNya:
    [b]وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ[/b]\"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)\".
    Al-An\’am, 6:116.
    Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:
    [b]ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا[/b]\"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah\".
    Al-Jasiyah, 45:18-19.
    Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid\’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
    Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

    in reply to: KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA #78014709
    kadam
    Participant

    Assalammu\’alaikum wr.wb.

    Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di surga,Amin.
    Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.

    [b]Habib[/b] : [i]Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

    حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

    “riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
    (Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa[/b]: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :

    [u]حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال[/u] خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي[u] امرأة [/u]فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
    Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak Habib ditulis dengan [i]imra-atihi [/i]yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis[i] imra-ah [/i]yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari\’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata [i]imra-ah [/i]saja) : [i]\"Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah [b]seorang perempuan[/b], mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan\" [selesai].[/i]

    Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.

    Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.

    Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

    [i]“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).[/i]
    Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.

    [i]Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).[/i]

    Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

    من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم

    [i]“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.[/i]
    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت

    [i]“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)[/i]

    Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya ?

    [b]Habib [/b]: [i]Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
    1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa[/b]: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid\’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :

    وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.

    “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

    [b]Habib :[/b] [i]2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

    من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
    “mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
    semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.[/i]

    [b]Abu Al-Jauzaa :[/b]Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid\’atun munkaratun makruhatun (Bid\’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas adalah “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat\". Tidak ada pengkhususan \"harus banyak\" dan \"meramaikan rumah\". Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid\’atun munkaratun makruhatun (Bid\’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).

    Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali……….. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari\’at itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam QS. Al-Israa\’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.

    Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2 hemat energi.

    in reply to: KAIDAH-KAIDAH FIQH ( QOWAIDUL FIQHIYYAH ) #77911120
    kadam
    Participant

    Assalammu\’alaikum wr.wb.

    Semoga Ilmu dapat meninggikan derajat habib di surga nanti. tidak apa-apa saya juga memakluminya tentang posisi habib saat ini. maka saya akan sudahi :)

    in reply to: Orang tua Rasuk mati Musyrik? #77723707
    kadam
    Participant

    Assalammu\’alaikum wr.wb.

    Terima kasih atas penerangan Ilmunya kepada kami, namun setelah saya konpirmasikan lagi ke kawan diskusi mereka masih bisa menyanggahnya. Bagaimana ini Habib?

    saya akan kasih dengan tanyaa jawab :

    [b]Habib [/b]: [i]Pertama, \"ikhtilaf bukan dalil\", pendapat siapa pula ini?, justru tak bisa Ikhtilaf diakui kecuali ada dalil. kalau tak ada dalil maka itu hanya Ikhtilaf antara keledai satu dengan keledai lainnya.[/i]

    [b]aridha [/b]: Saudara, jangan salah artikan perkataan saya. Saya berkata \"ikhtilaf bukan dalil\", bukan \"ikhtilaf tanpa dalil.\" Maksudnya adalah bahwa adanya ikhtilaf dalam suatu masalah tidak menjadikan seseorang boleh memilih sembarang salah satu pendapat tanpa melihat dalilnya. Semestinya ia melihat argumentasi (dalil) pendapat-pendapat itu sesuai kemampuannya. Jika tidak mampu ia dapat bertaqlid pada mujtahid yang ia percayai. Jadi dalam masalah ini kita kan ingin melihat dalil-dalilnya, bukan emosi.

    [b]Habib[/b] : >> [i]Kasyful Khafa Juz 1 hal 61-64 :[/i]

    [b]aridha[/b] : Dalam nukilan itu disebutkan riwayat bahwa kedua orang tua Rasulullah dihidupkan lagi lagi beriman. Namun juga disebutkan bahwa riwayat itu isnadnya dha\’if (CMIIW). Bahkan ketika disebutkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Syahin dan lainnya dengan sanad dha\’if dari \’Aisyah radhiyallahu \’anha dikatakan bahwa hadits itu dha\’if dengan kesepakatan, bahkan ada yang menyatakannya palsu.

    Juga dikatakan bahwa hadits itu me-nasakh hadits yang melarang permohonan ampunan bagi ibu beliau. Jadi dapat kita lihat di sini bahwa para ulama menerima hadits-hadits yang dibawakan TS. Namun mereka menganggapnya telah nasakh. Akan tetapi, dari penjelasan itu disebutkan bahwa hadits yang me-nasakh itu lemah, bahkan ada yang menyatakannya palsu. Terlebih, disebutkan kejadiannya itu pada haji wada\’ namun mengapa hanya ada riwayat lemah? Padahal haji wada\’ dihadiri oleh ribuan orang.

    Wahai saudara, adakah riwayat shahih untuk me-nasakh riwayat yang shahih?

    Catatan: kelemahan riwayat itu telah disoroti TS di thread lain:

    http://myquran.org/forum/index.php/topic,23590.0.html

    [b]Habib[/b] : [i]Imam Nawawi dan Imam Baihaqi tidak mengatakan ayah dan ibu nabi musyrik, penjelasannya dg jelas dan sharih dijelaskan dalam kitab Sadaaduddien oleh Al Hafidh Imam Assayyid Abbas Al barzanjiy hal 324-328.[/i]

    [b]aridha[/b] : Berikut penjelasan an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim:

    Kutip
    – قَوْله : ( أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يَا رَسُول اللَّه أَيْنَ أَبِي ؟ قَالَ : فِي النَّار ، فَلَمَّا قَفَى دَعَاهُ قَالَ : إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار )
    فِيهِ : أَنَّ مَنْ مَاتَ عَلَى الْكُفْر فَهُوَ فِي النَّار ، وَلَا تَنْفَعهُ قَرَابَة الْمُقَرَّبِينَ ، وَفِيهِ أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَة عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْعَرَب مِنْ عِبَادَة الْأَوْثَان فَهُوَ مِنْ أَهْل النَّار ، وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَة قَبْل بُلُوغ الدَّعْوَة ، فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ دَعْوَة إِبْرَاهِيم وَغَيْره مِنْ الْأَنْبِيَاء صَلَوَات اللَّه تَعَالَى وَسَلَامه عَلَيْهِمْ . وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ أَبِي وَأَبَاك فِي النَّار ) هُوَ مِنْ حُسْن الْعِشْرَة لِلتَّسْلِيَةِ بِالِاشْتِرَاكِ فِي الْمُصِيبَة وَمَعْنَى ( قَفَى ) وَلَّى قَفَاهُ مُنْصَرِفًا .

    Sedangkan al-Bayhaqi dalam Dalailun Nubuwah memiliki bab:

    Kutip
    باب ذكر وفاة عبد الله أبي رسول الله صلى الله عليه وسلم ووفاة أمه آمنة بنت وهب ووفاة جده عبد المطلب بن هاشم

    Yang di dalamnya disebutkan riwayat tentang keadaan ayah beliau dan juga ditolaknya permohonan ampun beliau bagi ibu belia.

    Lalu dikatakan.

    Kutip
    وكيف لا يكون أبواه وجده بهذه الصفة في الآخرة ، وكانوا يعبدون الوثن حتى ماتوا ، ولم يدينوا دين عيسى ابن مريم عليه السلام ؟ وأمرهم لا يقدح في نسب رسول الله صلى الله عليه وسلم ؛ لأن أنكحة الكفار صحيحة ، ألا تراهم يسلمون مع زوجاتهم فلا يلزمهم تجديد العقد ، ولا مفارقتهن إذا كان مثله يجوز في الإسلام . وبالله التوفيق

    [b]Habib :[/b] [i]kembali pada jawaban saya yg terdahulu, bila Abu Thalib mendapat syafaat Nabi saw untuk diringankan siksanya, bahkan Abu Lahab pun diringankan siksanya setiap senin, dan kedua riwayat ini jelas didalam Shahih Bukhari, dan diakui oleh para Muhaddits kebenarannya, maka lebih lebih lagi Bunda yg melahirkan beliau saw dan ayah beliau saw, [/i]

    [b]aridha [/b]: Siksa, keringanan dan ampunan adalah urusan Allah. Tidaklah kita ketahui melainkan dari Allah dan Rasul-Nya.

    [b]Habib[/b]: [i]sedangkan kafir adalah najis, tak selayaknya Rasululla saw lahir dari rahim najis,[/i]

    [b]aridha [/b]: Najisnya musyrikin bukanlah najis pada keyakinan mereka. Sederhananya begini, apakah bekas bersentuhan dengan orang musyrik harus dicuci?

    [b]Habib[/b] : [i]dan semua sanggahan itu batil karena firman Allah swt : \"Kami tak akan menyiksa suatu kaum sebelum kebangkitan seorang Nabi\"

    mengenai ucapan yg mengatakan bahwa Sudah ada agama Ibrahim as dan isa as sebelum kebangkitan Nabi saw, maka itu tak bisa dijatuhkan pada ayah bunda Nabi saw, karena para Nabi itu diutus untuk Bani Israil, bukan untuk bangsa arab, dan hanya Nabi Muhammad saw yg diutus untuk seluruh manusia.

    wallahu a\’lam.[/i]

    [b]aridha :[/b] Agama Nabi Ibrahim \’alayhis salaam adalah juga bagi bangsa Arab. Ingat bahwa putera beliau, Nabi Isma\’il \’alayhis salaam adalah bapak bangsa Arab. Secara nyata kita ketahui bahwa ibadah seperti haji dan kurban terus dikenal oleh bangsa Arab. Ka\’bah adalah kebanggaan mereka dan melayani jama\’ah haji dianggap sebagai perbuatan mulia.

    Bahkan dalam nukilan yang saudara bawakan dari Kasyful Khafa disebutkan contoh yang beriman yakni Zayd bin \’Amr bin Nufayl dan Waraqah bin Nawfal. Lihat juga penjelasan an-Nawawi di atas.

    Kemudian, juga ditunjukkan dari hadits lain.

    \"Pada suatu hari Nabi Shallallahu \’alayhi wa Sallam memasuki kebun kepunyaan Bani an-Najjar, kemudian beliau mendengar suara-suara orang-orang dari Bani an-Najjar yang telah mati pada masa jahiliyah, mereka disiksa di dalam kuburnya.\" (HR. Ahmad)

    Kejadian itu juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu \’alayhi wa Sallam bertanya kapan mereka mati lalu seseorang menjawab bahwa mereka mati dalam kesyirikan.

    Jadi agama Nabi Ibrahim \’alayhis salaam telah sampai kepada orang Arab yang di masa jahiliyah sehingga mereka tidak dianggap sebagai ahlul fathrah.

    Allahu Ta\’ala a\’lam.

    ——–demikian Habib sanggahan dari mereka oleh saya dijadikan bentuk tanya jawab agar saya juga ikut belajar dalam hal ini——-

    in reply to: Orang tua Rasuk mati Musyrik? #77723646
    kadam
    Participant

    Assalammu\’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,

    Semoga bau surga tercium oleh Habib karena keberkahan Ilmu, Bib saya mohon maaf karena tidak terlebih dahulu meminta izin buat copy paste tentang jawaban Habib. karena jawaban Habib sangat berguna bagi kamii untuk berhujjah yang kebingungan dikala berdiskusi dengan orang Salafi, karena mereka ini mengeluarkan pendapat yang sangat menyilaukan hati kami. ketika saya kemukakan jawaban pendapat Habib , mereka ini bersih keras kepada pendapatnya.

    Hujjatul Islam Al Imam Syafii dan sebagian besar ulama syafii,
    Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Qurtubi,
    Hujjatul Islam wa barakatul anam Al Imam Bukhari,
    Al Hafidh Al Imam Assakhawiy,
    Al hafidh Al Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi yg mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah bunda nabi saw
    Al hafidh Al Imam Ibn Syaahin,
    Al Hafidh Al Imam Abubakar Al baghdadiy
    Al hafidh Al Imam Attabari
    Al hafidh Al Imam Addaruquthniy, dan masih banyak lagi yg lainnya,

    ——————–ini kutipan dari Habib yang di koreksi oleh orang Salafi, sehingga mereka menjawab seperti di bawah ini…………………..

    Pertama, ikhtilaf bukan dalil. Yang penting adalah argumen yang dibawakan masing-masing pihak.

    Kedua, bagaimanakah perkataan mereka? (kitab apa, halaman berapa agar bukan \"gunting tambal\") Dari daftar itu yang saya tahu memang as-Suyuthi berpendapat demikian.

    Ketiga, apakah an-Nawawi dan al-Bayhaqi tidak punya sanad kepada para ulama terdahulu? BTW, keduanya adalah ulama Syafi\’i.

    Atau lebih jelasnya di link http://myquran.org/forum/index.php/topic,23606.45.html#quickreply

    Maaf habib telah disusahkan oleh saya , karena saya tidak mau beragama dalam kebimbangan.

    Wassalammu\’alaikum warahamtullahi wabarakatuh

Viewing 6 posts - 11 through 16 (of 16 total)